Pilkada 2020 Normal yang Tidak Normal
Oleh: Nasarudin Sili Luli
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Kamis (11/6/2020), DPR bersama Menkeu dan Mendagri menyetujui usulan penambahan anggaran untuk KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk penyelenggaraan Pilkada 2020. KPU kemudian mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang semua tahapan harus berpedoman pada protokol kesehatan Covid-19. Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Menkeu, KPU RI, Bawaslu RI, DKPP RI, dan kepala BNPB/kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyetujui usulan kebutuhan tambahan anggaran untuk KPU, Bawaslu, dan DKPP terkait penyelenggaraan tahapan lanjutan Pilkada 2020 yang akan didukung dengan anggaran yang bersumber dari APBN dengan memperhatikan kemampuan APBD masing-masing daerah.
Agak mencengangkan ketika Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, hingga hari ini tambahan anggaran untuk Pilkada 2020 belum dicairkan. Sampai tanggal 24 Juni pun anggaran belum bisa dicairkan. Akibat belum cairnya tambahan anggaran tersebut, tahapan verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan digeser dari 18 Juni ke 24 Juni.
Tahapan verifikasi faktual yang semula KPU jadwalkan 18 Juni di geser lagi jadi 24 Juni. Artinya target KPU yang semula 15 Juni tidak tercapai, target KPU 24 Juni juga meleset dari penundaan sebelumnya hal ini karena lagi- lagi persolaan anggaran yang belum bisa dicairkan.
Fiskal Daerah
Kapasitas fiskal daerah yang tertekan akibat pandemi Covid-19 membuat banyak pemerintah daerah belum bisa memenuhi kebutuhan anggaran Pemilihan Kepala Daerah 2020. Sementara kucuran dana dari pemerintah pusat juga belum diterima penyelenggara pemilu. Pemerintah diminta segera mengatasi problem anggaran itu, apalagi mulai 15 Juni lalu, tahapan pemilihan lanjutan telah dimulai.
Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pencairan anggaran pilkada tahap pertama, paling sedikit 40 persen dari nilai naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), harus dicairkan paling lama 14 hari kerja setelah penandatanganan NPHD. NPHD di total 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 telah ditandatangani Oktober 2019.
Adapun tahap kedua, paling sedikit 60 persen dari NPHD, paling lama lima bulan sebelum hari pemungutan suara Pilkada 2020. Dengan pemungutan suara diputuskan 9 Desember 2020, tenggat pencairan 9 Juli 2020.
Namun, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), per 24 Juni 2020 masih ada 32 pemda yang nilai transfernya ke KPU belum 40 persen. Adapun untuk Bawaslu masih ada 30 pemda.
Sekalipun sadar akan kondisi yang dihadapi fiskal Pemda harusnya Kemendagri mengingatkan pemda bahwa pilkada termasuk kebijakan strategis atau prioritas nasional. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, jika pemda tak turut menyukseskan agenda prioritas nasional, bisa dijatuhi sanksi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 68 UU Pemda disebutkan, kepala daerah yang tidak mengikuti program strategis nasional dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian.
Pada hal kita ketahui bersama bahwa pilkada sudah mulai tahapan verifikasi calon perseorangan Pilkada 2020 yang harusnya terjadwal pada 24-29 Juni. Tahapan pilkada bakal berlangsung dalam keterbatasan perlengkapan kesehatan guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. Resiko penularan Covid-19 mesti diawasi, terutama di sebagian daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.
Keterbatasan tersebut diperparah belum cairnya tambahan anggaran untuk pemenuhan perlengkapan kesehatan. Pada saat yang sama, Peraturan KPU nomor 5 tahun 2020 yang mengharuskan mengatur protokol penyelenggaraan pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 harus diterapkan dalam semua tahapan berlangsung.
