Situs Makam Tua Belanda di Pemakaman Umum Kucur, Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan – Jawa Timur
PRABANGKARANEWS, PACITAN – Di antara hamparan perbukitan dan lembah yang menyimpan banyak kisah masa lalu, Pacitan ternyata memiliki peninggalan sejarah yang nyaris terlupakan: Citus Makam Tua Belanda yang terletak di Pemakaman Umum Kucur, Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Pacitan. Jejak ini diperkirakan berasal dari abad ke-18 Masehi, masa ketika wilayah Pacitan masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda setelah masa singkat pendudukan Inggris Raya.
Tersebutlah seorang Entenaar, seorang priyayi Belanda yang bertugas di Pacitan. Ia dikenal sebagai seorang pengelola perkebunan kopi (Sinder Belanda) yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan produksi kopi di wilayah Nawangan dan sekitarnya.
Dari negeri asalnya, Negeri Kincir Angin, ia datang membawa pengetahuan tentang perkebunan dan sistem tanam modern. Dalam kesehariannya, ia terjun langsung mulai dari penyiapan lahan, persemaian bibit unggul, penanaman, perawatan, hingga pemanenan dan pendistribusian hasil panen kopi Pacitan ke berbagai daerah hingga sampai ke benua Eropa.
Pada masa itu, biji kopi Pacitan jenis “Labrican” sangat tersohor di Eropa karena aroma dan cita rasanya yang khas—suatu keunikan yang tidak dimiliki oleh kopi dari wilayah lain di Nusantara.
Namun, di balik gemuruh aktivitas perkebunan dan aroma kopi yang semerbak, tersimpan kisah cinta yang mengharukan. Sang Sinder Belanda ini jatuh hati kepada seorang gadis pribumi Pacitan yang dikenal masyarakat dengan nama Jamiyah, seorang perempuan berparas ayu dan berhati lembut.
Cinta mereka tumbuh di tengah tembok tinggi perbedaan status sosial dan budaya. Pertentangan datang, baik dari pihak pemerintah kolonial Belanda maupun orang tua Jamiyah yang menolak hubungan tersebut. Cinta yang bersemi harus berakhir dalam perpisahan; sang Sinder dipindahtugaskan ke luar Pacitan, jauh dari kekasih hatinya.
Tak kuasa menahan rindu dan derita perpisahan, Jamiyah jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kabar duka itu sampai ke telinga sang Sinder Belanda. Dengan hati hancur, ia kembali ke Pacitan dan membangun makam bergaya Eropa di tempat peristirahatan terakhir kekasihnya — makam itu berukuran sekitar 3 meter panjang dan 4 meter lebar, berhias ornamen bergaya Romawi kuno, lengkap dengan tulisan berhuruf Romawi yang kini mulai pudar dimakan usia.
Makam tua ini menjadi saksi bisu sebuah kisah cinta lintas bangsa dan perbedaan sosial, cinta yang melampaui batas warna kulit dan derajat manusia.
Kini, citus Makam Tua Belanda di Kucur berdiri sunyi di antara nisan-nisan masyarakat setempat, menjadi pengingat bahwa di tanah Pacitan yang damai ini pernah terpatri kisah cinta sejati—
“Cinta kepada pujaan hati yang tak mengenal batas dan perbedaan.”
Penulis: Amat Taufan
