Prof. Bani Sudardi; Wanita-Wanita Hebat dalam Budaya Jawa

Prof. Bani Sudardi; Wanita-Wanita Hebat dalam Budaya Jawa
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum.
SHARE

Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum (*)

(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta

ARTIKEL ILMIAH, PRABANGKARANEWS || Suku Jawa adalah sebuah suku yang memiliki perjalanan panjang dalam sejarah kebudayaannya. Menurut penemuan para ahli di Jawalah ditemukan jenis manusia pertama yang disebut sebagai Pithecanthropus erectus yang tengkoraknyaditemukan di situs purba Sangiran yang sering disebut sebagai Sangiran Dome (Kubah Sangiran).

Selanjutnya dalam sejarahnya suku Jawa memiliki tokoh-tokoh sejarah dari masa lalu yang menunjukkan kehebatannya dan diakui oleh warga-warga asing lainnya.  Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas tentang tokoh-tokoh wanita dalam sejarah kebudayaan orang Jawa yang meninggalkan jejak-jejak yang luar biasa dan terdapat dalam sejarah kebudayaan yang diakui oleh bangsa yang telah singgah di Pulau Jawa pada masa lalu .

Dinamika kedudukan wanita di dalam suku Jawa sangat unik. Dalam kebudayaan Jawa wanita sering diletakkan sebagai tokoh kedua setelah pria sehingga,timbul istilah-istilah yang menunjukkan kurang pentingnya wanita dalam kehidupan seperti ada istilah (1) wong wadon uwi mung kanca wingking (wanita itu teman di belakang), (2) wong wadon kuwi mung suwargo nunut neraka katut (wanita itu surge menumpang, neraka mengikut), (3) uripe wong wadon kuwi mung neng dapur sumur Kasur (wanita hidup di dapur, sumur, dan kasur), (4) wong wadon kuwi tugas utamane mung macak, manak, masak (Tugas utama wanita itu berhias, beranak, dan punya anak), dan lain-lain.

Pada dasarnya dalam kebudayaan Jawa wanita dipandang sebagai komplemen dalam kehidupan. Menurut antropolog Rasser gambaran kehidupan antara pria dan wanita digambarkan seperti matahari dan bulan jadi sebagai sesuatu yang berpasangan. Dalam cerita hal ini digambarkan seperti Panji dan Galuh Candra Kirana yang mempunyai tema “bertemu berpisah bertemu berpisah lagi”. Ini adalah gambaran matahari dan bulan yang saling silih berganti (Ras, 1968) .

Konsep matahari bulan ini adalah bentuk konsep berpasangan. Hal ini dapat diperluas lagi dengan konsep yang lain. Seperti gambaran yaitu bopo akoso dan Ibu Pertiwi. Gambaran ini melukiskan tentang bahwa pria itu ibarat langit dan wanita itu ibarat bumi. Selanjutnya juga bisa digambarkan sebagai lautan dan daratan. Pria ini adalah gambaran daratan yang bergunung-gunung sementara wanita adalah gambaran Laut yang berombak. Ada juga yang menggambarkan wanita sebagai mata air (sendhang) dan pria sebagai pancuran.

Baca Juga  Demi Kemanusiaan, DPD-RI Fachrul Razi Minta Pemerintah Aceh Lindungi Pengungsi Rohingya

Dalam mitologi Jawa Mataram hal ini digambarkan sebagai bentuk raja dan ratu Kidul. Raja Mataram berada di daratan sementara Ratu Kidul berada di lautan. Hubungan keduanya bersifat abadi yaitu silih berganti (Anonim, 2004) . Namun ternyata dalam posisi yang dianggap sebagai posisi kedua ini terdapat juga tokoh-tokoh wanita dalam kebudayaan Jawa yang bisa mencapai puncak dan menjadi transetter atau memiliki pengaruh besar di dalam kehidupan sehari-hari Kita mengenal beberapa tokoh wanita modern dari suku Jawa seperti Ibu Kartini, Ibu Megawati, Nyai Ahmad Dahlan, Ibu Susi Pujiastuti, para bupati, camat, kepala desa wanita dan sebagainya. Yang kesemuanya menunjukan bahwa dalam budaya Jawa wanita ternyata juga ada ruang untuk berprestasi.

Dalam sejarah Jawa, yang mula-mula tampil sebagai raja putri adalah Putri Simha. Artinya “putri macan atau singa”. Nama ini karena beliau sangat tegas dalam memerintah demi kemakmuran rakyat. Ratu Sima adalah seorang Ratu yang memiliki kekuasaan di pantai utara Jawa pada abad ke-7. Ratu ini terkenal sebagai Ratu yang dapat membawa kejayaan kerajaan Kalingga yang merupakan kerajaan Budha pada waktu itu.

Seperti namanya yaitu Sima atau singa atau harimau, ratu Sima terkenal sebagai Ratu yang sangat tegas memegang kebenaran. Dia menerapkan hokum  dengan tidak pandang bulu untuk menjaga kemakmuran rakyatnya sehingga kerajaannya benar-benar menjadi sebuah kerajaan yang aman dan tentram (Ada, n.d.).

Ada satu cerita yang menarik bahwa pada masa Ratu Sima ini orang yangmencuri akan mendapat hukuman mati. Karena hukuman yang sangat berat ini, kerajaan Kalingga terkenal sebagai satu kerajaan yang aman tentram tidak ada pencurian dan barang-barang ditinggalkan di jalan atau di tempat lain akan aman tidak diambil orang. Ada seorang musafir mencoba keamanan itu dengan menaruh sekantong uang di tengah jalan. Ternyata setelah bertahun-tahun, uang itu tidaklah hilang atau bergeser dari tempatnya.

