Hijrah Dunia Muslim Menuju Demokrasi atau Kebebasan ?

Hijrah Dunia Muslim Menuju Demokrasi atau Kebebasan ?
SHARE

HIJRAH DUNIA MUSLIM MENUJU DEMOKRASI ATAU KEBEBASAN ?

Oleh Anick HT

Salah satu pertanyaan yang memiliki sejarah panjang tak berkesudahan di kalangan kaum intelektual muslim adalah: apakah demokrasi berkesesuaian dengan Islam?

Polemik berkepanjangan menyertai pertanyaan ini. Di satu sisi, banyak intelektual menyimpulkan betapa jauhnya perbedaan demokrasi dengan Islam. Islam bersandar pada kedaulatan Tuhan, sementara demokrasi bersandar pada kedaulatan rakyat.

Di sisi yang lain, banyak pula intelektual yang berkesimpulan, pada dasarnya prinsip-prinsip Islam sejalan dengan demokrasi, dan untuk itu Islam versus demokrasi tidak layak dipertentangkan.

Buku Denny JA ini dimulai dengan pernyataan provokatif bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sia-sia belaka. Pertanyaan ini tak akan memberi kepastian apa pun karena beragamnya interpretasi.

Apalagi kita pun membaca sejarah. Apa yang terjadi pada dunia nyata bukan semata produk sebuah interpretasi agama, tapi juga hasil pertarungan nyata kekuatan sosial, politik dan ekonomi.

Dan Denny JA juga menyediakan jawaban atas pernyataan itu. Bahwa gelombang peradaban besar akan bekerja lebih kuat dari rezim manapun. Gelombang itu akan membawa 50 negara muslim menuju pilihan demokrasi dan kebebasan. Dan Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia yang sangat layak menjadi model.

Namun, untuk menuju ke pilihan demokrasi dan kebebasan itu, negara muslim perlu terminal awal mengingat rute yang akan ditempuh agak jauh. Terminal awal itu adalah apa yang disebut sebagai illiberal democracy.

Ini mengandaikan, kita tidak bisa berasumsi bahwa negara-negara muslim itu akan langsung menerapkan demokrasi seutuhnya (yang dalam definisi Denny JA adalah demokrasi liberal). Perlu tahapan-tahapan yang bisa jadi panjang.

Namun, sejarah akan menuju ke sana. Dan harus menuju ke sana.

Lima Gagasan Utama Buku

1. DI MANAKAH POSISI NEGARA MUSLIM?

2. TERMINAL PERTAMA DEMOKRASI DUNIA MUSLIM

3. INDONESIA SEBAGAI MODEL

4. DINAMIKA DEMOKRASI DI DUNIA

5. ISU-ISU PENTING DEMOKRASI

-000-

SATU

Sejak 2006, Economist Intelligence Unit membuat ranking negara berdasarkan kualitas demokrasi dan kebebasan yang mengukur 167 negara di dunia. Dirilislah apa yang disebut sebagai Democracy Index yang mengukur kualitas demokrasi menggunakan 60 indikator.

Lembaga ini pun membuat empat klaster kualitas demokrasi. Yang paling berkualitas, ia sebut dengan Demokrasi Yang Matang (Full Democracy), lalu Demokrasi Setengah Matang (Flawed Democracy), lalu yang disebut Sistem Campuran (Hybrid Regimes). Klaster yang paling rendah adalah Rezim Otoriter (Authoritarian Regimes).

Di manakah posisi 50 negara muslim? Dari 60 negara mayoritas muslim, 50 negara yang ada datanya, menunjukkan hanya 3 negara yang masuk kategori Flawed Democracy, 17 negara masuk Hybrid Regimes, dan sebanyak 30 negara muslim berada pada kualitas demokrasi dan kebebasan paling rendah, Authoritarian Regime.

Dengan kata lain, 60 persen dari negara muslim berada pada halaman paling buncit dari evolusi kualitas demokrasi dan kebebasan.

