Senja Di Tapal Batas Harapan
Prabangkaranews.com- Namaku Radeva Rasyafa aku adalah gadis sebatang kara. Umurku sudah menginjak 17 tahun, tetapi aku belum mengetahui siapa diriku dan apa tujuan hidupku. Semuanya telah hancur semenjak aka kehilangan mereka, orang-orang yang aku sayangi. Semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuaku aku menjadi orang yang tak tahu arah, tidak tahu sebenarnya hidupku ini untuk apa. Cita-citaku telah hilang, semua yang aku rencanakan sudah hancur. Semuanya telah pergi, semuanya telah meninggalkan aku sendirian didunia ini.
Aku merindukan mereka orang tuaku, keluargaku, dan semua kenanganku bersama orang tuaku. Aku tahu apa yang aku lakukan ini tidak benar, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa, karna aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi.
Mungkin hanya kenangan yang tinggal bersamaku saat ini. Yang selalu bersemayan didalam benakku yang menemaniku disaat aku benar-benar terpuruk. Sekarang aku sudah kelas 12 di salah satu SMA swasta di Bandung. Di sana aku mulai menemukan kepingan tujuan hidupku yang selama ini telah hancur dan hilang. Mereka bersemayam dibalik indanya senja dan eksotisnya pramuka.
Hari ini adalah hari pertama kemah penerimaan tamu ambalan di SMA ku. Di dalam acara ini aku sebagai panitia penyelenggara. Jabatanku adalah jabatan yang paling dibenci dan yang yang paling dihindari yaitu bendahara. Teman-temanku mengataiku sebagai emak-emak rempong, walaupun kenyataannya tidak, dan itu bukan salah satu dari daftar sifatku. Sebenarnya aku tidak mau berada di jabatan ini tapi harus bagaimana lagi, aku tidak puya pilihan lain. Jadi, mau tidak mau aku harus berdamai dengan keadaan bagaimanapun caranya.
Setiap rapat menuju agenda berikutnya aku selalu dikomplain karena terlalu sering cerewet minta nota, minta catatan pengeluaran ini itu dan masih banyak lagi.”Teman-teman rapat kali ini akan saya akhiri mungkin dari seksi acara,sekertaris maupun bendahara mau menambahkan, silahkan, ” kata Farel selaku ketua panitia.
Sekretaris pun menambahkan, “ kami dari sekertaris hanya akan memberitahu bahwa denah caraka malam sudah bisa diambil, pengambilan bisa dilakukan di tenda sekretariat, semua anggota menganggukkan kepala dan berkata “oke sip” tak lupa aku juga mengingatkan teman-teman. Kami dari bendahara juga ingin menyampaikan bahwa hal-hal yang diperlukan dalam caraka malam yang ada hubungannya dengan uang silahkan menghubungi kami serta bagi panitia yang belum mengumpulkan nota maupun bukti transaksi yang lain segera dikumpulkan”.
Setelah aku menyampaikan informasi tersebut teman-teman langsung menghujaniku dengan berbagai komplain. Aku hanya diam dan menanggapinya dengan senyuman. Setelah rapat selesai aku memutuskan untuk ke tenda panitia.
Di tenda panitia ada tempat untuk melihat sunset. Tempatnya kecil kira-kira luasnya hanya satu meter. Aku hanya pasrah karena dalam rapat terakhir kali aku adalah panitia yang paling banyak mendapat komplain tidak lain karena disebabkan oleh jabatanku. Rasanya sangat melelahkan. Akhirnya dengan keadaan sore yang masih cerah dan langit yang sudah mulai menampakkan sinar jingganya,aku memutuskan untuk mengistirahatkan fisik dan batinku. Mungkin hal yang aku lakukan ini tidaklah benar karena teman-temanku masih menyiapkan semua peralatan untuk caraka malam. Aku hanya meminta maaf dalam hati kepada teman-temanku.
