Kesenian Kethek Ogleng Pacitan, Layak Jadi Ikon Budaya Pacitan, Jawa Timur Indonesia
Penulis: Agoes Hendriyanto, M.Pd, Arif Mustofa, M.Pd, Bakti Sutopo, M.A,
Penulis tidak hanya ingin memaparkan sejauh mana penelitian Kethek Ogleng Pacitan sehingga layak untuk menjadi salah satu ikon budaya di Pacitan. Penelitian yang telah dilaksanakan tahun 2018-2019, oleh Agoes Hendriyanto, Arif Mustofa, Bakti Sutopo Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pacitan. Hasil penelitian didapatkan hasil sebagai berikut:
Pertama, strategi pelestarian Seni Pertunjukan Kethek Ogleng Pacitan pada era milenial sebagai berikut: 1 Strategi Pelestarian Seni Kethek Ogleng Pacitan Pada era mileneal: 1) roadshow kethek ogleng, 3) festifal, 4) hajatan warga, 5) ektra kurikuler di lembaga formal, 5) warisan budaya tak benda, 6) visualisasi Kethek Ogleng Pacitan.
Kedua, hasil riset sebagai berikut: 1) Kethek Ogleng sebagai Cultural Pride, 2) Kethek Ogleng sebagai Cultural Identity, dan 3) Implikasi Kethek Ogleng ke Industri Kretaif melalui Cultural Festivals and Cultural Tourism. Kethek Ogleng sebagai Cultural Pride dengan ditetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda tahun 2019, sebagai salah satu ikon Budaya Pacitan, peserta Surabaya Cross Culture International Folk and Art Festifal 2019 di Surabaya, sebagai muatan lokal di Sekolah Dasar. Selain itu juga Kethek Ogleng sebagai Culture Identiti dalam pemertahanan Budaya berkaitan dengan: kebersamaan, gotong royong, disiplin, cinta lingkungan, Kethek Ogleng sebagai Cultural Identity dalam pemertahanan Budaya berkaitan dengan nilai yang telah mengakar di masyarakat menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam disebabkan pengaruh negative dari pola hidup neo liberalism yang mengekploitasi alam dengan tidak memperhatikan kelestarian alam. Seni Kethek Ogleng diharapkan akan berimplikasi kepada Creative Industries dengan melalui Cultural Festivals and Cultural Tourism. Festifal Budaya kethek Ogleng yang dilaksanakan tanggal 19 Oktober diharapkan dapat menjadi festifal budaya dan wisata. Festifal tersebut akan mendatangkan wisatawan baik domestic dan international mempunyai potensi dalam menggerakkan ekonomi kreatif warga masyarakat. Industri souvenir, makanan, tempat parkir, kuliner, tata rias, kostum, penginapan, hasil bumi, photographi, youtuber akan berdampak bagi peningkatan kreatifitas ekonomi masyarakat.
Ketiga, terdapat keterpengaruhan seni Kethek Ogleng di Wonogiri oleh yang ada di Pacitan karena seni Kethek Ogleng di Pacitan muncul lebih dahulu dibanding dengan yang ada di Wonogiri. Terdapat perbedaan pembagian gerak dan juga iringan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri. Segi tata busana dan tata rias secara garis besar terdapat kesamaan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri, yakni sama-sama menonjolkan tokoh tari yang merepresentasikan Kethek. Namun dari segi tersebut terdapat perbedaan antara lain terletak pada pemakaian kain poleng dan tata rias wajah. Adapun kesamaan antardua seni tersebut terletak pada fungsi. Baik seni Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan.
Keempat, hasil penelitian didapatkan pokok pikiran Sukiman sebagai berikut; 1) motivasi tinggi, 2) perencanaan, 3) kerjasama, 4) disiplin, 5) tanggung jawab, 6) sabar dan ikhlas, 7) kerja keras pantang menyerah, 8) rajin, 9) religius, 10) wirausaha, 11) tekad kuat, 12) optimisme, 13) rendah hati, serta 14) menerima kritik dan saran. Sifat yang terdapat dalam diri Sutiman wajib ditiru oleh generasi mileneal dalam mewujudkan suatu keinginan dan cita-cita. Kelima, Berbagai model respons dilakukan oleh generasi muda ketika menyaksikan pertunjukan Seni Kethek Ogleng Pacitan: (1) menyempatkan hadir lebih awal dan duduk di dekat pentas; (2) melakukan swafoto dengan penari Kethek Ogleng; (3) mewancari para penari atau pendamping; (4) menanyakan waktu dan tempat pementasan berikutmnya; (5) melakukan gerakan sebagaimana gerakan-gerakan penari Kethek Ogleng Pacitan di arena pentas maupun di luar pentas. Oleh karena itu, dapat dikatakan Seni Kethek Ogleng melalui kegiatan Road Show mendapat sambutan yang positif dari generasi muda. Adapun dari sekian resposn yang ada, respons estetis yang dilakukan oleh generasi muda adalah adanya imitasi terhadap gerakan tari Seni Kethek Ogleng sesuai pemahaman dan kemampuan mereka bahkan untuk meningkatkan kemampuannya berkeinginan mengikuti latihan menari Kethek Ogleng.
Baca Juga:
Pasien Sembuh COVID-19 Terus Tumbuh Jadi 17.883, Kasus Positif Naik 1.226
Baksos Mahasiswa KKN STKIP PGRI Pacitan 2020 Kelompok 5
PENDAHULUAN
Kethek Ogleng Asli Pacitan semakin menjadi topik pembicaraan baik di Pacitan maupun di kota sekitar Pacitan. Setelah gebyar tanggal 14 Oktober 2018 masyarakat Pacitan mulai sadar terhadap arti pentingnya Kethek Ogleng bagi pengembangan wisata budaya serta pemberdayaan masyarakat. Seni kethek Ogleng jika ingin eksis harus terjalin semangat yang sama antara anak didik, orang tua wali, pelatih, pemerintah atau sekolah untuk satu tujuan yang sama mengembangkan seni Kethek Ogleng Pacitan. Unsur tersebut harus selalu dipenuhi agar pelaksanaan latihan dan pementasan berjalan dengan baik dan lancar. Sebagai contohnya tidak ada keluhan dari orang tua siswa yang mengatakan, setiap hari latihan terus-menerus apa nanti ada imbalan. Tantangan materialisme menjadi kendala yang berarti jika tidak dilakukan pendekatan kepada orang tua siswa baik dari pihak sanggar “condro wanoro” maupun dari pihak sekolah.
Pemahaman terhadap pementasan Kethek Ogleng juga terjadi perbedaan yang mendalam baik dari pihak sanggar, pemerintah, masyarakat, maupun orang tua siswa. Bagi pihak sanggar sebagai pemerhati seni Kethek Ogleng harus selalu berpikir positif bagi perkembangan Seni Kethek Ogleng. Oleh sebab itu kita juga perlu jiwa pantang menyerah agar perjuangan ini dapat mencapai tujuan yang kita inginkan bersama.
