Prasasti Watukura “The Royal Library” di Copenhagen, Denmark
PRABANGKARANEWS || Prasasti Watukura disimpan di ” The Royal Library, Copenhagen, Denmark. Untuk mempelajari ataupun melihat kita Bangsa Indonesia harus pergi ke museum Copenhagen, Denmark. Mungkin jika tidak tersimpan di sana benda purbakala Indonesia yang bernilai tinggi bagi keberadaan sejarah Indonesia bisa tidak terselamatkan.
Bahan terbuat dari tembaga, berjumlah 5 lempeng. Ukuran 9,3 × 31,1 cm. Ditulis kedua sisinya dengan lima baris tulusan, kecuali lempeng terakhir. Lempeng terakhir hanya pada bagian satu sisi saja dengan 2 baris tulisan.
Ditulis dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa KUno. Tahun dikeluarkan 824 Saka atau (27 Juli 902 M).
Raja Maharaja Rake Watukura Dyah Balitun Sri Iswarajesawotsawatunga. Jenis Prasasti Sina.
Alih aksara
- Swasti śaka warṣātīta. 824. śrawaṇa māsa. tithi. pañcadaśi śuklapakṣa. pā. pa. aŋ. wāra
- Maḍaṅkuŋan. sapta kārana wiṣṭi. pūrwwasādhā nakṣatra. śiwa yoga. tatkāla mahārāja rake watukura
- Dyaḥ balituŋ. śrī iśwarakesawotsawatuṅga. maweḥ panīma. mā. kā 1. i rāmanta i watukura. parṇnaḥ
- Dharma paṅasthūlan ri sira. aṅkěn pūrṇnama niŋ bhadrawāda. kabhaktyana de rāmanta i watukura.
Bunyi prasastinya yang telah diterjemahkan sebagai berikut:
- Selamat tahun saka 824 yang telah berlalu, hari Selasa Pahing paringkelan Paniruan tanggal 15 paro terang bulan Srawana.
- Wuku Madankungan, Saptakarana Wisti, Naksatranya Purwwasadha, Yoganya Siwa. Ketika Maharaja Rake Watukura.
- Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawatungs memberikan uang untuk melaksanakan upacara sebesar 1 kati uang emas kepada Ramanta di Watukura, diperuntukkan bagi
- Dharmma Oangasthulan kepadanya, setiap bulan purnama di bulan Bhadrawada, Kebaktiannya oleh Ramanta di Watukura.
Periode tahun terakhir Dyah Balitung (829-832 tahun Saka) berkuada di Mataram Kuno, dengan banyaknya pradasti yang dikeluarkannya.
Pada masa pemerintahannya banyak desa yang berstatus Sima, yang merupakan daerah istimewa dengan pembebasan membayar pajak ke kerajaan.
Menurut analisis dari sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari, kemungkinan besar Dyah Balitung naik takhta karena ia menikahi putri dari raja sebelumnya, Rakai Watuhumalang. Namun, hubungan antara Rakai Watuhumalang dan raja sebelumnya, Rakai Kayuwangi, masih belum begitu jelas. Nama putra mahkota pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.
Dalam konteks ini, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung diketahui sebagai cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yang merupakan istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis dari Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, yang merupakan ayah dari Rakai Kayuwangi.
Sejarah Dyah Balitung
Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan menimbulkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yang adalah putra dari raja sebelumnya dan dengan demikian memiliki klaim yang lebih kuat atas takhta Kerajaan Medang.
Mpu Daksa, yang menjabat sebagai Rakai Hino, ditemukan dalam Prasasti Taji Gunung yang dikeluarkan pada tanggal 21 Desember 910, yang berbicara tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada periode transisi antara pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Menurut Prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan sebagai putra dari Rakai Pikatan.
Dyah Balitung mungkin berhasil naik takhta setelah mengalahkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Dalam konteks ini, mungkin Rakai Gurunwangi yang merasa tersingkir dan memiliki dendam bergabung dengan Mpu Daksa. Perlu dicatat bahwa Rakai Gurunwangi dan Mpu Daksa adalah keluarga yang memiliki ikatan kekerabatan; keduanya adalah keturunan Rakai Pikatan.
Menurut analisis dari sejarawan Boechari, pemerintahan Dyah Balitung berakhir karena pemberontakan yang dipimpin oleh Mpu Daksa. Prasasti Taji Gunung yang dikeluarkan pada tahun 910 menunjukkan bahwa Mpu Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sementara dalam Prasasti Timbangan Wungkal yang dikeluarkan pada tahun 913, ia sudah memiliki gelar maharaja, mengindikasikan kenaikan status dan peranannya dalam pemberontakan tersebut.
Sumber: Van Naerssen. Alih Aksara, Edhie Wurjantoro, dalam bahan perkuliahan Epigrafi