Dunia dalam Simulasi: Menyelami Gagasan Jean Baudrillard

PRABANGKARANEWS – Di era modern ini, kita sering kali merasa sulit membedakan antara yang nyata dan yang semu. Misal dalam bidang ekonomi jual beli online menjadi trend masyarakatsekarang ini. Walaupun terkadang banyak sekali yang tidak sesuai dengan barang yang diinginkan oleh konsumen.
Iklan, media sosial, bahkan dunia hiburan, kerap menghadirkan realitas buatan yang justru lebih kita percayai ketimbang kenyataan sesungguhnya. Fenomena inilah yang dibedah oleh filsuf asal Prancis, Jean Baudrillard, melalui konsep simulasi, simulacra, dan hiperrealitas.
Menurut Baudrillard, masyarakat kontemporer tidak lagi sekadar mengonsumsi barang untuk fungsi materialnya, tetapi lebih kepada tanda dan simbol yang melekat padanya. Sebuah produk tidak hanya bernilai karena kegunaannya, melainkan juga karena citra dan makna yang disematkan. Seperti halnya dalam masyarakat primitif yang memuja simbol-simbol tertentu, manusia modern pun memiliki “kultus” baru: pada kemasan benda, pada citra yang diproduksi televisi, hingga pada jargon kemajuan dan pertumbuhan.
Konsep hiperrealitas menjelaskan bagaimana realitas kini tidak bisa dilepaskan dari permainan tanda-tanda. Fakta bercampur dengan rekayasa, yang asli melebur dengan yang palsu, sehingga batasnya nyaris tak terlihat. Representasi yang diciptakan media sering kali tidak lagi sekadar melukiskan realitas, tetapi justru menggantikan realitas itu sendiri.
Masyarakat menerima informasi sebagai kebenaran, padahal sering kali itu hanyalah realitas semu. Masyarakat akan mempercayai setiap iformasi baik melalui media sosial aupun media online. Sehingga batas antara informasi palsu atau benar sangat tipis. Masyarakat perlu lakukan verifikasi kebenaran dari setiap informasi. Oleh sebab itu perlunya peningkatan sumbr daya masyarakat sehingga bisa melakukan verifikasi berita secara mandiri. Sehingga informasi tidak langsung direspon namun melalui roses “Axiologi ” atau metode verifikasi kebenaran berita.
Baudrillard menyebut kondisi ini sebagai simulacrum—sebuah dunia buatan yang sengaja diciptakan untuk menggambarkan realitas, meski realitas aslinya mungkin tak pernah ada. Dalam pandangannya, sejarah simulacra terbagi dalam tiga tingkatan: mulai dari representasi yang masih alami pada era Renaisans, pergeseran besar akibat industrialisasi, hingga dunia pascamodern yang dibentuk oleh teknologi informasi dan komunikasi.
Kehidupan modern memberi banyak contoh nyata tentang bagaimana simulasi bekerja. Disneyland, Universal Studio, Las Vegas, hingga Beverly Hills adalah gambaran paling jelas bagaimana dunia semu bisa terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Di titik inilah lahir istilah hiperrealitas, ketika tidak ada lagi yang lebih realistis—karena realitas itu sendiri telah larut dalam permainan tanda dan citra.
Baudrillard kemudian merumuskan empat fase citraan: pertama, citra merefleksikan realitas; kedua, citra menutupi realitas; ketiga, citra menutupi ketiadaan realitas; dan keempat, citra hadir tanpa hubungan dengan realitas apapun—murni sebagai simulacrum. Dunia yang kita huni, katanya, kini semakin didominasi oleh fase keempat ini.
Pada akhirnya, pemikiran Baudrillard mengajak kita untuk lebih kritis terhadap apa yang disebut “nyata”. Sebab di tengah derasnya arus media dan teknologi, yang kita lihat, dengar, dan percayai mungkin bukan lagi realitas, melainkan hanya simulasi dari realitas yang pernah ada. (Redaksi)