Jika generasi penerus melihat sisi historis dan nilai filosofis dari tari kethek Ogleng seharusnya mereka akan paham bagaimana perjuangan bapak Sutiman dalam menciptakan dan mengembangkan tari Kethek Ogleng. Terciptanya tari Kethek Ogleng tahun 1962 oleh Bapak Sutiman yang saat itu masih berusia 18 tahun memerlukan sebuah perjuangan yang tidak mudah. Sambil istirahat selepas bekerja di ladang Bapak Sutiman melihat kawanan kera liar bermain-main di antara pohon-pohon hutan. Niat Sutiman mulai terlihat saat melihat atraksi yang lucu dan menarik memotivasi untuk menirukan gerakan tersebut sebagai sebuah tari. Perenungan Sutiman akhirnya memutuskan untuk melihat secara utuh gerak-gerik kera di kebun Binatang Sriwedari Surakarta tahun 1962 (Sutopo.B. dkk, 2018: 20). Perjuangan Sutiman dalam menghasilkan sebuah karya cipta Tari kethek Ogleng peru kita lestarikan secara bersama-sama. Sehingga warisan budaya tak benda tersebut dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Ide atau gagasan pemikiran Sukiman dalam tari kethek Ogleng diperlukan sebagai bahan bagi pelaku seni Kethek Ogleng dalam pelestarian dan pengembangan. Jangan sampai tidak tersampaikan kepada pelaku seni sehingga hilang ciri khas tari Kethek Ogleng. Tari Kethek Ogleng harus senantiasa mempertahankan keasliannnya sebagai pusat studi dalam pengembangan tari Kethek Ogleng yang disesuaikan dengan era mileneal.
Upaya pemerintah dalam rangka pemajuan dan pelestarian Seni Kethek Ogleng banyak mengalami kendala di lapangan. Halini disebabkan masih terbatasnya sumber daya kebudayaan serta anggaran yang masih minim walaupun sudah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 32, bahwa Pemerintah memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia yang dijelaskan lebih lanjut, bahwa usaha kebudayaan harys menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asin yang dapat meperkebangkan atau emperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa Indonesia.
Walaupun demikian upaya pemerhati Tari Kethek Ogleng Pacitan perkembangannya sangat masif jika dibandingkan sebelum tahun 2017. Sejak diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan, bahwa pemajuan kebudayaan diantaranya bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa melestarikan warisan budaya, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walaupun ditingkat Kabupaten Pacitan belum adanya peratauran daerah yang berkaitan dengan upaya pemajuan seni dan budaya namun Kethek Ogleng Pacitan mulai melakukan upaya pemajuan dan pelestarian.
Salah satu yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pacitan berupa agenda tahunan tiap bulan Oktober untuk setiap tahunnya. Pertunjukan Kethek Ogleng yang diselenggarakan oleh sanggar, komunitas, pemerintah dan swasta sebagai salah satu strategi pemajuan dan pelestariannnya. Sedyawati (1981: 52) mengemukakan seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkunganlingkungan etnik, adat, atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku yang sangat besar untuk menentukan kebangkitan kesenian.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007:4). Penelitian deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data wawancara baik kepada narasumber primer dan sekunder. Subjek penelitian ini terdiri atas para informan yang terdiri dari pencipta, pemilik sanggar, penari, pelatih tari Kethek Ogleng, media online, jurnal penelitian, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah 2018, Dinas Pendidikan, Dinas pemuda dan Pariwisata. Teknik pengumpulan data dengan; teknik wawancara, observasi partisipatif, dokumentasi dan peristiwa.
Analisis data yang digunakan adalah analisis isi atau content analysis langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: 1) menelaah seluruh data yang diperoleh (reduksi data), 2) merangkum hal-hal pokok sesuai dengan topik penelitian, dan 3) hasil dari reduksi data dikelompokkan kedalam satuan-satuan kemudian dikatagorisasikan dan akhirnya ditafsirkan aspek simboliknya . Teknik validasi data menggunakan trianggulasi dengan teknik pengumpulan data dan sumber data. Triangulasi teknik pengumpulan data dengan validasi data berdasarkan hasil observasi penelitian, wawancara dan melalui pustaka/dokumentasi. Selain itu juga dilakukan validasi data dari berbagai narasumber yang tercantum dalam penelitian.
PEMBAHASAN
Strategi Pelestarian Seni Pertunjukan Kethek Ogleng Pacitan Pada Era Mileneal
Strategi Pelestarian Seni Kethek Ogleng Pacitan pada Era Mileneal: 1) roadshow kethek ogleng, 2) sangar Condro Wanoro, 3) festifal, 4) hajatan warga, 5) ektra kurikuler di lembaga formal, 5) warisan budaya tak benda, 6) visualisasi Kethek Ogleng Pacitan. Roadshow Kethek Ogleng hasil kerjasama antara sanggar Condro Wanoro, Komunitas Pengembangan Sosial Budaya, Dinas pariwisata Pacitan dengan bentuk pertunjukan di tempat Wisata di Pacitan. Tujuannya untuk sarana memperkenalkan seni tari kethek Ogleng Pacitan sebagai seni milik Pacitan. Tujuan utama promosi menurut Kotler (2004: 122) adalah ”menginformasikan, mempengaruhi dan membujuk serta mengingatkan’ konsumen sasaran tentang sesuatu baik barang ataupun produk non benda dalam hal ini seni tari pertunjukan.
Roadshow sebagai ajang penyaluran bakat seni tari setelah anak-anak berlatih di sanggar. Upaya pelestarian dan pemajuan kethek Ogleng Pacitan dengan meotivasi siswa sanggar untuk menyeleksi penari yang mempunyai kemampuan untuk tampil di salah satu tempat roadshow 2019 yang telah diagendakan. Perlu kita ketahui bahwa untuk roadshow memerlukan perhatian yang luar biasa khususnya berkaitan dengan transportasi ke lokasi roadshow sangat jauh sehingga memerlukan alat transportasi.
Penari yang tampil di 12 tempat yang diagendakan tersebut dilakukan secara bergilir sehingga tidak ada yang mendominasi penampilan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap penari yang tergabung di Sanggar untuk tampil pada suatu tempat dan waktu tertentu. Beberapa kegiatan Roadshow mempunyai beberapa karakteristik yang berkaitan dengan: penari yang tampil, tempat pertunjukan yang tidak representatif, penari Kethek Ogleng lama dalam berhias, penari masih perlu adanya pemahaman yang kaitannya dengan infak budaya, personel senior perlu kita pikirkan masalah honorarium.
Sanggar seni sebagai salah satu lembaga publik dalam suatu negara yang berperan dalam pengembangan seni budaya pada suatu daerah. Sanggar, atau paguyuban merupaka elemen lain yang dapat berperan serta dalam pelestarian seni dan budaya sebagai elemen masyarakat relatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap eksistensi dan kelangsungan seni Kethek Ogleng Pacitan.
Festifal tersebut telah dijadikan agenda tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Pacitan melalui Dinas Pendidikan Sub Bidang Kebudayaan sejak tahun 2017. Untuk tiap tahun tepatnya pada bulan Oktober rutin dilaksanakan Festifal tari kethek Ogleng tempat di Monumen Jenderal Sudirman Pakisbaru Nawangan. Karena sudah menjadi agenda tahunan selain biaya dari swadaya masyarakat Desa Tokawi, Desa Pakisbaru, dan Desa penggung juga peran aktif dari ketiga Pemerintahan Desa tersebut. Anggaran elaksanaaan ditanggung baik oleh masyarakat, pemerintah, lembaga sekolah. Kegiatan ini sebagai upaya untuk melestarikan seni Kethek Ogleng Pacitan agar tidak punah.
Hajatan warga masyarakat turut serta dalam upaya melestarikan seni tari Kethek Ogleng. Untuk penari profesionalsebagai sarana untuk mendapatkan honor dari pihak yang mengundang jasa sebagai penari kethek Ogleng. Untuk besarnya tarif sangat tergantung pada lokasi dan gerakan yan akan diperagakannya. Upaya masyarakat dalam mengundang tari Kethek Ogleng menjadi bukti bahwa seni tari ini mampu bersaing dengan musik elektone maupun acara lainnya yang lebih modern.
Ekstra kurikuler sebagai upaya pelestarian Kethek Ogleng Pacitan saah satunya dengan ektra kurikuler baik di tingkat SMP, SD di wilayah sekitar Desa Tokawi Kecamatan Nawangan. Keterbatasan pelatih Kethek Ogleng menyebabkan tidak bisa memenuhi kebutuhan di tiap sekolah.
