Ringkasan Buku Kumpulan Review Film Denny JA: Nabi Baru atau Penjahat Rohani?

RENUNGAN HIDUP DI DALAM FILM
Oleh Anick HT
Sahabat, apa yang Anda alami ketika menonton sebuah film?
Buku ini dimulai dengan pengantar manis yang mengafirmasi ucapan Robert Altman, seorang raksasa film maker: “Jika kau ingin hidup berkali-kali, dengan pribadi yang berbeda dan pengalaman yang beragam, tonton dan hayatilah banyak film. Alami dalam imajinasi dan renungkan aneka kisahnya seolah dirimu hidup di dalamnya.”
Denny JA, seorang konsultan politik, aktivis, sekaligus pebisnis, nampaknya betul-betul menjiwai ucapan tersebut. Dan menonton film adalah bagian penting dari perjalanan hidupnya.
Menurutnya, dengan menonton film yang bagus, seolah ia mengalami peristiwa yang lain, menyelam, masuk ke dalam film.
Beruntunglah kita karena menulis adalah bagian dari keseharian Denny JA. Ketika menuliskan resensi terhadap film yang ditontonnya, ia seperti mengajak kita menonton bersama, dengan bonus kekayaan pengetahuan dan perspektif yang dimilikinya, yang seringkali tak terpikirkan oleh kita.
Buku ini berisi resensi dan review terhadap 38 film, yang terbagi dalam empat kategori: film kisah nyata, film kisah fiksi, film serial, dan film Indonesia.
Lima Gagasan Utama Buku
1. SEJARAH MANUSIA BERUBAH OLEH PERISTIWA-PERISTIWA DRAMATIS
2. KEPUTUSAN BESAR BISA LAHIR DARI STASIUN KERETA BAWAH TANAH
3. CINTA MELAHIRKAN IMAJINASI YANG TAK PERNAH USANG
4. DALAM LINGKAR KEKUASAAN, TAK ADA YANG BISA DIPERCAYA SELAIN DIRI SENDIRI
5. MELIHAT FILM INDONESIA, MENYAKSIKAN KEBANGKITAN BARU
-000-
Sahabat, sangat banyak drama nyata kehidupan manusia yang bisa dijadikan inspirasi dan pelajaran untuk manusia lainnya. Karena itu, salah satu genre film yang cukup populer adalah film yang didasarkan pada kisah nyata. Ada juga film fiksi dan imajinasi yang dilatari dengan fakta sejarah sebagai latar belakangnya.
Ada film The Green Book, kisah rasialisme yang terjadi pada tahun 60-an di Amerika Serikat. Green Book adalah buku panduan untuk orang berkulit hitam tentang restoran dan hotel mana yang boleh disinggahi oleh orang berkulit hitam.
Kisah ini menggambarkan betapa tragisnya rasialisme harus dialami bahkan oleh seorang pianis jenius bernama Don Shirley. Kisah ini sangat dramatis juga karena selama dua bulan tour, sopir Don adalah Tony Vallelonga, seorang kulit putih keturunan Italia yang berwatak rasis.
Ada film Bohemian Rapshody, kisah kegilaan seorang Freddie Mercury, legenda dari Queen. Kegilaan yang tidak bisa dikompromikan dengan produser musik EMI Record karena durasi lagu ciptaannya yang tak biasa, yakni 6 menit, dua kali umumnya lagu.
Bagu produser, ini akan membuat produksinya lebih mahal, dan tak akan ada radio yang mau memutarnya. Nyatanya, Bohemian Rapshody kemudian dianggap sebagai lagu terbaik yang pernah diciptakan dalam sejarah musik rock.
Itu adalah DUA dari 21 film berdasarkan kisah nyata yang diulas dalam bagian ini. Film-film tersebut sangat penting untuk memperkaya sudut pandang kita tentang sejarah dan segala dinamikanya. Tentang manusia dan segala emosinya.
Seringkali, keputusan besar seorang pemimpin tidak dipengaruhi oleh orang-orang besar di sekelilingnya. Seringkali, orang-orang biasa yang tak pernah dilirik justru memberi inspirasi yang mengubah sejarah.
