Perlunya Jiwa Yang Suci Putih Untuk Menjadi Pemimpin (Renungan Lakon Kuntul Wilanten)

Perlunya Jiwa Yang Suci Putih Untuk Menjadi Pemimpin  (Renungan Lakon Kuntul Wilanten)
Prof. Bani Sudardi, Guru Besar Ilmu Budaya, Fak Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret
SHARE

Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. (*)

(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret

Dewasa ini banyak kita dengar tentang adanya pemimpin yang pongah terhadap rakyatnya. Pemimpin yang merasa paling berkuasa dan menganggap rendah rakyatnya serta mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyakitkan hati dan akhirnya timbullah suatu konflik berupa gerakan rakyat untuk mendesak pemimpin yang tidak mengenal kehalusan hati agar mundur dari jabatannya.

Sekiranya para pemimpin memperhatikan lakon-lakon wayang yang sudah lama berkembang di dalam kebudayaan Jawa, maka perilaku pongah, sesongaran, akan dapat disingkiri.  Dalam kebudayaan Jawa, jabatan adalah sebuah wahyu. Seorang pemimpin yang mendapat wahyu akan mendorong dirinya untuk bertindak adil paramarta. Dia tidak akan merasa bahwa jabatan itu karena prestasi dirinya, melainkan karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dia jaga dengan amanah. Dia harus bersikap berbudi bawa leksana, lumuh lumaksana. Hal ini diungkapkan Sri Susuhunan Pakubuwana  IV, Raja Kasunanan Surakarta dalam sebuah  syair mijil dalam Wulangreh.

  • Poma kaki padha dipun eling,
  • ing pituturingong,
  • sira uga satriya arane,
  • kudu anteng jatmika ing budi,
  • luruh sarta wasis,
  • samubarang tanduk.

Terjemahan: Wahai anakku, ingat-ingatlah nasihatku ini. Kalian dapat dikatakan sebagai satria dengan syarat harus tenang, bagus hatinya,   tenang bagus berbudi, rendah hati dan cedas dalam setiap perilaku.

Dalam dunia pewayangan kita diingatkan dengan sebuah lakon klasik berjudul Sayembara Kuntul Wilanten. Lakon Ini adalah sebuah lakon carangan yang tentu saja tidak ada sumbernya di India, namun demikian justru lakon ini menggambarkan suatu kearifan lokal bangsa tentang perlunya kesucian jiwa bagi pemimpin yang akan memegang tampuk pemerintahan.

Baca Juga  Perkembangan Terbaru, Terkait Hilang Kontaknya Kapal Selam Nanggala di Wilayah Perairan Bali Utara

Sayembara Kuntul Wilanten adalah sebuah naskah klasik karya Kanjeng Pangeran Kusumadilaga. Beliau adalah seorang Mpu pedalangan kasunanan Surakarta yang namanya tidak asing lagi bagi para pengkaji sastra wayang Jawa. Naskah tersebut dikoleksi oleh Pigeaud di Surakarta pada tahun 1933. Disebutkan bawah naskah tersebut hasil salinan seorang carik bernama Lagutama yang selesai disalin pada 30 Agustus 1933.

Pokok cerita Sayembara Kuntul Wilanten sebenarnya sederhana, namun pesan yang dibawa masih kontekstual dengan kondisi bangsa saat ini. Diceritakan suatu hari Raja Gendhing Kapitu yang memiliki anak bernama Kuntul Wilanten sedang berhadapan serius membahas kemauan putrinya yang belum juga mau menikah. Padahal Putri tersebut sudah dewasa dan sudah banyak para raja yang melamarnya.

Menurut para cerdik pandai bahwa Kuntul Wilanten itu memiliki keistimewaan.  Barang siapa bisa menikahinya, maka semua cita-citanya akan tercapai dan apabila akan menghadapi Perang besar, maka pasti bisa memenangkan pertarungan tersebut.

Hal tersebut kemudian didengar oleh para Kurawa dan Pandawa. Kelompok yang selalu bermusuhan itu memang sudah sesuai dengan takdir para jawata seperti yang tertulis dalam Kitab Jitabsara, bahwa suatu saat mereka akan menghadapi Perang Baratayuda Jayabinangun. Iming-iming untuk menang  ini tentu menjadi daya tarik yang sangat besar karena tentu saja setiap orang itu ingin untuk mendapatkan kesuksesan dalam segala hal.