Upaya pelestarian kethek Ogleng Pacitan dengan mencatatkan Kethek Ogleng Pacitan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2019 melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Direktorat Jenderal Kebudayaan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kethek Ogleng Pacitan tahun 2019 mendapatkan SK penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2019. Warisan Budaya Tak benda sebagai salah satu Agenda Nasional dalam rangka pencatatan aset Budaya Nasional agar tidak punah. Selain itu sebagai syarat untuk mendapatkan pedanaan melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia
Kethek Ogleng sebagai Identitas Budaya dan Kebanggaan Budaya Perwujudan Identitas Budaya Jawa Mataraman di Jawa Timur Indonesia
Identitas budaya terdiri dari perasaan memiliki, nilai-nilai, dan sikap terhadap kelompok atau kelompok budaya sendiri, (Phinney, et. al., 2001), dan itu terkait dengan penyesuaian psikologis yang lebih baik, termasuk kesejahteraan, dan penyesuaian sekolah, termasuk sikap yang terkait dengan sekolah, dari kaum muda budaya minoritas.. Identitas budaya adalah warisan budaya dan ekologi dari suatu bangsa dan negara. Identitas budaya akan mempelajari tentang kesatuan budaya yang berkaitan dengan kreativitas, dinamisme, kekayaan imajinasi rakyat, serta produktivitas. Identitas budaya bukan untuk membentuk budaya mayoritas yang mendominasi minoritas namun pada bentuk kebersamaan untuk menuju kebahagian dan kesejahteraan.
Ching Hsing Wang & Dennis Lu Chung Weng (2018) identitas sosial mengacu pada ciri khas individu yang didefinisikan dalam istilah atau kelompok afiliasinya dan sering dibentuk bersama dengan deskriptif dan demografis karakteristik seperti gender, etnis, agama, dan budaya. Selain itu, identitas sosial tidak hanya secara kuat menghubungkan orang satu sama lain tetapi juga memberi orang sumber harga diri dan nilai-nilai bersama serta norma-norma (Weber, Johnson, & Arceneaux, 2011).
Kethek Ogleng sebagai kebanggaan budaya masyarakat harus didukung dengan berbagai kebijakan pemerintah untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya TakBenda, mendaftarkan di Kementrian Hukum dan Ham agar mendapatkan Hak Cipta maupun Hak Paten. Enongene Mirabeau Sone (2017), setiap masyarakat di bumi menggunakan symbol yang merupakan kunci penting untuk menyatukan ide, sikap dan nilai untuk menyatukan anggota. Tempat sebagai sarana penting untuk budaya di seluruh dunia untuk membentuk aspek-aspek sosial, ekonomi, agama, politik dan sudut pandang masyarakat. Desa Tokawi, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur, Indonesia sebagai tempat Sukiman tahun 1962 menciptakan Tari Kethek Ogleng. Tari Kethek Ogleng sebagai perwujudan identitas budaya Pacitan yang merupakan bagian budaya Mataraman terlihat dari kostum, iringan gamelan, dan sendratari.
Kethek Ogleng sebagai warisan Sukiman kepada masyarakat Pacitan, khususnya, Indonesia pada umumnya jika memungkinkan sebagai warisan budaya global. Dimitrova et al. (2015) identitas budaya telah berfungsi sebagai istilah umum untuk memasukkan dua identitas warisan yaitu identifikasi warisan seseorang dan identifikasi budaya etnis.
Kethek Ogleng Pacitan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2019 sebagai bentuk pengakuann secara nasional identitas Kethek Ogleng Pacitan sebagai warisan budaya Asli Pacitan yang telah berusia 50 tahun ke atas. Program penetapan Warisan Budaya Takbenda didasarkan pada amanat Undang-Undang Dasar pasal 32 bahwa Pemerintah memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia (Dharmawan P.D.,dkk, 2018).
Hak Cipta Gerakan Pokok Kethek Ogleng dengan nomor pencatatan 000144781 dengan pencipta Sukiman, dan pemegang Hak Cipta Agoes Hendriyanto sebagai landasan hukum bagi pelestarian dan pengembangan identitas budaya Kethek Ogleng baik secara lokal, nasional, regional, maupun international. Hak Cipta Kethek Ogleng akan memberikan kenyamanan bagi pelaku seni Kethek Ogleng yang berkaitan dengan legalitas tarian.
Undang-Undan Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta sebagai landasan hukum untuk menjadikan Kethek Ogleng sebagai industri kreatif tanpa rasa takut digugat oleh pihak lain. Pemegang hak cipta merupakan pihak yang menerima hak Kethek Ogleng secara sah dari pencipta tari yaitu Sukiman / Sutiman. Pencipta dan pemegang hak cipta menghibahkan Kethek Ogleng untuk kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Pacitan, Indonesia.
Kethek Ogleng tercantum dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten Pacitan yang ditandatangi Bupati Pacitan Bapak Dr.Indartato, M.M tanggal 13 Mei 2019 halaman 9-13. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah merupakan dokumen yang penting karena terkait dengan keberadaan seni kebudayaan yang dimiliki oleh Kabupaten Pacitan dan sekaligus sebagai tindak lanjut amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kabupaten Pacitan memiliki 12 kecamatan yang mempunyai potensi budaya dan keberagaman. Keberagaman Budaya Pacitan merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya sebagai warisan nenek moyang kita. Kethek Ogleng sudah dimasukan di dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Pacitan tahun 2018 semakin memperkuat kethek Ogleng sebagai perwujudan identitas masyarakat Mataraman di Pacitan
Seni Kethek Ogleng Pacitan dan Seni Kethek Ogleng Wonogiri: Kajian Bandingan
Seni Kethek Ogleng merupakan salah satu jenis seni yang populer di kalangan masyarakat. Istilah seni Kethek Ogleng dapat jumpai berbagai daerah, antara lain di kabupaten Wonosari Provinsi D.I Yogyakarta, Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah, serta di kabupaten Pacitan dan Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Pada saat ini, seni tersebut berkembang dengan baik di daerah masing-masing. Di antara empat daerah yang dapat dijumpai istilah seni Kethek Ogleng, keberadaan seni Kethek Ogleng di Pacitan dan yang di Wonogiri menarik untuk diperbincangkan dan dicermati karena kedua daerah tersebut mempunyai kedekatan secara geografis.
Istilah Kethek Ogleng berasal dari dua kata, yakni kethek dan ogleng. Seni Kethek Ogleng merupakan seni dalam bentuk tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera hutan) dengan iringan musik sederhana berirama gleng-gleng (Sukisno, 2018, p. 18). Seni Kethek Ogleng termasuk seni pertunjukan rakyat. Oleh karena itu, seni Kethek Ogleng mempunyai ciri khas kesederhanaan pada setiap unsurnya, termasuk pada gerakan-gerakannya. Akan tetapi, meskipun seni ini sangat sederhana, seni Kethek Ogleng mempunyai nilai ajaran dan filsafati melaui gerakan-gerakan yang ada di dalamnya. Gerakan seni Kethek Ogleng penuh dengan makna karena gerakan-gerakan tersebut sebagai media penyampaian pesan yang dimaksudkan. Gerakan dalam seni Kethek Ogleng mempunyai kaitan yang erat dengan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannnya. Kethek ogleng dapat dikatakan sebagai medium penafsiran sekaligus pemahaman terhadap problema kehidupan (Sutopo, Bakti, 2018, p. 97). Dapat dikatakan, seni Kethek Ogleng sebagai representasi masyarakat tempat seni tersebut berada dan keberadaan seni tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengaan tata nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Imitasi terhadap tingkah laku kera hutan menjadi seni sangat memungkinkan karena masyarakat Pacitan dan Wonogiri tidak asing dengan tingkah laku kera hutan yang lucu dan menghibur sehingga seni Kethek Ogleng yang bermula dari binatang tersebut dapat diterima oleh masyarakat kedua kabupaten itu.
