Modus “Ijon Korupsi Anggaran”; Korupsi Sudah Seperti Virus

Modus “Ijon Korupsi Anggaran”;  Korupsi Sudah Seperti Virus
SHARE

PRABANGKARANEWS.COM || KORUPSI betul-betul susah mati di negeri ini. Satu waktu ada kabar tentang korupsi yang dilakukan pejabat eksekutif, tak berselang lama giliran punggawa yudikatif ditangkap karena menerima suap. Lalu, di waktu yang lain lagi, legislator pun melakukan hal yang sama, seolah tak mau kalah.

Intinya ialah korupsi sudah seperti virus. Ia begitu mudah menjangkiti para penyelenggara negara, siapa pun dia, tidak peduli pejabat eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Bahkan, kerap kali terjadi kolaborasi di antara kedua atau ketiganya.

Saking hebatnya virus itu, ia juga sangat gampang bermutasi. Karena itu, tidak mengherankan kalau ada anggapan korupsi tak pernah mati. Bahkan penindakan demi penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama sekali tak membuat jera.

Di Republik ini korupsi terus saja berulang. Pelaku dan perilakunya ibarat mati satu tumbuh seribu. Satu orang diringkus, muncul satu gerombolan lain yang tak kalah rakus. Satu orang dijebloskan penjara, di tempat lain banyak orang sedang diintai karena mengutil uang negara.

Baca Juga  Tetaken WBTB Indonesia 2020, Nomor Registrasi 202001176

Kasus dugaan korupsi teranyar yang menyeret Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak sebagai tersangka utama kian mengonfirmasi bahwa perilaku korup bukan hanya tidak pandang bulu, melainkan juga tak peduli waktu dan tempat.

Bayangkan saja, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Sahat dan kawan-kawan, Rabu (14/12), hanya berselang lima hari setelah kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia.

Ironis, bukan? Kita selalu bersemangat memperingati Hari Antikorupsi, tetapi nyatanya itu hanya menjadi seremoni. Korupsinya jalan terus. Lalu, lokasi OTT KPK terhadap Sahat ialah salah satu ruangan di Gedung DPRD Jawa Timur di Surabaya. Tempat yang seharusnya menjadi wadah anggota dewan menggenggam dan menyampaikan aspirasi rakyat malah dipakai untuk merampok uang rakyat.

Namun, yang paling menarik dari kasus tersebut ialah modus korupsinya. KPK menduga Sahat menerima uang suap sebesar Rp. 5 miliar dengan modus korupsi ijon dana hibah yang ada di APBD Jatim.

Baca Juga  PDIP Hormati Keputusan PPP dan Perindo Gabung Koalisi Indonesia Maju

Dana belanja hibah biasanya disalurkan kepada badan, lembaga, dan organisasi masyarakat. Distribusi penyalurannya antara lain melalui kelompok masyarakat (pokmas) untuk proyek infrastruktur sampai tingkat perdesaan.

Sahat, sebagai Wakil Ketua DPRD, selama ini kerap membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah tersebut. Syaratnya, ada pemberian sejumlah uang sebagai uang muka atau ijon. Lalu, setelah pencairan dana disetujui, ada upah pungut alias fee yang harus dibayarkan dari pihak yang dibantu pengurusannya kepada Sahat. Itu juga yang menjelaskan kenapa Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Abdul Hamid, dan koordinator lapangan pokmas Ilham Wahyudi juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Merekalah yang menyuap Sahat untuk menggunakan jasanya. Sisi menarik dari modus ijon sebetulnya bukanlah dari sisi kebaruannya. Sistem ijon sesungguhnya modus lama dalam perkara tindak pidana korupsi. Modus tersebut terutama kerap dipakai untuk memotek dana bantuan sosial ataupun hibah.

Baca Juga  Kapen Kogabwilhan III: Korban Kontak Tembak di Sugapa adalah KSB

Secara mudahnya, sistem ijon menjanjikan proyek tertentu dari APBD dengan imbalan fee yang nilainya dipatok berdasarkan persentase dari total nilai proyek. Dalam perkara di Jatim itu, KPK menyebut besaran fee itu bisa mencapai 30% dari nilai proyek. Sebesar 20% untuk Sahat, 10% untuk pokmas. Itu sungguh mengerikan karena angkanya sangat besar.

Inilah barangkali yang disebut sehebat-hebatnya bancakan anggaran. Karena itu, kita mendesak KPK mengusut perkara ini lebih luas lagi, tidak berhenti di Sahat. Dengan potensi profit dari persentase fee yang amat besar, ditambah anggaran dana hibah yang bisa ‘dimainkan’ yang besarannya jumbo, sangat mungkin ada pelaku-pelaku lain dari kalangan legislator atau pihak lainnya.

Penting juga bagi KPK untuk menelusuri aliran dana suap dan fee itu sehingga perkara itu bisa ditangani setuntasnya. KPK tak boleh lemah dalam bertindak, apalagi untuk kejahatan keji seperti korupsi dana anggaran yang semestinya digunakan untuk kepentingan rakyat.

Sumber: mediaindonesia.com