Pentingnya Tuturan Langsung Menurut Mahasiswa Milenial STKIP PGRI Pacitan
PRABANGKARANEWS.COM | PACITAN – Littlejhon sangat jelas bahwa era sekarang ini adalah era simulasi, dimana manusia memainkan beberapa peran dalam masyarakat. Baudrilland (2018: 155) dunia yang kacau balau, penuh konflik, kontradiksi, setiap medium memaksakan logokanya sendiri sebagai pesan menurut pernyataan Mc.Luhan.
Simulasi menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusi, di mana tanda tidak lagi mewakili tetapi menciptakan realitas kita (Liitlejohn, Stephen W, 2019: 409).
Menarik untuk selalu dikaji apalagi saat Pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil wawancara jurnalis terhadap narasumber salah satu Ketua Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia STKIP PGRI Pacitan Ulfa Maulia Rahmawati, remaja milenial yang sedang menyelesaikan Studi di STKIP PGRI Pacitan semester 6, melalui email dan whatshapp Rabu (10/06/2020)
Jurnalis@Prabangkaranews menanyakan, “Apakah tuturan secara langsung masih relevan saat pandemi Covid-19?”
Ulfa menjawab dengan keilmuwannya khususnya Pragmatik, “ sampai kapan pun tuturan langsung akan masih tetap relevan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan sesama. Pandemi Covid-19 bisa dikatakan sebagai ajang latihan ketika manusia mencapai tahap peradaban ilmu pengetahuan yang menjadikan semua manusia tidak lagi berkomunikasi melainkan tergantikan oleh teknologi. Pada dasarnya berkomunikasi secara langsung bila dikaitkan dengan agama bisa disebut silaturahmi. Namun saat ini karena diterapkan pyshical distancing maka tuturan langsung secara tatap muka dikurangi penggunaanya, hanya untuk lingkup keluarga saja. Bisa diambil contoh bahwa untuk urusan pemerintahan saja yang notabene penting hanya dilakukan dengan via video konferensi. Hal ini ditunjukan untuk menekan angka penularan covid-19.
Lebih jauh jurnalis menanyakan, ” Bagaimana fungsi guru atau dosen dalam penyampaian pesan nilai karakter di era pandemi Covid-19?”
Guru dan dosen akan tetap menjadi tumpuan pendidikan. Namun yang harus dikaji ulang yaitu cara bagaimana cara penyampaian guru dan dosen dalam menyampaikan nilai karaker kepada murid atau mahasiswa? Pertanyaan ini menjadi hal rumit ketika menjawab. Tidak dapat dipungkiri tanpa berkomunikasi secara langsung penyampaian pesan nilai kareakter bisa saja bergeser esensinya,
Karena kami lihat Ulfa seorang aktifis di kampus dan juga banyak kegiatan lainnya jurnalis mencecar pertanyaan, “Bagaimana setelah pasca Pandemi Covid-19 yang kita tidak tahu kapan berakhirnya, khususnya profesi yang mengharuskan beratatap muka secara langsung seperti guru dan dosen?”
Apabila covid-19 sudah mereda, kehidupan pendidikan akan berangsur pulih namun mau tidak mau profesi yang mengharuskan tatap muka seperti guru dan dosen harus mengikuti aturan dunia yang tidak lagi sama. Guru dan dosen hanyalah profesi sebagaian kecil yang terdampak. Banyak profesi yang lebih mengharuskan bertatap muka namun tidak lagi bisa. Misalnya menjadi DOKTER. Sekarang ini doker bisa melakukan operasi jarak jauh. Walaupun menyangkut nyawa seseorang namun dokter tidak lagi harus datang bahkan bisa lintas negara. Teknologi menyediakan kemudahan seluas-luasnya, tergantung bagaimana pada pemakaianya termasuk pendidikan.
Apa yang saudara lakukan seandaianya cultur atau budaya kita akan berubah pasca pandemi Covid-19?
Sudah seharusnya cultur dan budaya akan berubah. Walaupun tidak ada pandemi Covid-19, tidak menutup kemungkinan bahwa 20-50 tahun kedepan beradapan dunia sudah tergantikan secara penuh dengan teknologi. Maka dari itu pelestarian budaya menjadi barang mahal, seperti halnya kesenian kethek ogleng yang hari ini menjadi primadona Pacitan bahkan dunia. Dan saya sebagai generasi muda pastinya pemikiran saya juga tidak akan sama dengan generasi sebelumnya. Budaya yang lebih praktis akan menjadi opsi cultur pilhan, namun sebagai generasi yang juga paham dengan hal itu, maka sudah kewajiban untuk melestarikannya. Jiwa boleh milenial, namun budaya tetap kita uri-uri!!!
Semoga hasil dari wawancara jurnalis dengan salah satu Mahasiswa Program Stdu Bahasa Indonesia STKIP PGRI pacitan menunjukan kualitas jawaban tidak berbeda jauh dengan yang kuliah di kampus lainnya di luar kota. Tuturan langsung sangat dibutuhkan disebabkan untuk mencapai tingkat kesepakatan pesan yang disampaikan dalam bentuk teks oleh penutur ataupun jurnalis dapat diterima oleh mitra tutur dengan makna yang sama. Sehingga terjadi proses semiosis yang sanngat dibutuhkan dalam masayarakat multikultural Indonesia. Saling menghargai sesama menjadi kunci penting dalam komunikasi disampaing kontek ruang dan waktu sangat dibutuhkan dalam proses komunikasi. (Jurnalis/Agoeshendriyanto/Mahasiswa Program Doktor UNS Surakarta)