Aku duduk sambil menikmati senja. Dalam sekejap ingatanku kembali kemasa di mana aku, ayah dan bunda pergi ke pantai untuk mencari senja. Kata ayah, “senja itu adalah perpisahan sedangkan kata bunda senja itu adalah harapan. Aku meneteskan air mata karena mengingat betapa aku sangat merindukan mereka. Dulu ketika kami melihat senja ayah dan bunda selalu berdo’a”.
Aku tak tahu apa tujuannya,” Kata bunda itu adalah rasa syukur kita agar kita selalu mengingat sang kuasa dan semoga dipenghujung hari kita tetaplah diri kita. Waktu itu ayah juga mengajariku membuat harapan untuk esok hari melalui pesawat terbang. Kata ayah harapan yang kita punya itu kadang bisa terwujud kadang juga tidak. Maka dari itu ayah selalu menyuruhku untuk menulis harapanku di pesawat lalu diterbangkan. Seandainya harapan itu tidak berpihak pada kita setidaknya harapan itu bisa berpihak kepada orang yang menemukan harapan kita. Ayah dan bunda juga mengajariku jangan pernah menuliskan harapan yang bisa merugikan orang lain maka itu nanti akan menjadi bumerang bagi kita.”
Setelah sekian lama aku melamun tiba-tiba ada orang yang mengagetkanku.” Doorr” aku kaget lalu aku menoleh” siapa itu?”. Orang itu hanya tersenyum kikuk pada sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,” maaf aku kira tadi kau siapa kata orang itu. “ oh tidak masalah”. Ternyata orang yang mengagetkanku adalah Farel, ketua panitia dalam kemah ini. Dia tiba-tiba tersenyum padaku, entah mengapa aku merasa bahwa senyumnya bukanlah senyum kebahagiaan tetapi senyum yang menyakitkan. Terukir sebuah luka dalam sorot matanya, dan kamipun diam untuk beberapa saat. Dalam keheningan hanya terdengar deru nafas kami, kami terhanyut dengan pemikiran masing-masing. Tiba-tiba pundakku terasa berat dan akupun menoleh ternyata Farel pingsan dan dari hidungnya keluar darah. Aku menangis sejadi-jadinya karena aku tidak bisa melakukan apapun.
Aku trauma dengan darah sejak aku masih kecil, lalu ditambah kecelakaan beberapa tahun silam yang merenggut nyawa orang tuaku. Tak lama kemudian teman-temanku menghampiriku dan Farel, mereka kaget karena hanya aku dan Farel yang ada di tempat itu. Mereka juga sempat bertanya tapi aku tak bisa menggerakkan mulutku, pikiranku kacau dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Aku merasa hidungku panas dan tercium bau minyak kayu putih, lalu mataku mengerjap-ngerjap. Aku kaget bagaimana bisa aku ada di tenda kesehatan, padahal tadi aku masih melihat senja dengan Farel. Astaga, Farel bukankah dia tadi sempat pingsan dan aku menangis karena trauma dengan darah.
Setelah aku benar-benar sadar Vera langsung menyuruhku minum “ Radev minum dulu” aku pun hanya mengangguk dan minum. Lalu Vera bertanya lagi padaku” Radev ngapain kamu ditempat itu sama Farel?” ada sorot curiga dalam mata vera, aku hanya menghembuskan nafas lalu menjawab ” aku tadi lelah Ver dan aku istirahat disana lalu ada suara yang mengagetkanku, ternyata itu Farel selama disana kami hanya diam tiba-tiba Farel pingsan dan mimisan hanya itu saja”. Aku melihat ada raut kelegaan dari wajah vera.
Farel, ia masih tertidur di bankar ruang kesehatan. Aku merasa iba, dia terlihat berbeda dari biasanya. Yang ku tahu dia adalah orang yang kuat, selalu disegani dan tidak ada seorangpun disekolahku yang berani menentang keputusannya. Tapi sore tadi aku melihat sisi yang berbeda dari seorang Farel Alfaro. Aku bertanya pada vera” Ver apa Farel belum siuman?” Vera menjawab “ sudah dia hanya tidur sebentar” aku pun hanya ber oh ria.
