Review Buku Denny JA: Jalan demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim; Indonesia sebagai Model

SHARE

KELAS MENENGAH DAN  KOMPLEKSITAS PERAN AGAMA

Oleh: Airlangga Pribadi Kusman Ph.D

Dalam kajian ilmu politik saat ini tengah tumbuh secara substansial perhatian terhadap hubungan antara Islam dan demokrasi. Pertanyaan utama tentang mampukah negeri-negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam menghadapi tantangan politik krusial membuka pintu menuju ufuk baru demokrasi.

Sehubungan dengan tren perhatian dunia akademik terhadap Islam dan demokrasi, buku karya Denny JA berjudul Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim: Indonesia sebagai Model? ini memiliki beberapa kekuatan yang patut dijadikan sebagai rujukan penting dalam kajian soal Islam dan demokrasi serta demokratisasi di negeri-negeri muslim.

Pertama, bahwa saat menguraikan tentang kemungkinan bagi dunia Islam untuk masuk pada era demokrasi beserta lintasan kemungkinan yang menyertai, Denny tidak terjebak untuk membahas tema pro dan kontra hubungan antara Islam dan demokrasi sebagai sesuatu yang intrinsik dalam dirinya sendiri.

Karya ini tidak memilih posisi untuk melakukan kecaman berlebihan dengan menyatakan bahwa Islam secara esensial memiliki corak peradaban yang bertentangan dengan demokrasi maupun masuk pada titik ekstrem lain dengan melakukan dukungan gegap gempita bahwa Islam secara esensial memiliki nilai-nilai yang menunjang total jalan menuju gerbang demokrasi.

Memang perkembangan di dalam studi ilmu politik sudah bergerak maju untuk melampaui pendekatan yang melihat faktor budaya sebagai faktor yang sudah cukup dalam dirinya sendiri atau faktor esensial untuk menilai apakah wilayah budaya tertentu sejalan atau tidak dengan demokrasi.

Dua buku yang sekarang menjadi klasik, karya Samuel P Huntington (1996) The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order dan Bernard Lewis (2002) What Went Wrong, menjadi contoh dari pendekatan kultural esensialis yang skeptik terhadap optimisme Islam menyambut demokrasi.

Meskipun kerapkali digugat, pandangan kultural esensialis ini tanpa disadari diikuti (terutama karya yang lebih soft dari Bernard Lewis) oleh studi-studi tentang Islam dan demokrasi, terutama di kalangan mereka yang melihat fenomena fanatisme atau ekstremisme keagamaan sebagai sesuatu yang statis dan secara inheren kedap dari konteks struktural dan sosial di sekitarnya.

Karya Denny JA berhasil keluar dari jebakan-jebakan pemahaman esensial sambil tetap berpijak pada harapan yang terukur tentang masa depan negeri-negeri muslim melintasi jalur demokrasi.

Baca Juga  PT.PAL Serah Terimakan Kapal Bantu Rumah Sakit kepada TNI AL, Tambah Fasilitas Kesehatan di Indonesia

Kedua, salah satu sisi menarik dari karya ini, meskipun buku ini terbilang sebagai buku pendek yang ringkas, namun Denny JA tidak mengabaikan pentingnya perluasan wawasan komparatif terkait bagaimana berbagai kawasan (mulai dari Eropa Barat dan Amerika Utara, negara-negara Eropa Timur dan Uni Sovyet, negara-negara Skandinavia, serta negara-negara Asia dan negeri-negeri Kawasan Muslim) memasuki pintu gerbang demokrasi disertai dengan problem dan kesempatan maupun keberhasilan dan kegagalannya.

Pembahasan komparatif menjadi penting, sehingga meskipun diuraikan secara ringkas, berbagai kalangan pembaca baik dari pembaca umum maupun expert dapat melihat bahwa proses dan praktik demokrasi bukanlah suatu proses yang berlangsung sekejap dalam satu malam.

Dalam penjelasan terkait komparasi berbagai kawasan bagaimana memasuki tatanan politik demokrasi, karya ini juga mengilustrasikan dengan referensi yang baik tentang bagaimana faktor-faktor ekonomi politik seperti relasi dan pertarungan kelas sosial memiliki kontribusi penting menuju proses demokrasi terutama di negara-negara dengan demokrasi yang sudah matang maupun negara-negara sosialis seperti Rusia dan China.

Dalam melihat negara-negara demokrasi mapan kita diajak untuk menyaksikan bagaimana bangkit dan tampilnya kelas borjuasi dan kelas menengah di Inggris dan Amerika Serikat menjadi tulang punggung dari demokrasi, sementara pada konteks Prancis dan Jerman kita melihat bahwa tatanan demokrasi dan kapitalisme tumbuh di bawah topangan dari peran aktif negara dengan kaki-kaki birokrasinya yang kuat yang cukup intervensionis untuk mendorong pembangunan ekonomi serta implikasi politik yang menyertainya.

Sementara tidak tumbuhnya kelas menengah dan kaum borjuasi di Rusia dan China menjadi penyebab proses transformasi sosial tidak mengarahkan negeri tersebut menuju pada proses demokrasi.

Di sini kita diajak melihat dengan sekilas perjalanan dan trajektori perubahan politik berdasarkan analisis kekuatan-kekuatan kelas sosial seperti digambarkan oelh Barrington Moore Jr (1966) dalam karya klasiknya Social Origins of Democracy and Dictatorship.

Ketiga, bahwa karya ini meskipun tetap konsisten melihat tatanan demokrasi liberal dan relasi agama dan negara yang tidak mengistimewakan satu keyakinan di atas yang lain, tidak melihat trajektori politik illiberal maupun demokrasi illiberal sebagai kutukan!

