PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FILSAFAT MAHABHARATA DI INDIA DAN JAWA
Oleh: Prof. Dr. H. Bani Sudardi, M.Hum (*)
Abstrak
Artikel ini membahas tentang persamaan dan perbedaan Filsafat dalam mahabharata di India dan di Jawa. Kajian juga meliputi perkembangan pemahaman
masyarakat Jawa tentang wayang dari masa Mataram Kuna, Medang, Kediri,Majapahit sampai dengan Mataram Islam.
Kata Kunci: Wayang; Mahabharata, Jawa, India
Dalam kehidupan manusia sering bertanya tentang hakikat sesuatu. Pertanyaan tersebut kadang juga menyangkut hal-hal dalam kehidupan, namun juga
menyangkut tentang hal-hal seperti Sangkan paraning Dumadi, hidup setelah mati, serta aturan-aturan yang terdapat dalam alam semesta sehingga manusia bernasib sebagaimana adanya saat ini. Itulah hal yang terkait dengan filsafat.
Manusia bertanya, berdiskusi, membuat suatu presentasi, dan cara-cara yang dianggapnya sesuai dengan tujuan pemahaman tentang hakikat sesuatu. Dalam kebudayaan setiap suku bangsa, pemahaman filsafat tersebut selalu berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi masyarakat. Pada umumnya metode yang digunakan adalah metode fenomenologi dengan memahami fenomena-fenomena cara menghubungkan dengan jaringan kejadian yang kasat mata maupun tidak kasat mata.
Dalam artikel kecil ini, penulis mencoba mengaitkan antara filsafat wayang dalam kebudayaan India dan kebudayaan Jawa, khususnya dalam hubungan Kitab
Mahabharata.
Dalam kebudayaan India, filsafat wayang tersimpan dalam narasi panjang yaitu berupa cerita Mahabharata dan Ramayana. Mahabharata adalah sebuah kisah sejarah tentang keluarga Barata yang melaksanakan s uatu perang besar dalam rangka memperebutkan kerajaan Hastinapura. Perang tersebut sangat unik karena dilaksanakan dengan berbagai kesepakatan seperti dimulai pagi hari dan diakhiri ketika senja sudah tiba. Dari segi pengarangnya, mahabharata termasuk satu cerita yang unik.
Cerita ini ditulis oleh resi Abiyasa dan masa penulisan dari abad ke-3 sampai dengan abad ketiga masehi atau dalam masa 600 tahun. Dalam hal ini, menurut pandangan orang modern saat ini adalah sesuatu yang mustahil seseorang hidup selama 600 tahun.
Di India, mahabharata merupakan suatu cerita suci yang termasuk bagian dari ritual agama Hindu. Cerita ini dapat dianggap sebagai weda yang kelima, yang disebut sebagai dharmasastra. Dalam agama Hindu tokoh-tokoh tertentu mengajarkan kebajikan yang disebut sebagai sastra, misalnya manawa dharmasastra (kitab ajaran Manu), sehingga Mahabharata dapatlah disebut sebagai dharmasastra dari resi Abiasa. Mahabharata adalah bentuk presentasi filsafat india yang disusun secara fenomenologis dari berbagai cerita yang satu dengan cerita yang lain meskipun tidak berhubungan namun akhirnya menjadi berhubungan.
Mahabharata adalah salah satu kitab yang berisi ajaran Hindu. Ajaran yang utama adalah ajaran tentang Dharma, yaitu tentang kewajiban dalam kehidupan manusia. Ajaran tersebut disampaikan dan dibimbing oleh avatara Wisnu yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk Batara Krisna. Hampir semua peperangan
yang ada di dalam Mahabharata adalah Peperangan antara Dharma dan adharma.
Menurut pandangan saya, puncak dari peperangan Dharma dan adharma tersebut terjadi pada Peperangan antara arjuna dan Karna. Dalam peperangan itu, hampir-hampir kehilangan semangat dalam berjuang, namun kemudian mendapat bimbingan dari batara Krisna sehingga Arjuna bisa tetap teguh dalam
perjuangannya. Kisah perjuangan Arjuna dan nasihat-nasihat dari hal tersebut diabadikan tersendiri dalam bentuk kitab Bhagawadgita.
Dapat kita dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi India mahabharata adalah bentuk presentasi pemikiran filsafat yang mengajarkan tentang hakikat kehidupan.
Mahabharata adalah sebuah ajaran suci mengenai prinsip-prinsip kehidupan dharma, adarma, karma dalam rangka menuntun manusia ke dalam kehidupan yang
benar sesuai tuntunan yang diberikan oleh Dewata yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk Awatara Wisnu pada diri batara Krisna.
Kitab Mahabharata adalah sebuah bentuk presentasi dari keyakinan agama Hindu yang disebut sebagai karma. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa-apa diperbuatnya di masa lalu (karmapala). Karena itu, karma juga menjadi semacam refleksi dari sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Gambaran tentang karma ini dapat dilihat dari kisah
Resi bhisa yang mahasakti . Karena pada masa lalu dia pernah membunuh seorang wanita, maka ketika dalam perang Mahabharata dia berhadapan dengan seorang
wanita ia segera ingat perbuatannya di masa lalu dan merasa datangnya karma sehingga diletakkannya senjata dan dipasangnya dadanya ketika dewi Wara Srikandi menghadapinya dalam sebuah peperangan.
Dalam tradisi Jawa cerita tentang wayang sudah mengalami suatu perjalanan yang panjang. Kita tidak menemukan banyak tentang diskusi-diskusi mendalam
mengenai wayang tersebut, namun kita menemukan berbagai presentasi tentang wayang yang berhubungan dengan filsafat wayang tersebut.