Seni Kethek Ogleng sebagai seni pertunjukan. Seni pertujukan dapat dikatakan sebagai karya estetis yang mempunyai esensi dipertontonkan, dipamerkan, dipentaskan, atau di pertujukan. Oleh karena itu terdapat kemiripan antardua seni merupakan suatu kelaziman di semesta ini. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara juga terdapat kemiripan antara tari satu dengan tari yang lain. Di Kongo terdapat tempat bernama Banande dan di Uganda terdapat wilayah bernama Bakonzo.
Kedua tempat tersebut mempunyai tari yang mirip satu sama lain, tari di Uganda tersebut bernama Omukumu dan tari khusus dipentaskan di peristiwa kematian yang dikenal dengan Amasinduka dan Omukobo serta di Kongo terdapat Omunde, Ekikebi, Engwayo. Padahal Kongo dan Uganda sebagai dua negara yang berbeda. Hanya saja kedua negara tersebut sama-sama di Benua Afrika. Tentu kemiripan tari yang ada di Banande dan Bakonzo sangat menarik dicermati dan perlu diungkap faktor yang mendorong adanya hal tersebut. Dijelaskan bahwa kemiripan tari antara Banade dan Bakonzo disebabkan karena kedua wilayah tersebut dimungkinkan ditempati oleh suku yaang berasal dari nenek moyang yang sama dan bentuk struktur sosial ekonomi.
Kemiripan antartari juga dapat ditemukan di Nusantara. Bahkan kemiripan antartari di Nusantara bukan suatu yang aneh karena masyarakat Nusantara dimungkinkan berasal dari nenek moyang sama seperti halnya masyarakat Banade dan Bakonzo. Salah satu masyarakat Nusantara yang tak dapat dipisahakan dengan tari adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa mempunyai tari yang banyak jumlahnya. Bahkan jumlah tari pada masyarakat yang mendiami pulau Jawa ini mungkin tidak dapat hitung karena hampisr setiap wilayah mempunyai tari sebagai medium komunikasi sekaligus wadah ide mereka.
Oleh karena itu, antartari yang ada di tengah-tengah masyarakat Jawa juga memungkinkan terdapat kemiripan. Meneliti tari Bedaya dan Serimpi dan hasil penelitian tersebut mengungkap bahwa Serimpi sebagai bentuk penyederhanaan dari tari Bedaya sehingga kedua tari tersebut terdapat kemiripan baik gerakan maupun iringan. Akan tetapi kedua tari tersebut sebagai tari yang berbeda. Morrison (1997, p. 187) menyebutkan Bedaya dan Serimpi sebagai dua seni tari yang berbeda tetapi dalam keduanya terdapat kesamaan.
Kecenderungan kemiripan tari di Nusantara khususnya di tengah-tengah masyarakat Jawa tidak hanya pada seni tari yang berbasis di istana seperti halnya tari Bedaya atau Serimpi, tetapi juga dapat dilihat pada tari yang hidup di tengah-tengah rakyat jelata. Salah satu tari yang hidup di beberapa daerah di Jawa adalah tari Topeng. Bagi masyarakat Jawa tari topeng dikenal ada di daerah Malang, Cirebon, Magelang, Boyolali, dan daerah-daerah yang lain.
Meskipun sama-sam tari topeng, tari-tari yang tersebut tumbuh sesuai dengan nilai sosial tempat tari tersebut tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain antartari topeng tersebut tetap terdapat perbedaan di samping ada beberapa kemiripan. Semisal tari Topeng yang ada di Magelang dikenal dengan tari Topeng Ireng Magelang dengan tari Topeng Ireng Boyolali mempunyai perbedaan perilaku, gerak, tata rias, tata busana/kostum, dan properti. Adapun kesamaannya adalah terdapat pada fungsi, yakni keduanya sebagai sarana hiburan, penambah penghasilan, dan media pendidikan (Dewi, Ikasari Minal & Agus Cahyono, 2018, p. 41).
Tahun 1962 merupakan tahun yang penting apabila membahas keberadaan seni Kethek Ogleng di Pacitan. Pada tahun 1962 Bapak Sutiman yang juga warga desa Tokawi kecamatan Nawangan kabupaten Pacitan mulai mengkreasi sebuah seni yang kelak dikenal sebagai seni Kethek Ogleng. Faktor pendorong utama Bapak Sutiman menciptakan seni Kethek Ogleng bermula pada pertemuaan Bapak Sukiman dengan seekor kera di ladang ketika beliau mencari kayu bakar.
Pada saat itu kera melakukan gerak-gerik yang lucu dan seketika pemandangan tersebut membuat terpana Bapak Sutiman. Beliau secara saksama memperhatikan gerak-gerik kera tersebut. Tanpa disadari sikap kera alas tersebut seakan-akan menghipnotis Bapak Sutiman seketika dalam batin beliau terdapat dorongan kuat untuk mempelajari gerak-gerik kera karena beranggapan apabila beliau bisa bersikap layaknya gerak-gerik kera pasti dapat menghibur orang lain.
Dorongan untuk menguasai gerak kera semakin kuat. Sayang ketika Bapak Sutiman hendak menjumpai kera yang ada di ladang guna melihat secara detail gerak-geriknya ternyata kera yang dimaksud tidak pernah tampak lagi. Hal itu menyebabkan Bapak Sutiman pergi ke kebun binatang Sriwedari Solo. Sesampainya di tempat yang tuju, Bapak Sutiman mengkhususkan diri berada di dekat kandang kera. Beliau menghabiskan waktunya untuk mencermati gerak-gerik kera sambil memraktikan yang dilihatnya. Setelah cukup, Bapak Sutiman pulang dan terus berlatih melakukan gera-gerik kera sebagaimana yang dilihat sebelumnya.
Berhari-hari Bapak Sutiman berlatih menciptakan gerakan yang akrobatik tapi estetik. Pada suatu ketika Bapak Sutiman berkeyakinan gerak seni yang diciptakan mendekati sempurna dan beliau bermaksud bergabung dengan kelompok kerawitan yang ada di desa Tokawi agar seni yang dihasilkan dapat gamelan sebagai iringan.akan tetapi niat Bapak Sutiman tidak serta-merta disetujui oleh kelompok kerawitan tersebut. Bapak Sutiman harus berusaha keras meyakinkan para anggota kelompok kerawitan agar tujuan bergabung dengan satu-satunya kelompok kerawitan yang ada di Tokawi tersebut tersebut. Pada akhirnya setelah melalui tahap-tahap Bapak Sutiman diakui sebagai anggota kerawitan dan sekaligus seni yang diciptaknya diiringi oleh kelompok gamelan tersebut.
Seni yang diciptakan sudah dapat iringan dari kelompok kerawitan desa Tokawi sehingga informasi keberadaan seni tersebut meluas dan banyak yang nanggap. Pada suatu ketika Bapak Sutiman bermaksud berembug dengan rekannya terkait nama yang pas untuk seni yang diciptakannya Namun beberapa orang menyebutkan nama, tidak satupun dianggap tepat. Ada yang menamai tari keraputih,ada yang tari kera, dan kera-kera yang lain. Akhirnya Sutiman sendiri yang mengotak-atik sebuah nama dengan memadukan figur kera dan nada iringan gamelan yang bunyinya “nong gleng” terus menerus, kemudian nama kera diganti kethek, dan bunyi iringan nong gleng disingkat ogleng sehingga menjadi “Kethek Ogleng” (Sukisno, 2018, pp.16). Nama tersebut tetap dipakai sampai sekarang untuk menyebut seni yang diciptakan Bapak Sukiman dan sudah dikenal tidak hanya sebatas di Kabupaten Pacitan.
