Review Pertunjukan Wayang Orang RRI Surakarta “Kumbakarna Madeg Senapati Gugur Membela Nusa Bangsa”

Review Pertunjukan Wayang Orang RRI Surakarta “Kumbakarna Madeg Senapati Gugur Membela Nusa Bangsa”
SHARE

Oleh:  Prof. Dr. Bani sudardi, M.Hum. (*)

(*) Guru besar Fakultas Imu Budaya, Universitas Sebelas Maret.

Selasa 12 Agustus 2025 malam, suasana kota Solo hujan rintik-rintik sehingga sangat nyaman kalau tiduran di peraduan. Namun tidak demikian dengan para peminat budaya yang malam ini akan menonton pertunjukan pentas wayang orang Auditorium Sarsito Mangunkusumo, RRI Surakarta. Meskipun suasananya hujan rintik-rintik, ternyata di dalam auditorium sudah hadir banyak orang yang akan menonton pertunjukan wayang orang tersebut.

Ternyata penonton adalah peminat dari berbagai kota seperti Karanganyar Sukoharjo Klaten. Di samping itu, ada juga hadirin dari luar kota seperti Jakarta yang serombongan khusus untuk dapat melihat pertunjukan wayang orang. Hal itu menunjukkan bahwa pertunjukan wayang orang RRI Surakarta sudah mendapat tempat di hati masyarakat luas.

Pertunjukan dimulai jam 20.00. Sebagai pembukaan, tampak Dasamuka sedang siniwaka dihadap segenap para punggawa. Diceritakan bahwa alangkah di Raja kerajaan Dasamuka saat ini sedang berkurang melawan sri Rama dengan membawa bala tentara berupa riwanda  (monyet). Sudah dua orang yang gugur di medan laga, yaitu Patih Prahasta dan Dewi Sarpanaka. Secara umum pertunjukan tersebut berlangsung dengan sangat baik, didukung oleh videotron yang megah.

Karena sudah ada dua orang punggawa  keluarga raja yang gugur sia-sia di medan laga, seorang abdi dalem mengusulkan agar Dewi Sinta segera dikembalikan supaya perang itu tidak berkelanjutan. Dasamuka menjadi merah pada mukanya dan tidak mau menuruti nasihat yang baik tersebut. Secara umum perwujudan perlu berlangsung sangat bagus dengan didukung tata panggung dan kerabat kerawitan yang mahir di bidangnya.

Baca Juga  PBSI STKIP PGRI Pacitan, Selenggarakan Seminar Nasional Peringati Hari Pendidikan Nasional

Dalang dapat menambah suasana sehingga menjadi makin menggigit, khususnya pada adegan-adegan sedih berair mata. Namun demikian, ada beberapa hal yang memerlukan pembenahan untuk meningkatkan pertunjukan di masa datang.

Pertunjukan tersebut  diberi judul lakon Dharma Pati Brata. Judul lakon tersebut kurang tepat karena yang dimaksud Dharma Pati Brata itu adalah perbuatan Dewi Sinta dalam menjaga kesucian ketika dalam sekapan Dasamuka. Dalam ajaran Hindu ada ajaran tentang kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Nah, kesetiaan tersebut disebut sebagai Dharma Pati Brata.

Bani Sudardi menjelaskan, judul perlu dipermudah pemahamannya karena konsumsi pertunjukan ini adalah untuk masyarakat awam. Pertunjukan tersebut dapat diberi judul sesuai sudut pandang dan maksud tujuan pementasan. Kalau tujuannya sekedar menghibur, menciptakan pertunjukan yang dahsyat maka pertunjukan itu dapat diberi judul misalnya Kumbakarna Lena, Kumbakarna Gugur.

Judul seperti itu bertujuan untuk menciptakan efek dahsyat karena yang tergambar adalah sebuah pertempuran yang tentu saja dengan korban yang sudah jelas yaitu Kumbakarna. Judul yang lebih mengerikan lagi misalnya Kumbakarna Juing.

Hal ini dikarenakan karena dalam serat Ramayana karangan Yasadipura, Kurbakarna mengalami kekalahan dengan dijuing-juing (dihancurkan). Telinga, hidung, dan muka hancur oleh Sugriwa, tangan kaki dan kepala terpotong akibat panah Rama dan Lesmana.

Kalau yang dimaksud adalah untuk mengangkat nilai kepahlawanan maka ada beberapa judul yang sangat bagus misalnya “Kumbakarna Madeg Senapati” dan “Kumbakarna Bela Nagara”.