Indeks Kerawanan Pemilu
Bawaslu kembali meluncurkan IKP Pilkada 2020 mutakhir per Juni 2020, terdapat 27 kabupaten/kota yang terindikasi rawan tinggi dalam konteks pandemi. Berdasarkan IKP Pilkada 2020 sebagai berikut; 20 daerah dengan kerawanan tertinggi dalam konteks pandemi adalah Kota Makassar, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Karawang, Kota Manado, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Tomohon, dan Kabupaten Gowa. Kemudian Kabupaten Sijunjung, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kota Banjarbaru, Kota Ternate, Kota Depok, dan Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya Kota Semarang, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Melawi.
Selain itu, 146 kabupaten / kota terindikasi rawan sedang dalam konteks pandemi dan 88 kabupaten kota ada dalam titik rawan rendah. Aspek yang diukur dalam konteks pandemi adalah anggaran pilkada terkait Covid-19, data terkait Covid-19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, dan hambatan pengawasan pemilu akibat wabah Covid-19.
Artinya dari rangkaian persoalan di atas, Bawaslu seharusnya sudah memitigasi persolan yang harus segera mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah jika tetap melaksanakan pilkada. Pilkada saat ini berdasarkan pandangan banyak pihak, kondisi pilkada tidak normal mulai dari keterbatasan anggaran, deadline waktu pelaksanaan pilkada yang selalu mengalami perubahan dari jadwal pelaksanaannya, dan persoalan covid-19 yang makin hari makin memperihatinkan. Jangan sampai pelaksanaan pilkada tahun 2020 dengan keterbatasan APD menjadi klaster baru bagi pemyelenggara dan peserta pemilu karena tidak menerapkan protokol kesehatan covid -19.
Solidaritas Demokrasi
Seperti yang penulis uraikan di atas bahwa jika pemerintah tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi covid -19 ini dikhawatirkan banyak pihak tidak hanya dalam negeri tapi juga dunia internasional. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bersama National Endowment for Democracy (Washington, DC) telah mengumpulkan tandatangan dukungan lebih dari 500 pemimpin politik, tokoh masyarakat, peraih hadiah Nobel dan lembaga pro-demokrasi untuk surat terbuka “A Call to Defend Democracy”. Surat seruan ini lahir dari konteks kebebasan negara-negara demokrasi yang terancam oleh pemerintah yang mengatasnamakan krisis pandemik Covid-19.
Keyakinan dan bukti dari demokrasi itu diharapkan bisa lahirkan solidaritas dan dukungan yang lebih luas untuk mempertahankan demokrasi oleh individu dan kelompok di masing-masing negara. Untuk sebagian negara yang mengalami kesewenangan pemerintahan di tengah pandemi Covid-19, dukungan masyarakat internasional amatlah berarti untuk mengubah keadaan menjadi lebih demokratis menjelang pilkada tahun 2020.
Situasi ini harus menjadi alarm pemerintah dan para stake holder untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaan pilkada tahun 2020 di tengah pandemik, harus betul- betul menjalankan pilkada yang subtansial bukan hanya prosedural semata lima tahunan tetapi semua aspek harus menjadi pertimbangan yang matang.
Ketika kita membaca Perpu Nomor 2 Tahun 2020 sebetulnya juga mengatur opsi penundaan dan penjadwalan kembali pilkada. Dasar keadannya jika pada bulan Desember 2020 pemungutan dan penghitungan suara tidak dapat dilaksanakan akibat bencana nasional pandemi Covid-19 belum selesai.
Klausal tersebut termaktub dalam Pasal 201 A ayat (3). Politik hukumnya seolah hanya meramal pandemi yang diperkirakan berakhir pada saat pelaksanaan pungut hitung di Desember 2020. Padahal kenyataan hari ini tahapan pilkada harus sudaH segera kembali dilaksanakan walaupun kondisi sebenarnya normal yang tidak normal jika tetap di paksakan tetap melaksanakan pilkada tahun 2020.
Penulis: Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan (WA.085244548263)