Pada saat ini keberadaan seni Kethek Ogleng di Pacitan masih tumbuh dan berkembang utamanya di desa Tokawi kecamatan Nawangan sebagai desa tempat lahir Bapak Sutiman. Anak muda baik putra maupun putri berlatih seni Kethek Ogleng di Sanggar Condro Wanoro. Pada konteks perkembangan seni Kethek Ogleng, Sanggar Condro Wanoro mempunyai peran penting. Sanggar tersebut berperan sebagai ujung tombak kelestarian seni Kethek Ogleng. Selain mengkoordinasi para penari untuk mengikuti berbagai pentas, sanggar Condro Wanoro juga sering sebagai narasumber untuk melayani berbagai kalangan akademisi yang meneliti seni Kethek Ogleng.
Tujuan utama pendirian sanggar/ Pusat Pembinaan Seni Kethek Ogleng “Condro Wanoro” oleh Sukisno adalah penyelamatan sekaligus pelestarian atas seni Kethek Ogleng karya Sutiman. Penyelamatan ini terkait dengan adanya informasi yang berkembang pada saat itu bahwa seni Kethek Ogleng merupakan seni milik kabupaten tetangga dan hal itu berdampak pada biasnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap keaslian seni Kethek Ogleng yang ada di desa Tokawi. Sebagian masyarakat terpengaruh dengan informasi tersebut sehingga mereka mengganggap bahwa seni Kethek Ogleng bukan seni asli desa Tokawi (Sutopo, Bakti, 2018, p. 32).
Berikut sejarah seni Kethek Ogleng di Wonogiri. Wonogiri merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang langsung berbatasan dengan Jawa Timur. Kabupaten Wonogiri sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan. Seni Kethek Ogleng juga dapat dijumpai di Wonogiri. Seni Kethek Ogleng mulai berkembang di Wonogiri pada tahun 1990-an. Lokasi tempat berkembangnya seni tersebut di Kecamatan Tirtomoyo, salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan.
Mencermati keberadaan seni Kethek Ogleng di Wonogiri tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan seni Kethek Ogleng yang ada di Pacitan yang terlebih dahulu ada. Pertama kali warga masyarakat yang meminta dilatih seni Kethek Ogleng oleh Bapak Sutiman adalah Bapak Atmo Suwito, Bapak Sarmin, dan Bapak Anton yang ketiganya sebagai warga Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri. Pada waktu itu, seni Kethek Ogleng yang dikembangkan oleh Bapak Sutiman sudah utuh sebagai seni sehingga ketiganya harus mengikuti gerakan seni Kethek Oglengyang diajarkan oleh Bapak Sutiman (Sukisno, 2018, p. 33).
Tampak seni Kethek Ogleng di Kabupaten Wonogiri lebih berkembang daripada di Kabupaten Pacitan. Pada tahun 1990-an akhir dan 2000-an awal seni Kethek Ogleng di Wonogiri mendapat perhatian yang baik dari pemerintah setempat dengan bukti selalu diikutkan dalam berbagai festival serta karnaval seni. Selain itu seni Kethek Ogleng di Kabupaten Wonogiri juga sudah terdaftar sebagai salah satu seni dalam buku Warisan Budaya Takbenda yang dikeluarkan oleh Kemendikbud pada tahun 2018.
Seni Kethek Ogleng di Wonogiri juga dikombinasi dengan cerita Panji. Cerita yang mendasari kesenian Kethek Ogleng adalah cerita Panji. Kisah Panji begitu populer di kalangan masyarakat Jawa. Kisah Panji yang mulai dikenal sejak zaman Majapahit itu mengambil latar kerajaan Kediri dan Jenggala, dengan tokoh utamanya Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekar Taji. Perpaduan kisah cinta sejati dan hero- isme menjadi alur utama dalam cerita itu.
Perkembangan seni Kethek Ogleng di Wonogoiri tak dapat dipisahkan dengan sosok Bapak Samijo yang merupakan warga desa Tempursari, kecamatan Sidoharjo yang tidak lain merupakan penari Kethek Ogleng di Wonogiri. Pada saat ini penari utama seni Kethek Ogleng bernama Bapak Sukijo. Beliau merupakan anak angkat sekaligus murid Bapak Samijo. Bapak Sukijo menuturkan bahwa Bapak Samijo belajar seni Kethek Ogleng pada Bapak Diyono. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, Bapak Samijo mengkreasi seni Kethek Ogleng sehingga tampak menarik dibanding dibanding yang didapat beliau dari Bapak Diyono. Adapun yang dikembangkan oleh Bapak Sukijo dan kawan-kawan merupakan seni Kethek Ogleng yang diperoleh dari Bapak Samijo.
Aspek Gerak Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri
Seni Kethek Ogleng termasuk seni tari yang dipertunjukan. Oleh karena itu gerak sebagai salah satu unsur yang penting dalam seni Kethek Ogleng. Unsur pokok bentuk sajian tari yaitu gerak tari, desain lantai, desain atas, desain dramatik, musik, tema, rias dan busana, tempat pertunjukan dan perlengkapan tari (Soedarsono, 1978, p. 21). Gerak menjadi satu-kesatuan dengan unsur yang lain sehingga yang disebut seni Kethek Ogleng. Gerak dalam tari dapat dikatakan sebagai perubahan antara gerak dari bagian tubuh satu ke yang lain. Di samping itu, gerak dalam tari juga dapat dikatakan sebagai visualisasi suatu maksud tertentu.
Pada dasarnya gerak seni Kethek Ogleng baik yang ada di Kabupaten Pacitan maupun Kabupaten Wonogiri lebih dominan gerakan yang terkesan akrobatik tapi dengan sentuhan estetik. Selain itu keduanya juga mengimitasi gerakan kera. Secara garis besar gerakan utama dalam seni Kethek Ogleng Pacitan terbagi enam gerakan pokok, yakni Koprol dan berguling bak terlemparkan dari alam lain, termenung gelisah memutar pandangan ke sekeliling arah, berjalan mengitari arena dan berinteraksi dengan yang terlihat di sekitarnya (penonton), gerakan nggelicat menjaili penonton.
Mulut dan kedua tangan membawa lari makanan hasil rampasan, dan bercanda, bermain dan bercengkerama, serta gerakan lucu lainnya. Enam gerakan tersebut harus dilakukan semua jika menampilkan seni Kethek Ogleng. Dalam memaksimalkan gerak yang dimiliki, seni Kethek Ogleng juga didukung piranti antara lain tambang, galah, dan alat untuk atraksi lainnya. Pada perkembangan berikutnya tepatnya pada tahun 1980-an seni Kethek Ogleng Bapak Sutiman dikombinasikan dengan gerakan tari yang terilhami kisah Panji dari kerajaan Kediri. Kemudian dalam seni Kethek Ogleng disebut tari Tompe. Tari Tompe mengisahkan pertemuan antara Panji Asmoro bangun dengan Dewi Sekartaji dan Dewa Narada sebagai mediumnya.
Hal itu dengan tujuan agar seni Kethek Ogleng tidak hanya mengutamakan sisi akrobatik tetapi juga benar-benar ada nuansa tarinya sehingga lebih menarik dan menghibur. Selain itu, iringan seni Kethek Ogleng juga disempurnakan dengan gending dan syair kudangan Kethek Ogleng yang diciptakan oleh Ki Narto Sabdo. Syair tersebut sangat kontekstual dengan gerak seni Kethek Ogleng sehingga perpaduan tersebut tampak harmonis. Syair Kudangan Kethek Ogleng yang diciptakan oleh Ki Narto Sabdo tersebut didorong keinginan beliau mengabadikan seni rakyat yakni Kethek Ogleng dalam tembang karena Ki Narto Sabdo pada suatu ketika ditanggap untuk mendalang di sekitar kecamatan Nawangan dan pertemuan beliau dengan seni Kethek Ogleng menghasilkan syair kudangangan tersebut.