Pada saat yang ditentukan, para raja dan para satria datang di negeri Gending Kapitu untuk mengikuti sayembara tersebut. Raja dan satriya tersebut antara lain: Prabu Kresna, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Durna, Arya Sengkuni, Duryodana, Dursasana, dan lain-lainnya. Setelah semua berkumpul di hadapan Raja Gending Kapitu beserta permaisuri dan putrinya, sang raja lalu memerintahkan putrinya untuk memilih salah satu di antara mereka, yang berkenan di hatinya.

Baca Juga  Alhamdulillah, Luaran DKPM 2025: “Duplikasi Wayang Beber Tawangalun Donorojo” Siap Diperkenalkan ke Publik

“Segeralah pilih di antara para satria pilih tandhing ini wahai anaku Kuntul Wilanten,!” kata Raja Gendhing Kapitu.

“Enjih Rama. Tetapi ijinkanlah saya memasuki gua garba para satria ini untuk melihat ketulusan hatinya,” pinta Kuntul Wilanten.  Permintaan itu dikabulkan dan para satria diminta mempersiapkan diri agar Kuntul Wilanten masuk ke gua garba masing-masing.

Yang pertama-tama kesempatan untuk dimasuki Kuntul wilanten adalah Prabu Duryudana. Betapa kaget putri cantik itu ketika masuk ke gua garba Duryudana. Tampak gua garba tampak merah membara. Terasa panas dan tidak ada kedamaian sedikitpun.

“Saya tidak kuat di gua garba Prabu Duryudana. Di dalamnya terasa panas dan merah membara, ini pasti tanda satria yang culas, penuh iri, dengki, dan pemarah,”katanya sambil terbirit-birit.

Selanjutnya, Kuntul Wilanten masuk ke dalam gua garba Arjuna. Gua garba Arjuna berwarna kuning, agak sesak, dan bergeronjal tidak rata. “Ini adalah gua garba seorang satria yang sebenarnya baik, tetapi mudah patah hati, memiliki rasa iri, dan sedikit sombong,” kata Kuntul Wilanten.

“Maaf satria Arjuna, meskipun Anda tampan, saya tidak bisa menerima paduka,” kata Kuntul Wilanten sambil pelan-pelan keluar dari gua garba Arjuna.   Ternyata tidak ada satupun satria yang memenuhi kriteria Dewi Kuntul Wilanten. Para satria itu merasa kecewa bahkan beberapa diantaranya siap mengobrak-abrik kerajaan karena dianggap sayembara ini hanyalah akal-akalan. Tapi ada satu satria yang belum dimasuki gua garba  oleh Dewi Kuntul Wilanten. Dia adalah Yudhistira.

Baca Juga  Indrata Nur Bayuaji Kembali Pimpin Pacitan, Sertijab Digelar di Pendopo Kabupaten

“Angger Yudhistira, silakan segera sumadya biar anaku Dewi Kuntul Wilanten dapat masuk ke gua garbamu,” kata Raja Gendhing Kapitu.

“Inggih Kanjeng Rama, ” jawab Yudhistira.

Perlahan-lahan Kuntul Wilanten segera memasuki gua garba Yudistira. Ketika dia masuk yang tampak adalah dunia yang putih bersih tidak ada satu titik hitam pun. Di dalamnya suasananya adem, ayem, tentrem, dan membahagiakan.

“Aduh Rama saya merasa cocok di dalam gua garba ini. Saya akan manjing ke dalam diri Prabu Yudhistira,” kata Kuntul Wilanten dari dalam gua garba.

“Iya ngger cah ayu, kamu keluarlah dulu biar saya  pahargya sebagai pengantin,” kata Prabu Gendhing Kapitu.

Tidak perlu wahai Ramanda, karena sesuai pituduh Dewata saya harus manjing ke dalam diri ini karena diri ini adalah diri yang putih bersih suci dan tidak ada rasa iri dan dengki. Diri ini adalah diri yang berdarah putih simbol dari jiwa mutmainah.

Melihat peristiwa yang terjadi, para Kurawa merasa sakit hati karena telah gagal dalam merebut Kuntul Wilanten. Mereka mau mengamuk dan menghancurkan negara. Tapi untunglah Bima segera waspada kurawa yang mengamuk itu segera diusir dan Pandawa memanjatkan puji syukur atas anugerah dewata berupa Wahyu Kuntul Wilanten.

Demikian sedikit kisah tentang Sayembara Kuntul Wilanten. Sementara sanggit dalang ada yang menafsirkan bahwa Kuntul Wilanten ini nantinya menjelma sebagai jimat Kalimasada.

Cerita ini termasuk lakon wahyu karena sesungguhnya wanita cantik itu adalah wahyu yang siap manjing ke dalam diri para pemimpin yang berhati bijaksana.

TANCEP KAYON.