Kethek Ogleng Pacitan Tarian Hasil Kreasi Pemuda Desa Tokawi Nawangan

Sutiman atau Sukiman bisa dipanggil. Merupakan Tokoh pencipta Tari kethek Ogleng Pacitan tahun 1964. Tari Kethek Ogleng disebut sebuah tari disebabkan dibangun dari dua struktur yaitu struktur lahir dan struktur batin. Struktur lahir Kethek Ogleng terdiri dari: 1) gerak, 2) iringan, 3) instrumen, 4) tata rias, 5) tata kostum, 6) tempat pementasan, dan 7) unsur cerita.

Sedangkan struktur batin pembentuk tarian Kethek Ogleng terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: 1) sawiji, 2) greged, 3) sengguh, dan 4) ora mingkuh. Kedua struktur tersebur harus selalu menjadi perhatian utama agar tari Kethek Ogleng jika dipentaskan akan menarik dan memberikan nilai-nilai edukasi dan unsur hiburan bagi masyarakat.
Kethek Ogleng Kethek Ogleng merupakan bagian dari kreatifitas manusia yang diasarkan dari kondisi sosial budaya masyarakat Desa Tokawi Kecamatan Nawangan yang sebagian besar bertani. Pada tahun 1964 Desa Tokawi masih terdapat hutan yang masih lebat dengan hewan mamalia kera masih banyak dijumpai. Tari Kethek Ogleng merupakan sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi Kecamatan Nawangan bertahun-tahun lamanya, dipentaskan pada waktu hajatan masyarakat setempat.

Perpaduan antara gerakan kera atau kethek (Bahasa Jawa) dengan gerakan pencak silat yang telah berkembang di wilyah tersebut. Selain itu unsur tarian Kethek Ogleng ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri. Raja Jenggala mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putra bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Di perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.
Perwujudan Panji Asmorobangun dengan sosok kera putih yang lincah menjadi tokoh utama dari kesenian Kethek Ogleng. Sehingga kostum kera putih sama dengan kostum tokoh anoman dalam cerita Ramayana yaitu sosok Hanoman. Namun demikian yang membedakan kostum untuk Hanoman yang biasa digunakan untuk cerita Ramayana lebih mewah (istana) jika dibandingkan kostum kera di Kethek Ogleng. Kera putih dalam sosok Kethek Ogleng merupakan bentuk penyamaran dari Panji untuk bertemu dengan pujaan hati yaitu Dewi Sekartaji. Oleh sebab itu pakaiannya lebih sederhana.
Kesenian tidak terlepas dari bentuk kesenian sebelumnya. Oleh sebab itu Kethek Ogleng yang diciptakan oleh Sutiman, banyak sekali yang terpengaruh pada cerita Panji dan Baju yang sudah ada sebelumnya. pada saat itu tahun 1964 desa Tokawi Nawangan masih hutan belantara, untuk menuju ke Pacitan berjalan kaki selama kurang lebih 6 jam-an. Oleh sebab itu pakaian dan bentuk tarian masih cukup sederhana dan alamiah pada masa itu.
“Untuk pada masa sekarang di mana kethek ogleng sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia tahun 2020, kini tinggal pengembangan dari tari-tariannya sehingga lebih milineal tanpa meninggalkan 6 gerakan pokok yang telah mendapatkan Hak Cipta dan glangsaran yang tidak boleh ditinggalkan,”tutur Sutiman.