Adapun seni Kethek Ogleng di Kabupaten Wonogiri terbagi menjadi tiga bagian besar, bagian antraksi yang diiringi glangsaran, kiprah dengan iringan Lenggong Manis, dan interaksi dengan penonton yang diiringi dengan gending Suwe Ora Jamu. Ketiga gerakan tersebut saling berangkai sehingga durasi penampilan seni Kethek Ogleng di Wonogiri juga fleksibel sesuai dengan situasi kondisi. Sebagaimana seni Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan, seni Kethek Ogleng Kabupaten Wonogiri juga memerlukan alat-alat untuk melakukan atraksi gelantungan. Demikian juga kisah Panji juga ditemukan dalam unsur seni Kethek Ogleng di kabupaten Wonogiri.
Aspek Tata Busana dan Rias Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri
Tata busana adalah perlengkapan yang dikenakan dalam pentas, oleh karenanya busana merupakan aspek yang cukup penting dalam pertunjukan khususnya seni tari. Tata busana terkait erat dengan tata rias. Tata rias seni digunakan bahan kosmetik untuk mewujudkan wajah para penari (Harymawan, 1988, p. 14). Dengan demikian tata rias, tata busana juga merupakan rangkaian dari tata rias. Busana yang baik bukan hanya sekedar berguna sebagai penutup tubuh penari, tetapi merupakan suatu penun keindahan ekspresi serta secara simbolik bisa menggambarkan perwatakan atau karakter tari yang dibawakan oleh penari. Busana bagi penari merupakan juga unsur yang penting. Karena busana, penampilan penari akan lebih nyaman dan percaya diri. Selain itu, juga dapat memperkuat karakter tari yang dibawakannya.
Untuk pakaian penari pria sebagai kethek menggunakan baju dengan aturan sebagai berikut: (1) kaos warna putih, (2) celana panjang warna putih, (3) kain poleng, (4) sabuk penari, (5) epek timang, (6) boro samir, (7) sampur penari kethek, (8) simbar dada, (9) bahu kembar, (10) cangkeman, (11) irah-irahan, (12) kelat bahu, (13) cakep tangan, (14) kaos kaki putih, (15) gongseng, dan (16) kaos tangan. Adapun busana Tari Roro Tompe sebagai berikut; (1) streples, (2) stagen, (3) jarik, (4) kain dodot, (5) sampur penari Roro Tompe, (6) sabuk penari, (7) sanggul tekuk, (8) kengket bando, (9) kalung, (10) gelang, (11) suweng. Adapun 2 penari sebagai dayang atau pembantu Roro Tompe berbusana hampir sama dengan busana Roro Tompe terdapat beberapa perbedaan antara penari Roro Tompe dengan pembantunnya.
Kekhasan Tari Kethek Ogleng yang Diciptakan Sutiman
Motivasi yaitu kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada sesorang dan menimbulkan tingkah laku serta mengarahkan pada tujuan tujuan tertentu, ada tiga komponen pokok dalam motivasi yaitu menggerakkan, dimana motivasi menimbulkan kekuatan pada seseorang untuk bertindak sesuatu, yang kedua adalah mengarahkan, motivasi mengarahkan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu tujuannya, dan motivasi juga menopang, artinya motivasi menjaga dan menopang tingkah laku, dimana keadaan lingkungan sekitar individu juga harus menguatkan dorangan dan kekuatan yang ada dalam individu. Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama.
Meskipun perlu banyak pertimbangan sebelum melangkah disamping tidak mempunyai pengaruh di Desa yang saat itu dipimpin oleh seorang Demang yang berkedudukan di Tokawi. Sutiman juga tidak terpengaruh oleh adanya ejekan masyarakat yang akan berujung pada penolakan gagasan dan ide Sutiman yang berupa karya tari Kethek Ogleng. Sutiman sebelum mewujudkan cita-citanya untuk menciptakan tari Kethek Ogleng direncanakan dengan matang. Perencanaan iu berkaitan dengan perjalanan ke kebun Binatang Sriwedari Solo, kemudian pengamatan terhadap objek gerakan kera di kebun binatang. Setelah itu baru mewujudkannya dalam bentuk tarian.
Selain itu juga tantangan setelah tarian diciptakannya yaitu berkaitan dengan iringan gending Jawa atau kerawitan. Kerawitan saat itu sudah berkembang di desa Tokawi yang sangat dibutuhkan sebagai iringan tari Kethek Ogleng. tari Kethek Ogleng butuh iringan kerawitan yang kompak dan telah muncul di Desa Tokawi. Sebagai pemuda Desa yang lugu terpikirkan oleh Sutiman untuk meyakinkan pemimpin Kerawitan desa Tokawi untuk membantu pengembangan seni tari Kethek Ogleng.
Respons Estetis Generasi Muda Terhadap Pertunjukan Seni Kethek Ogleng: Studi Pada Kegiatan Road Show Kethek Ogleng di Objek Wisata Kabupaten Pacitan
Seni apapun termasuk seni tari yang di kalangan masyarakat akan senatiasa lestari jika masih mempunyai pendukung. Jika sudah tidak ada pendukungnya, seni tari tersebut akan punah. Sebagai bukti dapat dilihat pada seni tari tradisional/rakyat yang ada di berbagai negara yang pada saat ini semakin ditinggalkan oleh masyarakat tempat seni itu dilahirkan. Oleh karena pengenalan seni secara sistematis dan terkoordinasi kepada kalangan generasi muda tempat seni tersebut hadir sangat diperluka sehingga pendukung seni bersangkutan terus ada secara bersambung.
Keberadaan generasi muda bagi keberlangsungan seni sangat penting karena generasi muda dapat sebagai penerus pelestarian seni yang dimiliki masyarakatnya. Di samping itu generasi muda masih mempunyai daya pikir dan energi yang mumpuni untuk berkreasi. Generasi Muda adalah kata yang mempunyai banyak pengertian, namun dari pengertian-pengertian generasi muda mengerah pada satu maksud yaitu kumpulan orang-orang yang masih mempunyai jiwa, semangat, dan ide yang masih segar dan orang-orang yang mempunyai pemikiran yang visioner.
Pelopor yang melakukan langkah-langkah konkret bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik dan kepekaan terhadap realita sosial yang ada di masyarakat,memang menjadi ciri utama yang melekat pada pemuda. Generasi muda adalah mereka yang rentang waktu hidupnya hampir sama yakni sejak lahir hingga mencapai kematangan dari segala segi (maksimal berusia 40 tahun). Oleh karena itu, generasi muda ditinjau dari segi usianya adalah generasi yang amat potensial, energik, dan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga keberadaan mereka dalam suatu masyarakat tak dapat diabaikan (Muzakkir, 2015, pp.115). Sudah selayaknya generasi muda juga dilibatkan sebagai subjek pelestarian berbagai bentuk budaya masyarakat, termasuk seni di dalamnya.
Seni yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia salah satunya adalah seni Kethek Ogleng. Seni Kethek Ogleng berakar pada konteks sosial budaya masyarakat Pacitan yang ada di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan. Sebutan Kethek Ogleng dilakukan oleh Sutiman sendiri terhadap seni yang telah berhasil dikreasinya. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Sukisno (2018, 16) bahwa sebelum muncul nama “Kethek Ogleng” dari Sutiman, Sutiman telah meminta kapada koleganya untuk memberi nama seni yang dihasilkannya.