Entah mengapa hatiku merasa sakit dan ikut merasakan apa yang dirasakan Farel. Ketika kurasa tubuhku sudah mulai membaik aku keluar dari ruang kesehatan. Berhubung hari sudah gelap aku bergabung dengan panitia lain untuk mempersiapkan acara caraka malam. Ketika aku bergabung mereka sudah mengadakan diskusi kecil yang dipimpin oleh Rendi. “ Teman-teman semua peralatan sudah lengkap, tapi untuk jalurnya kami belum melakukan cek ulang. Kalau ada yang longgar silahkan membantu kami” lalu Rena menambahkan “ oh iya satu lagi dalam cek terakhir ini saya harap semua panitia membawa senter atau obor mengingat hari semakin gelap sekian hanya itu yang saya sampaikan”. Rendi menutup diskusi ini dengan berdo’a menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Aku bersama panitia lain berjalan menelusuri jalur caraka untuk memastikan keamanan disekitar jalur caraka.
Tanpa kusadari aku berjalan sendiri aku kira tadi aku pergi bersama vera, tapi nyatanya hanya aku sendiri. Aku bingung harus berbuat apa karena aku tidak membawa apapun. Akhirnya kuputuskan untuk kembali kejalur yang kulalui tadi, namun aku malah semakin jauh dari lokasi perkemahan. Tiba-tiba ada suara dibelakangku dan akupun berteriak “aaaaaakkkk” aku kira suara itu adalah suara hantu, tapi untung saja itu hanya suara Farel.
“Apa yang kau lakukan disini ha?” dari ekspresi wajahnya ia sangat khawatir. “aku kesasar , kukira tadi bersama Vera ternyata tidak” jawabku lemah. Farel pun marah “apa kau manusia yang tidak peka?” aku bingung “apa maksudmu?” dia berdecak kesal dan nada bicaranya naik satu oktaf “apa kau tak pernah mengamati sekelilingmu? Apa kau seceroboh ini ha?” aku tersenyum mendengar apa yang dikatakan Farel “Radeva apa kau sudah gila? Apa yang lucu?” dia masih menaikkan oktaf suaranya.
“Hanya saja ada yang berbeda darimu” , kau terkenal cuek, dingin dan bijaksana. Tapi barusan aku menemukan hal lain darimu”. Farel bingung “apa yang kau temukan?” aku tersenyum lalu menjawab “kau maksudku sifatmu, tidak beda jauh dengan emak-emak rempong”.
Seketika dia mau marah tapi dengan cepat kualihkan, baiklah Farel ini sudah malam mari kembali ke tenda perkemahan. Aku berjalan mendahuluinya padahal aku tidak tahu jalan ke perkemahan.
Tanpa kusadari ternyata dari belakang Farel memperhatikanku. Karena kecerobohanku aku menginjak lubang dan jadilah aku tersungkur dijalan dan tawa arel pecah. “ hahahahaha, Radev apa itu kau? Gadis ceroboh yang kupercayai sebagai bendahara di kegiatan ini?” Aku hanya diam dan menahan amarah wajahku merah padam. Tapi lama-kelamaan tubuhku terasa lemas dan aku menangis. “Radeva apa kau baik-baik saja?” Farel berlari kecil kearahku. Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu aku berdiri dibantu Farel ia juga membantuku berjalan.
Ketika sampai di perkemahan ternyata Vera sudah menungguku dan ia terlihat sangat khawatir padaku. Aku langsung ditangani oleh PMR. Tanpa menunggu apapun aku langsung terlelap. Esok hari sesudah sholat subuh berjamaah aku mendengar ada suara anak menangis, dengan spontan aku langsung menuju ke tenda peserta.
