Prof. Aprinus Salam: Sastra Harus Berani Gugat SARA dan Kekuasaan yang Salah Paham

PRABANGKARANEWS – Sastra sebagai bentuk ekspresi seni memiliki potensi besar untuk membahas berbagai realitas sosial, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Namun, dalam konteks sastra Indonesia saat ini, masih terlihat adanya kegamangan dalam mengangkat tema-tema keagamaan, kesukuan, dan rasial, serta sikap enggan untuk menyentuh isu politik berbasis kepentingan kelompok tertentu. Menurut Prof. Aprinus Salam dari Departemen Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), kondisi ini dipengaruhi oleh rasa takut dan sikap latah yang telah lama mengakar, dilansir dari UGM.ac.id Kamis (1/5/25).
Hal tersebut disampaikannya dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Sosiologi Sastra di Balai Senat UGM pada Selasa (29/4), yang bertajuk “Sastra, SARA, dan Politik Salah Paham”. Dalam pidatonya, Aprinus mengangkat contoh seperti novel Salah Asuhan yang dalam versi awalnya dianggap menyinggung ras Barat, serta kisah pelarangan karya sastra pada masa Orde Baru, termasuk tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menegaskan bahwa negara khawatir jika karya sastra mengungkap atau mengkritisi ideologi kekuasaan yang dijalankan secara keliru.
Bumi Manusia, lanjutnya, mampu mengangkat tema seperti rasisme kolonial, sistem feodal, ketidaksetaraan gender, dan kapitalisme. Karya ini mendorong pembaca untuk tetap berpijak pada rasionalitas yang lebih adil dan setara, yang tentu saja tidak disukai oleh pihak berkuasa karena dinilai melemahkan dominasi mereka.
Permasalahan yang muncul adalah masyarakat belum menyadari adanya pola kesengajaan dalam salah paham terhadap karya sastra yang membahas isu sensitif. Sastra seharusnya menjadi medium untuk mencari dan menyampaikan kebenaran, serta mendorong pembaca untuk terbuka pada perbedaan keyakinan. Pengalaman di masa Orde Baru menunjukkan bagaimana karya seperti Bumi Manusia sengaja disalahpahami karena dianggap mengancam kekuasaan. “Itulah mengapa karya sastra yang mengangkat isu SARA dianggap berbahaya bagi negara dan akhirnya dilarang beredar,” jelas Aprinus.
Menurutnya, pelarangan atas dasar kandungan SARA bukan lagi didasari pada alasan menjaga stabilitas nasional, melainkan demi melindungi kepentingan politik kekuasaan tertentu. Ia menegaskan bahwa negara yang ideal semestinya tidak membiarkan masyarakat terus berada dalam kondisi salah paham. Sebaliknya, kekuasaan yang otoriter akan terus mempertahankan kekuasaannya dengan cara tersebut.
Aprinus juga menyoroti tantangan baru yang muncul di era media sosial, di mana dinamika demokrasi semakin kompleks. Bukan karena negara semakin terbuka atau demokratis, melainkan karena ketidakpahaman terhadap fungsi sastra sebagai sarana pencarian kebenaran yang mendalam. Ia berharap ke depan tidak ada lagi larangan menyinggung SARA dalam kompetisi sastra, karena menurutnya, sastra memiliki peran penting dalam menggugah kesadaran dan menjaga nilai-nilai kebenaran.
Di akhir acara, Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Baiquni, secara resmi mengukuhkan Prof. Aprinus Salam sebagai Guru Besar, menjadikannya salah satu dari 17 Guru Besar aktif di lingkungan FIB UGM.