Akan tetapi dari sekian usulan yang ada tidak ada yang cocok untuk disematkan pada seni yang baru tercipta tersebut. Melalui analisis dan perenungan terkait gerakan serta iringan musik yang ada, timbul lah dalam benak Sutiman untuk memberi nama karyanya tersebut sebagai Seni Kethek Ogleng. Hal itu dikemukakan oleh Sutiman (dalam Sukisno, 2018, 18) alasan memberi nama seninya itu. Pertama, gerakan yang ditiru adalah gerakan kera yang bersinonim dengan kethek sehingga pada dasarnya gerakan-gerakan yang dalam tarian tersebut sebagaimana personifikasi gerakan-gerakan kethek. Apabila sebutan kethek disematkan dalam nama seni tersebut secara historis dan semantis sangat sesuai. Kedua, berdasarkan pada bunyi gamelan yang mengiringi. Gamelan tersebut didominasi bunyi “gleng…glong…gleng..glong” . Seni Kethek Ogleng termasuk seni tari yang dipertunjukan dalam berbagai peristiwa dan kegiatan baik formal maupun nonformal.
Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia yang lain seni semisal seni Kethek Ogleng sebagai seni yang mengimitasi gerakan binatang jumlahnya sangat banyak. Dapat dicontohkan tari merak merupakan tari yang gerak-geraknya mengimitasi burung merak. Demikian juga kostum yang pakai juga berhias sebagaimana burung merak. Bahkan T. Francis (2015, pp. 205) menyatkan bahwa banyak tindakan perilaku manusia yang dapat dikatakan meniru gerakan binatang terutama pada manusia tradisional sebagian besar tari meniru gerakan kera. Pada tari modern pun imitasi terhadap gerakan binatang juga masih dapat diamat semisal pada tari balet yang terkenal dengan sebutan Swan Lake yang dikreasi oleh Tchaikovsky.
Pada kenyataannya sekarang berbagai seni yang berbasis tradisional mulai ditinggalkan oleh generasi muda tempat seni itu berada tak terkecuali terjadi pada seni Kethek Ogleng. Sejak diciptakan oleh Sutiman pada tahun 1962-an pertumbuhan seni Kethek Ogleng mengalami pasang surut. Bahkan akhir-akhir ini generasi muda yang berkeinginan belajar seni Kethek Ogleng sangat sedikit dibanding dengan jumlah keseluruhan generasi muda yang ada di Tokawi sekalipun.
Oleh karena itu agar seni tersebut dapat lestari pada masa mendatang berbagai upaya pengenalan seni Kethek Ogleng terhadap masyarakat khususnya henerasi muda harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis sehingga generasi muda tidak hanya mengetahui tetapi memahami sebi tersebut dengan salah satu tanda mempunyai respon estetis terhadap seni Kethek Ogleng.
Respon estetis sekaligus pemahaman generasi muda terhadap seni Kethek Ogleng mutlak diperlukan agar seni tersebut bisa bertahan hidup di tengah-tengah perkembangan seni kontemporer yang berbasis budaya asing. Generasi muda dipandang sebagai etitas penting karena lebih mampu berkreasi dan lebih cakap penguasaan akan teknologi informasi daripada generasi tua sehingga produk budaya akan lebih aman jika generasi muda dapat memahami dan berkeinginan untuk melestarikannya.
Salah satu cara pengenalan seni Kethek Ogleng pada masyarakat khususnya generasi muda yang dilakukan oleh para seniman, akademisi, dan para pemerhati seni adalah dengan menggelar pertunjukan seni Kethek Ogleng di berbagai objek wisata alam yang ada Kabupaten Pacitan. Objek wisata itu antara lain Pantai Klayar, Goa Gong, Pantai Watu Karung, Pantai Teleng Ria, Pantai Pancer Dorr, dan lain lain. Pada umumnya penampilan para penari seni Kethek Ogleng mampu mengumpulkan para pengunjung untuk menikmatinya.
Pengunjung terdiri atas berbagai umur dari anak-anak hingga orang dewasa. Khusus pengunjung sekaligus penonton yang tergolong generasi muda terdapat sikap unik ketika sedang setelah dan menyaksikan pertunjukan seni Kethek Ogleng. Di samping mereka mengabadikan dengan telepon genggamnya baik dalam format foto maupun video, mereka juga melakukan aktivitas yang dapat disebut sebagai representasi respon estetis mereka terhadap seni Kethek Ogleng. Fenomena aktivitas generasi muda itu sebagai masalah utama penelitian ini dan pembahasan ada bagian berikutnya.
Respons estetis dapat dipahami sebagai penerimaan, tanggapan, atau kesan yang diperoleh dari proses pengamatan pada suatu subjek. Khusus terkait dengan subjek yang identik dengan art product hasil tanggapan diistilahkan dengan respons estetis. Sebagaimana pemahaman umum, respon estetis identik dengan konsep yang cetuskan oleh Wolfgang Iser dan terkait dengan sastra. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya, respon estetis tidak hanya relevan dengan sastra bahkan untuk berbagai seni yang lain. Respons estetis ditujukan dengan kenyamanan pembaca/ penonton sejak menyaksikan pertujukan seni dan selanjutnya penonton tersebut memproduksi semisal yang dilihat dan memainkannya (Wang, 2011, hal 342).
Respons estetis terdapat beberapa kategori antara lain: a) respons seniman terhadap alam sekitarnya, b) respons mayarakat terhadap karya seni yang dihasilkan oleh seniman tadi, dan c) respons masyarakat secara keseluruhan terhadap alam sekitarnya (Ratna (2007: 193). Pandangan filosofis dari respon estetika muncul dari upaya keras filosofis dengan tujuan untuk memberikan kepercayaan berkelanjutan, sistematis, dan perhatian secara kritis (Elliott, 2002, hal. 85). Respons estetis sebagai proses kejiwaan serta manivestasi dari kegiatan apresiasi terhadap karya seni.
Generasi muda mempunyai respons estetis terhadap pertujukan seni Kethek Ogleng. Respons estetis itu sebagai pengalaman mereka setelah mengapresiasi seni Kethek Ogleng. Respons tersebut dengan ditandai adanya gerak-gerak dengan menggunakan versi mereka. Pembagian respons estetis, maka yang dimaksud dengan generasi muda dalam penelitian ini adalah golongan generasi muda yang menyaksikan pertunjukan seni Kethek Ogleng di berbagai objek wisata di Kabupaten yang berusia muda antara 15-30 tahun.
Generasi muda mempunyai daya imajinasi dan imitasi yang luar biasa terhadap objek yang disaksikannya dibanding dengan generasi tua. Tingkat respons kalangan generasi muda terhadap segala yang disaksikanya lebih cepat mengendap di memorinya. Selain itu generasi muda juga mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar sesuatu.
Dalam konteks pembahasan respons estetis generasi muda terhadap seni Kethek Ogleng dapat dilihat ketika selama tim seni Kethek Ogleng melakukan road show pertunjukan ke berbagai objek wisata alam yang ada di kabupaten Pacitan. Sebagian besar kegiatan road show dilakukan pada hari Minggu dengan berbagai pertimbangan objek wisata yang digunakan sebagai tempat pertunjukan mempunyai lebih banyak pengunjung dibanding dengan hari-hari selain Minggu dan para penari seni Kethek Ogleng mayoritas masih bersekolah sehingga pentas pada hari Minggu tidak mengganggu aktivitasnya sebagai pelajar. Kegiatan dimulai pada pukul 10.00 W.I.B hingga 16.30 W.I.B dengan diselingi istirahat. Seni Kethek Ogleng yang ditampilkan di berbagai objek wisata tersebut berdurasi sekitar 45 menit karena selain gerakan pokok seni Kethek Ogleng juga ditampilkan bendrong dan kudangan. Pengunjung pun terkesima dengan pertunjukan yang dilakukan oleh tim.