Tanpa terjebak pada penggambaran hitam-putih tentang kriteria negara demokrasi liberal dan illiberal, karya Denny JA (dengan melihat pergumulan yang terjadi di negeri-negeri muslim, negara-negara Asia-Afrika dan juga kasus India) melihat bahwa demokrasi illiberal adalah lintasan antara, atau suatu tahapan yang dengan segala persoalan yang ada di dalamnya (mulai dari maraknya politik identitas, problem korupsi, politik diskriminasi) akan membawa suatu negara masuk pada era demokrasi liberal sesuai dengan perjalanan waktu dan pematangan pelembagaan dan kondisi masyarakat yang ada di dalamnya.

Baca Juga  Senja Lukisan Terindah di Atas Cakrawala Pacitan

Dari penjelasan tersebut Denny JA masih bersikap optimis bahwa demokrasi Indonesia dengan berbagai problem illiberal yang ada di dalamnya dapat menjadi model bagi perjalanan demokrasi di negara-negara muslim lainnya.

Selanjutnya dengan berbagai kekuatannya, buku singkat yang patut diberi apresiasi untuk menambah wawasan berharga tentang perjalanan demokrasi, memiliki beberapa persoalan yang membutuhkan catatan kritis terhadapnya.

Pertama, karya dari Denny JA ini tidak mampu mempertahankan stamina dalam melakukan analisis tentang demokrasi di berbagai kawasan dengan perspektif analisis politik yang konsisten.

Pada satu bagian Denny JA menggunakan pendekatan analisis relasi kelas sosial dalam memahami perkembangan politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat serta Rusia dan China.

Tapi di sisi lain, Denny tidak menggunakan analisis yang sama dalam melihat perjalanan demokrasi di negeri-negeri muslim. Problem ini tidak lagi menjadi semata-mata persoalan metodologis, tapi sedikit banyak mengurangi akurasi penjelasan Denny JA dalam melihat prospek demokrasi di negeri-negeri muslim.

Apabila kita masukkan analisis relasi kelas sosial dalam melihat prospek demokrasi di negeri-negeri muslim misalnya, kemungkinan Denny akan lebih berhati-hati untuk melihat Indonesia sebagai suatu model.

Mengingat bahwa dalam perspektif analisis kelas, dominasi kekuatan oligarki yang merupakan persenyawaan aliansi dari kekuatan bisnis besar yang bergantung dengan kekuatan politik-birokrasi dalam arena politik Indonesia dan lemahnya pengaruh borjuasi independen maupun kelas menengah yang merdeka menjadi bagian dari persoalan utama mengapa Indonesia sulit untuk naik kelas menuju era demokrasi liberal.

Sementara di sisi lain, analisis struktural juga akan membuat kita cermat dan tidak terlalu menggantungkan kepercayaan bahwa capaian demokrasi liberal di negara-negara maju akan terus berjalan di atas angin.

Apabila kita menyaksikan perubahan politik terakhir, kita akan menyaksikan krisis demokrasi liberal terkait dengan kemunculan kekuatan populisme kanan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Tampilnya kekuatan populisme kanan yang bercorak rasis, anti-imigran, dan mengabaikan fondasi-fondasi politik liberal tidak dapat dilepaskan dari tumbuhnya rasa frustrasi dari kelas menengah rentan maupun kelas pekerja kulit putih akibat mulai tidak responsifnya saluran politik demokrasi mengawal aspirasi politik mereka di era krisis ekonomi pasca 2008.

Baca Juga  Pangdam I/BB Cek Kondisi Anak Asuh Stunting dan Rehab RTLH di Wilayah Kodim 0201/Mdn

Kedua, buku ini juga kurang memberikan ilustrasi terkait kompleksitas peran agama dalam politik baik di negara maju dan berkembang.

Seperti diutarakan oleh Kai Hafez (2010) dalam Radicalism and Political Reform in the Islamic and the Wetern World bahwa bahkan di negara-negara Eropa yang telah mencapai fase demokrasi matang, kekuatan politik agama yang memiliki corak beragama puritan tampil sebagai kaum reformis baik di Inggris dan Amerika Serikat untuk menjadi unsur penting yang memperkuat demokrasi.

Penggambaran politik yang sophisticated seperti yang disampaikan oleh Michael Walzer (2015) dalam karyanya The Paradox of Liberation: Secular Revolutions and Religious Counterevolutions juga dapat menjadi catatan untuk menutupi celah yang tidak disampaikan dalam buku ini, yang dapat diproyeksikan untuk membaca pergumulan politik di negeri-negeri muslim.

Hal itu terkait dengan bagaimana kontestasi dan negosiasi antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis relijius berlangsung di negara-negara yang memperoleh kemerdekaan pasca Perang Dunia Kedua seperti Israel, India, dan Aljazair, serta bagaimana path relasi tersebut mempengaruhi perjalanan negara-negara tersebut ke depan.​

Pada akhrinya buku ini memberikan sumbangan penting dalam perluasan wawasan kajian politik di Indonesia, dan perambahan dalam jalur akademik bagaimana upaya kita untuk mendorong lebih kencang gerbong demokrasi di Indonesia untuk menghormati politik liberal dan inklusif.

*

Airlangga Pribadi Kusman Ph.D

Lahir di Jombang 23 November 1976, Pengajar di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya (sejak 2004).

Ketua Tim Navigasi Provinsi Jawa Timur. Meraih gelar Sarjana Ilmu Politik S1 pada tahun 2002 di Universitas Airlangga, Gelar Master dalam Ilmu Politik dari Pasca Sarjana UI 2006 dan Gelar Ph.D dari Asia Research Centre Murdoch University pada tahun 2016.

Penulis buku The Vortex of Power: Intellectuals and Politics in Indonesia’s Post-Authoritarian Era.