Pada masa Mataram Kuna, ditemukan istilah mawayang buat yang macarita Bima ya Kumara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam filsafat Jawa pada waktu itu wayang merupakan bagian dari suatu ritual yang berkaitan dengan para dewa. Hal ini mirip seperti yang terjadi di India bahwa cerita Mahabharata dan Ramayana dianggap sebagai suatu cerita suci.
Presentasi lain dalam bentuk relief dalam candi Prambanan yang di situ digambarkan cerita dari Ramayana. Candi yang diperuntukkan sebagai sarana menyembah kepada dewa Siwa tersebut menggambarkan relief Sri Rama dalam bentuk perenungan ketika melakukan praktek Cina atau ritual mengelilingi candi berlawanan dengan arah jarum jam.
Pada masa Airlangga, melalui karya yang berjudul Arjuna Wiwaha tampak bahwa wayang digunakan sebagai sebuah prasasti bahasa untuk menggambarkan
perjuangan airlangga sampai mencapai kemenangan melalui perjuangan masuk keluar hutan dalam rangka menyusun kekuatan untuk mengalahkan raja Wurawari
yang telah merebut kerajaan Medang.
Pada masa Kediri wayang telah dijadikan sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan yang dilakukan oleh Jayabaya. Raja terbesar Kediri ini memerintahkan
Mpu Sedah dan Mpu Panuluh untuk menulis Mahabharata dalam bahasa Jawa kuna. Perintah ini sebenarnya berkaitan dengan legitimasi Jayabaya. Raja Kediri ini
ingin membenarkan dirinya meskipun dia telah membunuh saudara-saudara karena ia menganggap dirinya sebagai Pandawa yang telah membunuh saudara-saudara Kurawa dalam rangka melaksanakan d harmanya sebagai seorang raja. Cerita Mahabharata pada masa ini dianggap sebagai representasi sejarah Jawa sekaligus menegaskan bahwa yang dilakukan Raja Jayabaya adalah suatu perbuatan yang sesuai dengan Dharma.
Yang menarik bahwa pada masa Singasari dan Majapahit, kedudukan wayang ini tidak mendapatkan tempat yang istimewa. Mungkin hal ini berhubungan
dengan situasi kerajaan pada waktu itu yang lebih mementingkan ekspansi ke luar Jawa. Sebagaimana kita ketahui pada masa Kertanegara sudah dikirimkan
Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera, sementara pada masa Majapahit ekspedisi penaklukan keluar Jawa banyak dilakukan oleh Gajah Mada dan Adityawarman
sehingga konsepsi tentang pewayangan tidak begitu berkembang.
Di samping itu, pada masa Majapahit dan Singasari terdapat usaha-usaha menyatukan agama Hindu dan Budha sehingga kitab-kitab dari agama Hindu seperti
Mahabharata dan Ramayana tidak banyak ditonjolkan. Pada zaman Majapahit wayang yang berkembang adalah wayang beber yang banyak mengangkat kisah-
kisah Panji. Atau boleh jadi, pada masa Majapahit ini terjadi satu perubahan pandangan mengenai wayang. Dalam sejarah kebudayaan, pada masa Majapahit ini
muncullah kembali unsur-unsur ketika pengaruh dari India sudah mengalami kejenuhan.
Suatu hal yang menarik pada masa akhir adalah munculnya cerita wayang yang dikaitkan dengan cerita sejarah. Hal ini tampak pada cerita tentang sudah
malam yang mengambil pokok cerita dari Mahabharata dengan tokoh utama Sadewa yang berhasil menguap surga. Selanjutnya Sadewa ini dijadikan nenek
moyang raja-raja Banyuwangi sebagaimana diceritakan dalam Kidung Sudamala.
Filsafat yang terdapat dalam lakon ini bahwa tokoh-tokoh yang pulau Jawa adalah keturunan dari tokoh-tokoh yang dalam hal ini adalah Sadewa. Kisah ini merupakan presentasi dari pemikiran tentang asal-usul para penguasa Jawa.
Cerita lain yang berkembang tentang pertanyaan Hakiki asal-usul muncul dalam kidung dewa Ruci dengan tokoh utama Bima. Pemikiran filsafat dalam kidung
ni adalah tentang asal-usul dumadi dan kemanunggalan antara Tuhan dan makhlukNya yang digambarkan dengan Bima yang Manunggal dengan Dewa Ruci
di dalam telinga Dewaruci. Pada masa kesultanan Demak, cerita Dewa Ruci ini menjadi model dari cerita suluk yang merupakan model cerita pelajaran tasawuf bagi
masyarakat Jawa pada waktu itu yang di dalamnya banyak tentang diskusi diskusi filsafat mengenai Tuhan, hamba, bersuci, alam semesta dan sebagainya.
Perjalanan cerita wayang masih berlanjut pada zaman Mataram. Pada zaman ini diciptakan tokoh-tokoh sebagai pengimbang kekuasaan para dewa karena pada
Yaman Mataram ini penguasa yang tertinggi bukan lagi para dewa, melainkan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Pada masa itu terjadi penurunan derajat para dewa yaitu hanya sebagai anak cucu Nabi Adam sebagaimana digambarkan dalam Serat
Paramayoga karya R.M. Ranggawarsita. Menurut pandangan saya serat ini merupakan serat paripurna tentang perpaduan antara Islam, Jawa, dan Hindu. Di
dalamnya juga dimunculkan benua Asia, serta munculnya tokoh Nabi Isa yang konflik dengan Batara Guru. Mungkin pengaruh agama Kristen sudah ada pada
Yaman Rangga Warsita sehingga Nabi Isa dimunculkan di dalamnya sebagai representasi kepercayaan orang-orangKristen.
(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Dewan Pakar Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia