Menjahit Waktu Sultan Agung: Ketika Gen Z, Akademisi, dan Penyiar Radio Berguru pada Kalender Jawa

PRABANGKARANEWS, SURAKARTA — Langit cerah di Kota Bengawan ketika deru sepeda motor mahasiswa Prodi Sastra Indonesia FIB UNS berhenti di Gedung RRI Surakarta. Saat itu, Jumat (16/5/2025), ruangan studio komunitas budaya lokal terasa seperti mesin waktu: pengunjung lintas usia duduk melingkar menghadap meja bundar bertaplak batik, menanti kisah tentang seorang raja Agung dari Mataram Islam yang merekatkan sejarah dan iman lewat putaran kalender.
Di tengah lingkaran acara bincang-bincang di Pro 4 RRI Surakarta, Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. pakar sastra Jawa yang rambut putihnya dengan kacamatanya serta ketulusannya membimbing mahasiswa dengan telatennya. Semangat tak pernah pudar dengan terus mencetak generasi yang tak lupakan sejarah peradaban masa lampau yang mengandung nilai-nilai filosofis yang agung.
Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Bani Sudardi, M, Hum dosen Sastra Indonesia; Nikita, mahasiswi Sastra Indonesia; dan Pak Dedi Setiadi, penyiar radio budaya dari RRI Surakarta. Diskusi berlangsung hangat dan interaktif, membahas pentingnya pelestarian kearifan lokal, khususnya budaya Jawa, serta peran Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai tokoh kebudayaan Nusantara
Visi Sultan di Balik Kalender
“Sultan Agung Hanyakrakusuma bukan hanya penakluk Batavia,” buka Prof. Bani, suaranya berat seperti gamelan gong. “Ia arsitek kultural: menyatukan Saka, Hijriah, dan kalender Jawa agar bangsa punya jam tangannya sendiri, tak tunduk pada lonceng VOC.”
Kalender Sultan Agungan, lanjutnya, adalah “perlawanan sunyi”—senjata tanpa mesiu namun sanggup meneguhkan identitas. Bulan Suro (Muharam) dikeramatkan; larangan hajatan menjadi peringatan kosmis tentang kesadaran diri. “Begitu halus taktiknya, penjajah pun tak sempat menuduhnya makar,” tambah Prof. Bani disambut anggukan kagum hadirin.
Suara Gen Z yang Samar
Ketika mikrofon berpindah, Nikita menghela napas. “Kami, Gen Z, lahir di dunia scrolling. Larik tembang tergeser caption pendek. Kadang tradisi terasa jauh… bukan karena kami menolak, tapi jarang disentuhkan,” ucapnya jujur. Pernyataannya memantik renungan: di mana letak putus simpul sejarah itu?
Pak Dedi segera menimpali, “Radio mungkin media ‘lawas’, tapi frekuensinya bisa jadi jembatan. Ayo, anak muda bersiaran! Bikin podcast Jawa, bikin playlist gending lo-fi—apa pun yang menghidupkan ingatan.”
Perang Budaya yang Tak Usai
Diskusi makin hangat ketika Prof. Bani memproyeksikan peta Mataram di layar kain. “Perlawanan Sultan Agung bukan hanya tombak dan kuda. Ia paham: ketika musuh membawa waktu Eropa, ia ciptakan waktu Jawa. Budaya adalah pagar yang tak lekang.” Kalimat itu menggema, menenun jarak empat abad dengan satu kesadaran: identitas bisa bertahan lewat bahasa, ritus, dan penanda waktu.
Menantang Arus Global
Lebih satu jam berlalu, tapi tidak ada yang beranjak. Gemerisik hujan di luar mengiringi kesimpulan Pak Dedi. “Globalisasi seperti air bah. Tapi kalau kita tahu cara berenang di arusnya—dengan kalender, cerita, kuliner, nada gending—kita tidak akan hanyut.”
Nikita menutup catatannya. “Saya pulang dengan PR: membuat konten TikTok bertema larangan hajatan Suro—supaya teman-teman saya tahu kenapa tanggal Jawa masih penting,” katanya, disambut tepuk tangan.
Refleksi Menjelang Tengah Malam
Sebelum lampu dimatikan, Prof. Bani membisikkan pesan: “Budaya bukan fosil. Ia jantung yang harus terus berdetak.” Malam pun berakhir, tetapi getarannya merembes ke ruas-ruas jalan Solo mengiringi denyut kota yang masih bersetia pada peta langit Sultan Agung.
Di luar studio Pro 4 RRI Surakarta, hujan reda. Bulan sabit menggantung penanda kalender yang lain. Mungkin, di langit itu Sultan Agung sedang tersenyum, menyaksikan anak-cucu Nusantara merajut kembali jarum-jarum waktunya.
Penulis: Chelsea Nayla Sansabil (B0224002), Naira Parahita Nastiti (B0224012), Azzahra Cincin Connie Ramadhani (B0224078)