Ini adalah film tentang saat-saat genting Winston Churcill yang mengubah dunia menjadi seperti ini. Perdana Menteri Inggris ini dicatat oleh BBC Poll pada tahun 2002 sebagai warga Inggris terbesar sepanjang masa.
Film ini berkisah tentang dilema politik yang menguji Churcill apakah tunduk atau melawan Hitler dan Nazi, dalam keadaan di mana semua pemimpin dunia lainnya seperti tak bisa berbuat apa-apa untuk melawannya.
Politisi pada umumnya akan menyerah dalam situasi mencekam. Tiada lagi celah. Namun pagi itu, Churchill mencari celah. Ia tak hendak berunding dengan diktator. Tapi ia perlu alasan lebih kuat karena secara militer Inggris pasti kalah.
Ia pergi ke stasiun kereta bawah tanah. Ia bertemu dengan rakyat pada umumnya. Ia naik kereta tanpa dikawal. Rakyat kecil terbelalak mata. Perdana Menteri yang terhormat berbaur dengan mereka di kereta.
Dari rakyat kecil itulah Churcill memperoleh semangat bahwa Hitler harus dikalahkan. Ketika rakyat kebanyakan bersemangat menyatakan tekadnya melawan Hitler dengan senjata apapun yang mereka punya, maka tidak bisa tidak, Churcill mendapatkan energi penting untuk juga melawan.
Dan itulah keputusan yang akhirnya mengubah arah sejarah dunia.
Drama itu akan Anda temukan melalui film Darkest Hour, nominasi film terbaik Oscar tahun 2018.
Sahabat, sebuah fiksi yang baik tidak harus memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi. Sebuah film fiksi yang bagus bisa juga hadir dari sesuatu yang biasa saja. Keseharian.
Ini bisa kita lihat dari film-film karya Asghar Farhadi, sutradara Iran yang membuat film ini, Salesman. Film tentang pergulatan batin dan kisah cinta antara Emad dan Rana ini sederhana plotnya, namun disajikan dengan pergulatan batin yang nyata, sehingga nampak dramatis.
Seperti halnya film sebelumnya: Separation, tradisi patriarkal Iran juga menjadi setting kultural yang menarik.
Film ini menyabet penghargaan Oscar sebagai film asing terbaik tahun 2016, saat di mana Donald Trump membatasi orang Iran mengunjungi Amerika. Asghar sendiri memanfaatkan itu sebagai bagian dari protesnya terhadap kebijakan Trump. Ia menolak hadir dalam penyerahan Piala Oscar.
Perjalanan fiksional kita selanjutnya menuju sebuah film yang diadopsi dari naskah teater peraih hadiah Pulitzer tahun 1983: Fence. Ini kisah cinta dan kepasrahan seorang istri yang diperankan dengan apik oleh Viola Davis dan mengantarkan dia meraih Piala Oscar tahun 2017 sebagai Best Supporting Actress.
Selama 18 tahun ia melayani suami dan anak-anaknya, tanpa sedikitpun menyerah, hingga datang berita yang menguji cintanya: suaminya hendak memiliki anak dari perempuan lain.
Sahabat, tahukah Anda? Seringkali sebuah film layar lebar tidak memuaskan kita sebagai penontonnya. Novel yang sangat panjang harus dipangkas-singkat menjadi kisah yang serba tanggung: kadang ceritanya utuh, namun sisi kedalamannya kurang; kadang kedalaman kisahnya utuh, namun ia cuma sepenggal dari kisah keseluruhan.
Alternatifnya adalah menjadi sequel film, atau serial TV, dan saat ini yang lebih mendominasi: film serial online.
Bagian ini meresensi film serial panjang: terdiri dari 65 film dan terbagi dalam 5 season. Serial House of Cards ini memperoleh nominasi 33 Prime Time Emmy Award sebagai outstanding drama seri, aktor, aktris, dan skenario terbaik.
