Pengemudi Becak Masuk Era Digital Lewat QRIS: Jawaban di Tengah Tren Wisatawan Tanpa Uang Tunai

Pengemudi Becak Masuk Era Digital Lewat QRIS: Jawaban di Tengah Tren Wisatawan Tanpa Uang Tunai
SHARE

PRABANGKARANEWS – Di tengah meningkatnya gaya hidup tanpa uang tunai, Pemerintah Kota Surakarta mulai mendorong digitalisasi sektor informal dengan memperkenalkan sistem pembayaran QRIS bagi pengemudi becak. Upaya ini menjadi jawaban atas kebutuhan wisatawan yang kini lebih sering berpergian tanpa membawa uang tunai.

Program ini dimulai melalui edukasi kepada 100 pengemudi becak pada 14 Mei 2025, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi berskala besar bertajuk “Becak Wisata Praktis, Mbayare Nganggo QRIS” yang diselenggarakan di Pendhapi Gede, Balai Kota Surakarta, pada 26 Juni 2025. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Dinas Perhubungan Surakarta, Bank Indonesia, BNI, dan Pemerintah Kota Solo, serta terdokumentasi dalam unggahan akun Instagram resmi @dishubsurakarta, @respatiardi, dan @solo_radio.

Namun di lapangan, implementasinya masih menghadapi tantangan. Di kawasan Beteng, seorang pengemudi becak bernama Supriyadi (64) mengaku belum pernah mengikuti sosialisasi resmi mengenai penggunaan QRIS. Meskipun belum memahami secara teknis, ia menyatakan kesediaannya untuk mengikuti perkembangan apabila mendapatkan bimbingan.

Baca Juga  Selangkah Lagi 3 Warisan Budaya Tak Benda Pacitan Akan Ditetapkan Sebagai WBTB 2020

“Saya belum ikut, belum ada undangan. Tapi kalau dijelaskan dan dibantu, saya mau ikut. Sekarang belum mengerti caranya,” ujarnya.

Ia tidak menolak penggunaan teknologi, tetapi berharap ada sosialisasi langsung yang membimbing langkah-langkah penggunaannya secara praktis.

Berbeda dengan Supriyadi, pengemudi becak di Pasar Gede bernama Suyatni (66) justru sudah mengetahui QRIS karena sempat mengikuti sosialisasi. Ia menyampaikan bahwa QRIS membantu pengemudi becak sekaligus menunjukkan perhatian pemerintah kepada masyarakat kecil.

“Ya ceritanya, pokoknya intinya, ya pemerintah ini sedikit banyak menolong orang kecil, termasuk terutama orang becak. Terus, ya pedulilah istilahnya, ya kita sangat berterima kasih pada Dishub atau jajaran yang membantu,” katanya.

Saat ditanya siapa yang membantu memasang barcode QRIS, ia menjawab, “Oh iya ada, malah sebagian bapak Dishub yang memasang,” ucapnya.

Baca Juga  Perdana, Presiden Prabowo Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya

Selanjutnya, saat ditanya apakah QRIS pernah dipakai oleh penumpang, Suyatni menjawab belum. Meskipun demikian, ia menyampaikan pendapatnya mengenai potensi manfaat sistem tersebut.

“Kalau menggunakan uang tunai, kami langsung menerima uang. Kalau ingin membeli wedangan, bisa langsung dilakukan. Namun jika menggunakan QRIS, ada proses yang harus dilalui. Tapi kalau kita berpikir untuk membantu, artinya ketika ada wisatawan asing yang tidak membawa uang tunai, kita memiliki QRIS sehingga mereka tetap bisa menggunakan jasa becak.”

Masih dari kawasan Pasar Gede, seorang pengemudi lain bernama Tarno (65) menilai bahwa penggunaan QRIS belum efektif untuk tarif kecil yang umumnya berlaku pada jasa becak. Ia menyebutkan tarif dari Pasar Gede ke beberapa lokasi wisata yang relatif terjangkau.

“Kalau cuma Rp15.000–Rp20.000, lebih enak pakai tunai. Soalnya uangnya bisa langsung dipakai buat beli minum atau makan. Kalau QRIS, nunggu masuk dulu, kan lama,” jelasnya.

Baca Juga  Pendapat Pengamat, Setelah Bubarnya Relawan "Ganjar Pranowo Mania"

“Dari Pasar Gede ke Mangkunegaran itu biasanya Rp15.000, ke Klewer juga Rp20.000, kalau ke parkir Beteng bisa Rp15.000.”

Sementara di kawasan Pasar Klewer, beberapa pengemudi becak sudah tampak menggunakan QRIS. Namun secara umum, penggunaannya belum menyeluruh. Sebagian besar pengemudi masih memilih pembayaran tunai karena dinilai lebih praktis dan langsung dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan harian.

Dari hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa digitalisasi pembayaran melalui QRIS di kalangan pengemudi becak Solo sudah mulai berjalan, namun masih membutuhkan banyak penyesuaian. Sikap terbuka dari para pengemudi sudah terlihat, tetapi keberhasilan program sangat bergantung pada pemerataan informasi, penyederhanaan proses, serta pendampingan teknis yang langsung menyentuh pelaku di lapangan.

Jurnalis: Kayla Syifa Sayidinna – Universitas Sahid Surakarta