Tradisi Larung Sesaji Gunungan Tumpeng Laut Pacitan: Keagungan dan Sakralitas Pergantian Tahun Baru Islam
PRABANGKARANEWS || Pacitan, juga dikenal sebagai “Kota Misteri,” memiliki tradisi unik dan sakral bernama “Citus Adat Lan Adab Larung Sesaji Gunungan Tumpeng Laut Pacitan.” Tradisi ini telah dijalankan sejak abad ke-17 Masa Hijriyah, saat Bumi Pacitan dipimpin oleh Eyang Adipati Setro Ketipo, yang berasal dari Tlatah Loano, wilayah yang kini dikenal sebagai Kutoarjo/Purworejo di Jawa Tengah. Eyang Adipati Setro Ketipo diangkat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I/Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan/Raja Yogyakarta pada zamannya.
Tradisi ini memiliki akar keagamaan Islam dan berpusat pada perayaan pergantian Tahun Baru Islam/Asyuro. Sri Sultan HB I menunjukkan penghormatannya dengan sarana adat dan adab, yaitu “Larung Sesaji di Lautan Bebas,” sebagai wujud rasa syukur manusia kepada Allah sebagai Pencipta Alam Semesta. Larung Sesaji merupakan persembahan berupa tumpeng dari nasi yang membentuk Gunungan dan dihiasi oleh berbagai hasil bumi. Tumpeng ini dikelilingi oleh hiasan Janur, yang melambangkan Nur Illahi (Cahaya Ilahi), merepresentasikan persembahan manusia kepada Sang Pencipta dengan cahaya dan nur yang melingkari-Nya.
Acara ini menarik banyak peziarah dari luar Pacitan, yang melakukan perjalanan jauh sebagai “Topo Laku” selama semalam untuk mencapai Laut Pacitan. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Ponorogo, Solo, Wonogiri, Yogya, Madiun, dan lainnya. Kehadiran mereka adalah sebagai bentuk syukur dan usaha untuk meraih berkah di lokasi Laut Pacitan yang dianggap memiliki daya sakral dan magis yang tinggi.
Salah satu bagian penting dari acara ini adalah “Bersuci” atau mandi di laut, sebagai perwujudan rasa syukur dan permohonan kepada Allah Sang Pencipta untuk memberkahi mereka di tahun baru Asyuro yang akan datang. Hingga kini, tradisi ini tetap disakralkan dan dihormati oleh seluruh masyarakat Pacitan, terutama para nelayan yang hidup dan bekerja di Lautan Bebas.
Doa pun diucapkan kepada Allah SWT untuk memberkahi Pacitan, keluarga, rakyat, dan generasi penerus, serta menghadapkan mereka kepada keberkahan dan kebahagiaan. Semoga tradisi ini tetap terjaga dan berlanjut, menjadi warisan budaya yang berharga bagi Pacitan, yang menghormati dan mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT, di bumi dan langit-Nya. Aamiin. (Amat Taufan)