Serial ini adalah tentang jatuh bangun seorang politisi, Francis Underwood (Frank), yang dikhianati oleh Presiden terpilih Amerika, Walker yang telah dibantunya. Sudah disepakati, jika menang, kursi Menteri Luar Negeri akan didudukinya. Namun Walker mengkhianatinya.
Itulah titik balik Frank. Diaturlah strategi untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi, dengan segala intriknya. Terkadang ia harus berbohong, berkhianat, menyingkirkan sekutu, dan bahkan membunuh orang lain.
Kisah berikutnya adalah tentang Frank yang kemudian menduduki posisi Wakil Presiden Amerika Serikat, lalu menjadi presiden berikutnya. Dan di antara adu strategi dan perebutan pengaruh, cinta bersemi di sana sini. Kisah kasih Frank dengan istrinya, Claire, yang penuh dinamika, lengkap dengan kisah perselingkuhan di dalamnya, membuat kisah perjalanan Frank, dan juga istrinya yang semakin dramatis.
Ujung dari drama panjang ini kemudian adalah pengkhianatan politik yang dilakukan oleh Claire terhadap suami sekaligus gurunya: Frank.
Sahabat, mari kita melanjutkan jelajah kita kepada sesuatu yang lebih dekat dari kita. Mari kita lihat film-film Indonesia yang perlahan memulai kebangkitan barunya, bersama lahirnya sineas-sineas dan pekerja film muda yang bergairah.
Ada film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta yang digarap dengan apik oleh Hanung Bramantyo. Film berlatar sejarah tentu memikul beban berat, berupa pakem. Namun film ini meramu dengan baik racikan antara fakta sejarah dan fiksi yang dimasukkan untuk mendramatisasi cerita.
Satu renungan penting dari film ini: Pemimpin politik yang menjadi legenda tak hanya memperkokoh kekuasaan politik. Ia juga harus punya passion dan ikhtiar membangun budaya merakit peradaban.
Ada juga film karya Angga Dwimas Sasangko, Surat dari Praha. Film ini memotret sisi lain dari kebijakan “anti-PKI” Soeharto di tahun 1960-an. Banyak aktivis kiri yang anti Orde Baru saat itu yang tidak bisa tinggal lagi di Indonesia, dan memilih atau terpaksa tinggal di negeri orang.
Dengan latar semacam itu, film ini berkisah tentang perjalanan cinta abadi antara Jaya yang tinggal di Praha dengan kekasihnya yang masih berada di Indonesia dan akhirnya terpaksa menikah dengan orang lain.
Dalam pengantar buku ini, dengan berani Denny JA menyimpulkan bahwa “Ternyata pengalaman menonton banyak film selama 10 tahun jauh lebih banyak mengajarkan saya soal hidup dibandingkan 40 tahun pengalaman membaca ribuan buku dan jumpa ratusan manusia.”
Dan kita cenderung mengiyakan pernyataan itu. Film adalah karya budaya yang sangat dahsyat. Kekayaan sejarah manusia, kekayaan emosi dan pergulatan relasional antar-manusia mampu dirangkum dalam sebuah lakon film yang bisa dinikmati dalam waktu yang pendek.
Dan produksi film di dunia ini juga berkembang sedemikian rupa, sehingga tak terhitung lagi berapa ribu film yang diproduksi setiap harinya. Sayangnya, tradisi menulis kita masih tergolong rendah, sehingga tak banyak orang yang bisa dan mau melakukan review terhadap film yang ditontonnya.
Apa yang dilakukan Denny JA melalui buku ini sangat membantu kita untuk tak menghabiskan waktu lebih banyak untuk menyeleksi film yang hendak kita tonton. Cukup baca review, pilih yang menarik, baru kemudian menonton filmnya.
Apalagi film yang di-review pun sudah dipilih dengan sedemikian ketat dan berselera. *
Judul: Nabi Baru atau Penjahat Rohani?; Kumpulan Resensi Film Denny JA
Tahun: Juni, 2019
Tebal: 250 Halaman
Penulis: Denny JA