Strategi Kethek Ogleng Pacitan sebagai sebagai ikon budaya dan sebagai perwujudan budaya mataram di Pacitan dengan perbagai alat ukur atau indikator sebagai berikut: 1) Kethek Ogleng lolos sebagai Warisan Budaya Takbenda, 2) Kethek Ogleng telah mendapatkan sertifikat hak cipta sebagai salah satu seni pertunjukan di Indonesia, 3) Kethek Ogleng telah dimasukkan dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Pacitan Tahun 2018, 4) Kethek Ogleng sebagai ekstra kurikuler, Kajian ilmiah kethek ogleng di prosiding, 5) jurnal nasional, jurnal international baik yang tidak terindeks maupun terindeks, 6) buku kethek ogleng, data base ekonomi kreatif Pacitan, 7) data base ekonomi kreatif Pacitan, dan 8) agenda terstruktur pementasan Kethek Ogleng
Kegiatan road show seni Kethek Ogleng ke berbagai objek wisata alam di Kabupaten Pacitan sebagai sarana efektif untuk memperkenalkan seni Kethek Ogleng kepada masyarakat. Terdapat ragam reaksi terhadap pertunjukan seni Kethek Ogleng baik berupa apresiasi maupun respons estetis. Model respons dilakukan oleh generasi muda ketika menyaksikan pertunjukan Seni Kethek Ogleng Pacitan: (1) menyempatkan hadir lebih awal dan duduk di dekat pentas; (2) melakukan swafoto dengan penari Kethek Ogleng; (3) mewancari para penari atau pendamping; (4) menanyakan waktu dan tempat pementasan berikutmnya; (5) melakukan gerakan sebagaimana gerakan-gerakan penari Kethek Ogleng Pacitan di arena pentas maupun di luar pentas. Oleh karena itu, dapat dikatakan Seni Kethek Ogleng melalui kegiatan Road Show mendapat sambutan yang positif dari generasi muda. Adapun dari sekian resposn yang ada, respons estetis yang dilakukan oleh generasi muda adalah adanya imitasi terhadap gerakan tari Seni Kethek Ogleng sesuai pemahaman dan kemampuan mereka bahkan untuk meningkatkan kemampuannya berkeinginan mengikuti latihan menari Kethek Ogleng.
Kethek Ogleng Pacitan terdapat keterpengaruhan seni Kethek Ogleng di Wonogiri karena seni Kethek Ogleng di Pacitan muncul lebih dahulu dibanding dengan yang ada di Wonogiri. Terdapat perbedaan pembagian gerak dan juga iringan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri. Segi tata busana dan tata rias secara garis besar terdapat kesamaan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri, yakni sama-sama menonjolkan tokoh tari yang merepresentasikan Kethek. Namun dari segi tersebut terdapat perbedaan antara lain terletak pada pemakaian kain poleng dan tata rias wajah. Adapun kesamaan antardua seni tersebut terletak pada fungsi. Baik seni Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan maupun di Wonogiri mempunyai fungsi sebagai pertujukan, menghibur, kebanggan masyarakat, dan juga sebagai sarana untuk mendidik generasi penerus masyarakat masing-masing.
Selain itu juga pokok piran Sutiman sebagai pencipta Kethek Ogleng Pacitan sebagai berikut; 1) motivasi tinggi, 2) perencanaan, 3) kerjasama, 4) disiplin, 5) tanggung jawab, 6) sabar dan ikhlas, 7) kerja keras pantang menyerah, 8) rajin, 9) religius, 10) wirausaha, 11) tekad kuat, 12) optimisme, 13) rendah hati, serta 14) menerima kritik dan saran. Sifat yang terdapat dalam diri Sutiman wajib ditiru oleh generasi mileneal dalam mewujudkan suatu keinginan dan cita-cita.
Pertunjukan seni Kethek Ogleng didukung oleh berbagai aspek antara lain pelaku, gerak, iringan/gamelan, tata busana, perlengkapan atraksi, tata suara, tata lampu, dan area pentas. Berbagai model respons dilakukan oleh generasi muda ketika menyaksikan pertunjukan Seni Kethek Ogleng Pacitan: (1) menyempatkan hadir lebih awal dan duduk di dekat pentas; (2) melakukan swafoto dengan penari Kethek Ogleng; (3) mewancari para penari atau pendamping; (4) menanyakan waktu dan tempat pementasan berikutmnya; (5) melakukan gerakan sebagaimana gerakan-gerakan penari Kethek Ogleng Pacitan di arena pentas maupun di luar pentas. Oleh karena itu, dapat dikatakan Seni Kethek Ogleng melalui kegiatan Road Show mendapat sambutan yang positif dari generasi muda. Adapun dari sekian resposn yang ada, respons estetis yang dilakukan oleh generasi muda adalah adanya imitasi terhadap gerakan tari Seni Kethek Ogleng sesuai pemahaman dan kemampuan mereka bahkan untuk meningkatkan kemampuannya berkeinginan mengikuti latihan menari Kethek Ogleng.
Daftar Pustaka
Ching-Hsing Wang & Dennis Lu-Chung Weng. (2018). Personality Traits And Individual Feeling Of National Pride In South Korea. Asian Journal of Political Science, DOI: 10.1080/02185377.2018.1485586.
Dewi, Ikasari Minali & Agus Cahyo (2018) “Studi Komparasi: Tari Topeng Ireng Magelang dengan Tari Topeng Ireng Boyolali” Jurnal Seni Tari (2018). Vol. 7 (1) p. 36-37.
Dimitrova, R., A. Aydinli, A. Chasiotis, M. Bender, and F. J. Van de Vijver. (2015). “Heritage Identity and Maintenance Enhance Well-being of Turkish-bulgarian and Turkish-german Adolescents.” Social Psychology 46: 93–103. doi:10.1027/1864-9335/a000230.
Elliott, D. J. (2002). Philosophical perspe ctives on research . In R. Colwell & C. Richardson (eds ), The new handbook of research on music teaching and learning (pp. 85-102). New York: Oxfo rd Univer sity Press.
Enongene Mirabeau Sone. (2017). Symbolism of place and cultural identity in Cameroon. Journal African Identities Volume 15, 2017 – Issue . https://www.tandfonline.com /doi/full/10.1080/14725843.2016.1154815.
Hariymawan. (1988). Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kotler. P.. & Armstrong. G.. (2004). Principles of Marketing. 10th ed. Published of Prentice Hall. New Jersey.
Muzakkir. (2015). Generasi dan Tantangan Abad Modern serta Tanggung Jawab Pembinaannya. Jurnal At-Ta’dib,.8, 111-134.
Moleong, Lexy J. (2007). Metodelogi Penelitan Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Phinney, JS, G. Horenczyk, K. Liebkind, dan P. Vedder. (2001). “Identitas Etnis, Imigrasi, dan Kesejahteraan: Sebuah Perspektif Interaksional. “Jurnal Masalah Sosial 57 (3): 493-510. Doi: 10.1111 / 0022-4537.00225
Ratna, I Nyoman Kutha. (2007). Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati, Edi. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Soedarsono. (1986). Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari dalam Pengetahuan Elemen Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktotar Kesenian
Sukisno, dkk. (2018). Seni Kethek Ogleng Pacitan Warisan leluhur dan Segenap Dimensinya. Azyan. Yogyakarta.
Sutopo, Bakti, Agoes Hendriyanto, dan Arif Mustofa. (2018). Kethek Ogleng: Kesenian Monumental Asli Tanah Pacitan. Yogyakarta: Ladang Kata
Francis, Sandra. (2008). The Origin of Dance: The Perspective of Primate Evolution. Journal of Dance Cronicle, 14, 203-220.
Wang, Dalai (2011). Iser’s theory aesthetic response: strategies on compensation for cultural default in translation. Journal of Perspective: Studies in Translatology, 19, 339-352.
Weber, C., Johnson, M., & Arceneaux, K. (2011). Genetics, personality, and group identity. Social Science Quarterly, 92, 1314–1337.