Srumbung Mojo: Jejak Cinta dan Darah Putih di Punung
Oleh: Dr. Agoes Hendriyanto, M.Pd (*)
(*) Dosen, Praktisi dan Peneliti Komunitas Pengembangan Budaya Pacitan
Di tengah perbukitan batu kapur Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, berdiri sebuah situs yang sarat makna dan legenda — Srumbung Mojo. Tempat ini bukan sekadar kawasan ritual, melainkan ruang spiritual yang menyimpan kisah tentang cinta, kesetiaan, dan keajaiban yang diwariskan lintas generasi.
Kisah bermula dari pertemuan antara Kyai Santri, seorang guru spiritual dan seniman gender, dengan Dewi Ratri, murid sekaligus istri seorang bangsawan. Di bawah rimbunnya pohon mojo, mereka kerap berlatih memainkan alat musik tradisional, hingga terdengar harmoni lembut yang memikat siapa pun yang lewat. Namun, kedekatan itu menimbulkan kecurigaan.
Kabar hubungan mereka menyebar cepat, hingga sampai ke telinga suami Dewi Ratri. Dalam amarah yang membara, sang suami menuduh Kyai Santri berselingkuh dan menyerangnya. Di hadapan maut, Kyai Santri sempat bersumpah,
“Jika darahku putih, maka aku tak bersalah.”
Keajaiban pun terjadi. Saat tubuhnya rebah di tanah, darah yang keluar berwarna putih bersih, seolah menegaskan kesucian jiwanya. Menyaksikan itu, sang suami menyesal. Jasad Kyai Santri kemudian dimakamkan di tempat yang kini dikenal sebagai Srumbung Mojo.
Hingga kini, setiap menjelang bulan Ruwah, masyarakat Punung menggelar ritual nyadran di Srumbung Mojo. Mereka membawa sesaji, membacakan doa, dan mengenang sang Kyai dengan khidmat. Tradisi ini dipercaya sebagai bentuk penghormatan atas kebenaran dan ketulusan hati.
Bagi masyarakat Punung, Srumbung Mojo bukan sekadar tempat sakral. Ia adalah penanda sejarah spiritual masyarakat Pacitan — tempat di mana kebenaran mengalahkan fitnah, dan kesetiaan abadi meski raganya telah tiada.
Srumbung Mojo adalah simbol ketulusan. Kami datang ke sini bukan sekadar berziarah, tapi untuk belajar makna keikhlasan.
Kini, di era modern, kisah ini terus hidup melalui cerita rakyat, buku budaya, dan wisata spiritual. Srumbung Mojo menjadi bukti bahwa legenda tidak hanya tinggal di masa lalu — ia hidup di antara doa, keyakinan, dan kebanggaan masyarakat Pacitan.
Malah sekarang ini nilai kesucian yang merupakan sesuatu yang esensi dalam hidup berumahtangga, terkadang kalah dengan substansi fisik. Oleh sebab itu manusia harus selalu berusaha untuk menjadikan segala pengalaman dan pengetahuan dijadikan salah satu acuan sebeum menambil keputusan penting.
Semoga kita semua senantiasa mendapatkan perlindungan dan keridhoan dari Allah SWT. Amiin YRA.