Sampai suatu saat putra mahkota lewat tempat itu dan menyingkirkan uang yang ada di tengah jalan itu dengan kakinya. Ketika mengetahui hal itu, putri Sima sangat marah dan putra mahkota itu akan mendapat hukuman mati. Mendengar hal itu para punggawa kerajaan meminta agar putra mahkota tidak dihukum mati karena dia menyingkirkan barang itu bukan bermaksud untuk mengambilnya. Putri Sima kemudian mengubah hukuman itu dengan memotong kaki putra mahkota itu karena yang digunakan untuk menyingkirkan sekantong uang emas itu adalah kakinya.

Baca Juga   Ngantor di Kecamatan Bandar, Mas Aji Ngecamp di Bukit Sidodadi, Bandar, Pacitan

Di kerajaan Medang atau sering disebut dengan Mataram Kuno kita mengenal seorang tokoh wanita yang bernama Dyah Pramuda Wardani. Wanita ini sangat berperan dalam menjaga kemakmuran rakyat Medang karena dalam sejarahnya wanita ini berhasil memimpin kerajaan mataram Kuno dan menyatukan dua kerajaan yang berbeda agama. Diah Pramuda Wardani merupakan keturunan dari Dinasti Syailendra yang beragama buddha sementara suaminya yang bernama Rakai Pikatan adalah seorang raja yang beragama Hindu.

Dari perkawinan dua raja yang berbeda itu maka terciptalah suatu kemakmuran dan kemajuan yang luar biasa. Pada masa itu munculah bangunan yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan yaitu candi Borobudur yang diresmikan oleh Dyah Pramudya Wardani tersebut. Candi ini merupakan candi Budha terbesar di dunia. Sementara suaminya, membangun bangunan suci Hindu yang bernama Siwagraha yang sampai saat ini masih megah berdiri dan dikenal sebagai Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia.

Kerajaan besar Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki tokoh wanita yang cukup banyak. Tokoh wanita pertama adalah Gayatri yang berhasil mendampingi putrinya yang bernama Tribuana Tungga Dewi. Pada masa Tribuana Tunggadewi inilah majapahit mulai mengadakan ekspansi yang dipimpin oleh Gajah Mada dengan sumpah palapanya. Ekspansi ini dilanjutkan oleh raja selanjutnya yaitu Hayam Wuruk sehingga Majapahit dapat menguasai seluruh Nusantara (Alian, 2004) .

Salah satu tokoh wanita yang berusaha sekuat tenaga mempertahankan Majapahit dari keruntuhan adalah Dewi Suhita. Usia Dewi Suhita ketika menjadi ratu Majapahit masih sangat belia, yaitu sekitar 20 tahun. Pada masa dia berkuasa memang Majapahit dalam keadaan yang mengalami tekanan yang berat. Tekanan tersebut berupa pemberontakan dan musibah kelaparan. Namun demikian, catatan dari Cina menunjukkan bahwa Dewi Suhita termasuk seorang raja yang kuat. Nama Suhita juga muncul dalam  kronik Tiongkok  dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta (Purwanto, 2017)

Baca Juga  Kades dan Perangkat di Purworejo Akan Terima Siltap Mulai Bulan April

Pada zaman Demak terdapat seorang wanita bernama Putri Kalinyamat. Babad Tanah Jawa menceritakan Kalinyamat ini sebagai wanita yang lemah. Ketika suaminya dibunuh Harya Penangsang ia hanya bertapa telanjang karena tidak dapat membalas dendam. Berikut kutipan dari Babad Tanah Jawi tentang tekad

Ratu Kalinyamat (Anonim, 2004) 19. datan mantuk ing Dêmak nagari | banjur atapa wukir satata | ing Danaraja gununge | ênggènira amangun | kasubratan amati ragi | dadya tapa amuda[8] | rema karya pinjung | sangêt ambantêr sarira | sawarnine têtilare kang sawargi | pan satata ginawa || 20. ni mas rêtna mangke pasanggiri | ing benjang iya ingsun asinjang | lamun wus ana belane | patining lakiningsun | atanapi sadulur mami | padha kinaniaya | sahid patinipun | pan ingsun tan arsa sinjang | lamun durung ana sanggup amatèni | maring Si Arya Jipang ||

(Terjemahan: Ratu Kalinyamat tidak pulang ke Demak, tetapi bertapa di Gunung Danaraja, dengan bertapa telanjang, rambutnya sebagai penutup dada, sungguh menyiksa tubuh. Semua tinggalan suaminya di bawanya. Ni Mas Retna (Ratu Kalinyamat) memasang sayembara, saya akan memakai jarit kalau ada yang membalaskan suamiku dan juga saudara saya, yang dianiaya, dan mati sahid. Saya tidak mau memakai jarit, kalua belum ada yang sanggup membunuh Arya Jipang.

Deskripsi dalam Babad Tanah Jawi dengan catatan-catatan ternyata berbeda. Ratu Kalinyamat adalah seorang Ratu yang menguasai bandar Jepara dan memiliki galangan kapal yang diantara kapal-kapal untuk menyerang Portugis di Malaka. Catatan orang Portugis menyebutkan Ratu Kalinyamat adalah seorang wanita yang pemberani. Pemerintah Indonesia menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Ratu Kalinyamat pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2023 .

DAFTAR PUSTAKA

Ada, T. (n.d.). Kerajaan Kalingga (Vol. 148).

Alian. (2004). Pertumbuhan Kerajaan Melayu Sampai Masa Adityawarman. 1, 1–14.

Anonim. (2004). Babab Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-Raja Jawa Buku 1. Amanah Lontar.

Purwanto, B. (2017). Contesting for Majapahit and Demak Prophecy : Reinterpreting Pajang Sultanate. Patrawidya, 18(3), 253–272.

Ras, J. J. (1968). Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. Martinus Nijhoff.