Adegan permisahan Kumbakara dengan Dewi Aswani sudah digarap dengan bagus. Akan sangat bagus lagi kalau acara tersebut diwujudkan dengan suluk sendon dan tembang tlutur. Hal ini untuk mendukung suasana sedih dan perpisahan.

Baca Juga  Sarasehan IKA Historia: Perkuat Sinergi Alumni Sejarah dan KAFIB UNS

Agaknya lakon Ini adalah sebuah lakon yang telah mengalami sakit dari ki Dalang, dalam naskah serat Ramayana Karya Yasadipura, cerita yang sebenarnya adalah Kumbokarna itu diminta datang ke Alengka setelah dia pergi tidur dan Peleburan Gangsa. Dasamuka sudah menyiapkan makanan dan hal itu dimakan dengan lahap oleh kubah karena. Namun setelah Dasamuka mau ke meminta Kumbakarna untuk menjadi senapati akibat   Senapati alengka sudah tewas.

Kumbakarna menjadi marah dan memuntahkan kembali semua makanan yang sudah dimakannya dalam keadaan utuh. Kumbakarna bersedia menjadi senapati tetapi tidak untuk membela Dasamuka, melainkan untuk mempertahankan negara.

Pertemuan Kumbakarna adan Wibisana ketika mau berperang dengan para kera adalah sebuah moment yang sangat bagus apabila digarap dan didramatisis. Moment tersebut adalah terjadinya

Interpretasi baru tentang makna perjuangan. Wibisana berjuang dengan menyeberang ke sri Rama mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk penghianatan. Namun demikian, Wibisana sebenarnya mengikuti kata hati untuk berdekat-dekat dengan kebenaran.

Sementara itu,  Kumbokarna beranggapan bahwa tindakan yang membela tanah airnya yang sekaligus juga membela kakaknya yang angkara murka adalah sebuah tindakan yang benar. Bapaknya dalam tradisi Jawa, kumbakarna ini tidak pada kondisi yang benar. Karena itu ada sebuah carangan bahwa roh Kumbakarna ini akhirnya tidak bisa kembali ke swargaloka lalu mengembara karena tidak mendapatkan tempat yang sesuai.

Akhirnya, roh Kumbakarna ini bertemu dengan Bima dan menitis ke dalam diri Bima. Interpretasi baru tentang makna perjuangan. Wibisana berjuang dengan menyeberang ke Sri Rama mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk penghianatan. Namun demikian, Wibisana sebenarnya mengikuti kata hati untuk berdekat-dekat dengan kebenaran. Sementara itu,  Kumbokarna beranggapan bahwa tindakan yang membela tanah airnya yang sekaligus juga membela kakaknya yang angkara murka adalah sebuah tindakan yang benar.

Baca Juga  Presiden Jokowi Tidak Hadiri Kampanye Prabowo-Gibran di GBK

Tampaknya dalam tradisi Jawa, Kumbakarna ini tidak pada kondisi yang benar. Karena itu ada sebuah carangan bahwa roh Kumbakarna ini akhirnya tidak bisa kembali ke swargaloka lalu mengembara karena tidak mendapatkan tempat yang sesuai. Akhirnya, rohKubakarna ini bertemu dengan Bima dan menitis ke dalam diri Bima. Sanggit baru jiwa ksatria Kumbakarna tidak akan lenyap. Jiwaku akan bersama orang-orang yang mencintai tanah air. Dalam lakon carangan, Kumbakarna ini memang kemudian menitis di dalam badan  Bima.

Serat Tripama mendudukan Kumbakarna sebagai salah satu teladan. Karya ini perlu disuarakan untuk mendudukan Kumbakarna dalam konteks pembela tanah air.

Berikut cuplikan serat tersebut:

Wonten malih tuladhan prayogi,

satriya gung nagari Ngalengka,

sang Kumbakarna namane,

tur iku warna diyu,

suprandene nggayuh utami,

duk awit prang Ngalengka,

dennya darbe atur,

mring raka amrih raharja,

Dasamuka tan keguh ing atur yekti,

de mung mungsuh wanara.

Demikian sedikit ulasan mengenai sebuah pementasan wayang orang di RRI Surakarta. Hadirnya wayang orang secara gratis di RRI ini sungguh merupakan suatu peluang yang sangat bagus untuk mengangkat seni tradisi ke tempat yang terhormat.