Hari Kedua Identifikasi Naskah Kuno di Museum dan Padepokan Keris Brojobuwono Karanganyar
PRABANGKARANEWS, Karanganyar — Di sebuah ruangan sunyi yang hanya diisi suara klik kamera dan helaan napas hati-hati, selembar lontar berusia ratusan tahun kembali “berbicara.” Rabu (12/11/2025) menjadi hari kedua pelaksanaan kegiatan identifikasi koleksi naskah kuno yang digelar oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Disarpus) Kabupaten Karanganyar bekerja sama dengan Asep Yudha Wirajaya, dosen filologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Kegiatan yang berlangsung di Museum dan Padepokan Keris Brojobuwono, Desa Wonosari, Kecamatan Gondangrejo, ini menjadi lanjutan dari agenda hari pertama yang berfokus pada pendataan dan dokumentasi awal naskah.
Pada hari kedua, kegiatan berlanjut dengan proses digitalisasi dan identifikasi naskah oleh tim gabungan dari Program Studi Sastra Indonesia FIB UNS, Program Studi Sastra Daerah FIB UNS, serta Program Studi Ilmu Perpustakaan Sekolah Vokasi (SV) UNS.
Tahapan kegiatan meliputi pemindaian naskah menggunakan kamera profesional dan alat pemindai (scanner), pencatatan metadata, serta penyusunan deskripsi naskah. Semua dilakukan dengan cermat dan sesuai prinsip konservasi agar kondisi naskah tetap terjaga.
Bagi para mahasiswa peserta, pengalaman ini bukan sekadar kegiatan akademik—melainkan pertemuan langsung dengan warisan pengetahuan masa silam.
“Setiap naskah memiliki karakter berbeda. Naskah lontar, misalnya, memerlukan sentuhan ekstra hati-hati karena mudah rapuh. Untuk memperjelas aksara, kami menggunakan kemiri bakar agar tulisan muncul tanpa merusak permukaannya,” ujar salah satu mahasiswa dengan nada kagum.
Pendamping kegiatan, Asep Yudha Wirajaya, menegaskan pentingnya ketelitian dan kesabaran dalam proses identifikasi. “Naskah-naskah ini bukan sekadar benda lama, tapi sumber ilmu yang hidup. Dari sinilah mahasiswa bisa belajar langsung bagaimana ilmu filologi diterapkan. Kegiatan seperti ini semestinya menjadi agenda rutin untuk memperkaya khazanah penelitian,” ungkapnya.
Dari naskah yang berbahan daun lontar hingga manuskrip berbentuk buku, setiap halaman menyimpan kisah dan nilai sejarah yang tak ternilai. Di tangan para peneliti muda itu, aksara-aksara tua kembali mendapatkan kehidupan baru—bukan hanya sebagai peninggalan, tapi juga sebagai warisan ilmu pengetahuan yang terus dijaga dan diwariskan.
💬 “Setiap aksara adalah suara masa lalu,” demikian pesan yang seolah terpatri di balik setiap helai naskah.
Hari kedua kegiatan ini pun bukan sekadar proses dokumentasi, tetapi juga langkah kecil dalam menjaga denyut kebudayaan Nusantara agar tetap hidup di tengah arus modernitas.
Penulis: Syarifa Farah Azizah, Lutfia Hardiantari
Foto: Rezty Putri Ariana Gunarso