Awalnya aku kaget karena ada 3 anak yang tersungkur ditanah. Tanpa menunggu aba-aba aku langsung menolong mereka. Akupun menanyakan kejadiannya kepada salah satu dari mereka “ dek, tadi kalian kok bisa jatuh bareng itu kenapa?” salah seorang adik kelas itu menjawab “ jadi begini kak tadi Rasti itu kan sakit terus di tenda hanya ada aku Naya berhubung tubuh kami kecil kami tidak kuat menopang tubuh Rasti”. Aku bernafas lega “ syukurlah aku kira kalian bertiga sakit barengan gitu” mereka pun hanya menggelengkan kepala dan tersenyum .
Hari ini waktu berlalu begitu cepat, jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku bergegas mempersiapkan pensi dan api unggun untuk nanti malam. Karena kami masih kekurangan beberapa kayu akhirnya kuputuskan untuk mengambilnya disamping tenda panitia, tak sengaja dipertengahan jalan aku bertemu dengan Farel ia pun mengajakku ke tempat itu. Tempat yang pernah kami singgahi berdua untuk melihat indahnya senja. Awalnya aku sempat berontak tetapi, karena kulihat wajahnya sedang muram akupun langsung menurut saja.
Kamipun tiba, ” Radev boleh aku bercerita?” tanyanya “ silahkan Farel, apa yang ingin kau ceritakan?” dia menghembuskan nafas perlahan “apa yang kau tahu tentang aku?” aku berpikir sebentar karena aku tidak terlalu mengenalnya “hm, kau bijaksana,cerdas,cuek, dingin, dan mendominasi”. “apa kau percaya kalau aku orang yang lemah?” aku sedikit terhenyak “apa maksudmu? Menurutku tidak. Kau kuat”.
Dia tersenyum sekilas “apa kau benar-benar mau mendengar ceritaku?”. Aku hanya mengangguk sembari berkata “iya”. Farel memulai ceritanya “dulu aku pernah memiliki seorang kekasih.” Aku kaget dengan pernyataannya “apa? Bukankah sekarang kau masih 17 tahun, wah jangan-jangan kau mesum ya?” tuduhku “ hei kalau ngomong jangan sembarangan ya”. Dia tidak terima terhadap pernyataanku “ baiklah Farel lanjutkan ceritamu”.
Dia mencebik kesal “ kau jangan memotong pembicaraanku” hanya kuangguki saja apa yang dikatakan Farel, karena aku asyik memperhatikan senja yang sebentar lagi akan menghilang dan semilirnya angin yang menembus kulitku. “Aku mempunyai kekasih mulai dari kelas satu SMP namanya Fara, dia gadis yang pendiam, pintar, dan ramah. Aku mengaguminya dan akhirnya kunyatakan perasaanku padanya, dia tidak pernah bilang bahwa ia menerimaku. Tapi dari sorot matanya aku tahu dia membalas perasaanku.
Pada suatu sore aku mengajaknya ke pantai menikmati indahnya senja, disana kami bercanda lalu ia terdiam. Aku bertanya padanya apa ia baik-baik saja ia hanya mengangguk”. Belum habis cerita Farel sudah mulai menangis, “Farel tenanglah kalau kau belum siap cerita jangan kau paksakan. Farel tidak menghiraukanku dia mulai bercerita lagi. “
Fara bilang kalau aku mendengar ceritanya jangan pernah kaget, aku hanya mengiyakan dia memberitahuku,” bahwa ia mengidap kanker hati stadium 4 aku terdiam sambil mencerna kata-katanya tak selang beberapa lama ia pingsan, lalu aku berteriak minta tolong untung saja ia mengajak orang tuanya sehingga mereka langsung ke arahku waktu itu.”
Farel menyeka air matanya, “ketika dicek ternyata Fara sudah tidak bernafas lagi dan yang membuatku tak bisa melupakannya, dia meninggal dipangkuanku”. Lalu Farel menangis, “curahkan semua apa yang kau pendam Rel, jangan ditahan.” Farel pun menyeka air matanya dan tersenyum “apa kau juga menangis Radev?” aku terkejut dan menghapus air mataku “tidak aku hanya kelilipan” dia tersenyum jail “oh, jadi sekarang kalau kelilipan itu matanya sampai bengkak ya?” katanya yang sedikit menggoda.
Aku malu mengakuinya aku hanya menunduk, tapi mengapa air mataku tak kunjung berhenti padahal aku sudah menyekanya berkali-kali. Seakan ada yang ganjil dari sikapku, Farel bertanya “apa kau baik-baik saja Radev?” aku yang semulanya hanya menunduk spontan menoleh “hm, apa aku harus menjawabnya?” aku malah balik bertanya yang membuatnya merasa tak enak kepadaku “maaf kalau ceritaku mengingatkanmu dengan masa lalumu” aku tersenyum “tidak, aku malah berterimakasih. Farel.. bagaimana rasanya masih memiliki orang tua?” dalam keterdiamannya Farel pun terhenyak “apa maksudmu Radev?” aku mengulang pertanyaan ku “bagaimana rasanya masih memiliki orang tua? Apa kau merasa nyaman? Apa kau setiap hari selalu bahagia?” Farel pun menjawab dengan dengan tenang “tentu saja hari-hariku selalu bahagia dan aku selalu merasa nyaman, ada apa kau bertanya seperti itu?” aku tersenyum getir “aku hanya ingin menanyakannya saja”. Hening, itulah kata yang mewakili kala senja sore itu.
Tak lama kemudian Farel membuka pembicaraan “Radev, apa kau merindukan orang tuamu?” aku hampir menangis tapi aku tahan “iya aku sangat meindukan ayah dan bunda” Farel hanya menganggukkan kepala “mengapa kau tak mengabari mereka?
Bukankah panitia diperbolehkan membawa handphone selama perkemahan ini?” seketika senyumku hilang “kami sudah berbeda alam” raut keterkejutan pun muncul diwajah Farel “astaga.. maafkan aku Radev aku tidak tahu” aku hanya mengangguk dan tersenyum entah mengapa setelah mengatakan hal ini aku langsung merasa lega. “ oh iya Radev kau boleh menganggap orang tuaku sebagai orang tuamu juga, mamaku sebenarnya sangat menginginkan anak perempuan tapi sayangnya tuhan tidak pernah menitipkan seorang anak perempuan kepada mama” aku tersentuh dengan pernyataan Farel barusan “terimakasih Farel kau tak perlu merasa bersalah padaku” dia tersenyum lembut “aku tidak merasa bersalah aku mengatakan yang sebenarnya, kalau kau mau kau juga bisa memiliku” dahiku berkerut “apa maksudmu?”
Farel sedang memainkan senyum liciknya “sepertinya kau menginginkan orang tuaku dan juga aku. Aku adalah laki-laki terpeka yang pernah kau temui” aku yang mendengar omong kosong farel langsung geram “kau!!! dimana letak otak mu Farel, pantaskah seorang Farel Alfaro berkata seperti itu?” aku mulai memukul lengannya karena tak terima dengan apa yang dikatakannya “baiklah Radev aku salah, tapi aku berhasil kau sudah kembali Radev seperti yang kukenal sebelumnya”.
Akhirnya sore itu menjadi sore yang baru bagiku. Aku dan Farel bercerita tenang hal pribadi, sekolah dan pengalaman tak lupa canda tawa mengiringi sore yang indah itu. Aku mulai berdamai dengan masa laluku begitu juga dengan Farel. Dengan kehadiran senja yang indah dan moment pramuka yang menyenangkan, aku merasa bebanku berkurang dan perjuanganku harus dilanjutkan.
Senja kau indah tapi sayang aku tak dapat menjadikanmu milikku kau milik semua orang. Aku tak dapat mengatakan kepada semua orang bahwa aku satu-satunya pemilikmu. Aku hanya bisa menemanimu setiap sore untuk menyaksikan keindahanmu. Aku selalu menunggumu tak peduli kau kan datang lagi atau kau akan tetap diam dipersembunyianmu. Dan pramuka dibawah langit senja ini kau bersaksi bahwa aku sudah berhasil berdamai dengan masa laluku dan menemukan kepingan hidupku yang sudah hancur.