Dari indeks demokrasi itu, pengaruhnya juga antara lain kepada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Peradaban semakin maju, dan kebutuhan manusia pun semakin bisa diukur. Kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan terhadap hak individu–terutama hak berekspresi dan beragama, jaminan kesehatan dan pendidikan, semua itu adalah kebutuhan ideal setiap manusia yang membawa mereka kepada tujuan paling umum disepakati: kebahagiaan.

Kehadiran negara salah satunya adalah untuk mewujudkan segala yang ideal untuk warganya. Itu pulalah keinginan warga secara umum di 50 negara muslim.

Baca Juga  [VIDEO] Menghidupkan Legenda Wayang Beber Pacitan dalam Animasi: Gulungan 1 Menggebrak

Bahkan, sebuah riset yang disebut Islamicity Index yang menggunakan prinsip-prinsip yang diturunkan dari ajaran Islam, menunjukkan, negara-negara dengan skor tertinggi tidak dimiliki oleh negara muslim.

Alhasil, negara paling islami justru adalah negara semacam Selandia Baru, Swiss, Belanda, yang menganut demokrasi dan kebebasan.

Kenyataan inilah yang mengharuskan negara muslim akan terbawa arus hukum besi sejarah, menuju demokrasi.

DUA

Lalu kapankah dunia akan menyaksikan gelombang besar 50 negara muslim untuk berhijrah, atau bahkan berhijrah massal menuju demokrasi dan kebebasan? Mungkinkah itu terjadi?

Hijrah massal lebih dari dua puluh negara bukan hal yang asing. Dua puluh tahun lalu, dunia pernah menyaksikan hijrah massal di kawasan Blok Negara Komunisme.

Di tahun 1989 hingga kini, terjadi musim gugur Blok Soviet dan Eropa Timur. Uni Soviet pecah menjadi lima belas negara baru. Yugoslavia pecah menjadi lima negara baru. Cekoslowakia pecah juga menjadi dua negara. Bervondong-bondong mereka meninggalkan sistem politik berbasis komunisme menuju negara-negara demokrasi.

Jika datang masa itu, musim bunga di kawasan muslim, tentu memerlukan peta jalan. Hijrah massal sebuah kawasan pastilah terjadi secara bertahap pula.

Terminal pertama yang akan dicapai oleh hijrah massal Dunia Muslim adalah demokrasi minus liberalisme. Ialah sistem politik dan ekonomi yang melaksanakan pemilu (pemilihan umum), tapi dengan sistem kebebasan terbatas.

Kultur kebebasan, yang sepenuhnya menjamin hak asasi manusia, tentu tak bisa diharap langsung tumbuh di kawasan ini. Demokrasi minus liberalisme adalah titik kompromi awal Dunia Muslim dan Dunia Barat.

Apakah modal sosialnya memungkinkan? Lihatlah survei Pew Research Center tahun 2012 di enam negara muslim: Mesir, Yordania, Lebanon, Pakistan, Tunisia dan Turki. Kepada responden yang mewakili secara random populasi negara itu dieksplorasi. Apakah sistem politik demokrasi menjadi pilihan?

Di Yordania, Turki, Mesir dan Tunisia, mayoritas respon di atas 50 persen memilih demokrasi. Presentasenya sekitar 61 persen hingga 84 persen. Di Pakistan yang memilih demokrasi sebesar 42 persen. Tapi demokrasi tetap menjadi pilihan tertinggi di Pakistan dibandingkan sistem politik lainnya.

Mengapa demokrasi dipilih? Jawaban responden beragam, mulai dari demokrasi memajukan ekonomi, hingga rakyat sendiri yang memilih pemimpin. Mulai dari demokrasi menjamin kebebasan berbicara, menjamin kebebasan agama, hingga media tidak disensor. Termasuk yang disukai dari demokrasi adalah tumbuhnya kultur kesetaraan gender.

TIGA

Apakah Indonesia layak menjadi model bagi dunia muslim untuk menuju jalan demokrasi?

Transisi demokrasi di Indonesia menuju demokrasi dapat dikatakan stabil, aman dan mencerahkan. Setidaknya ada empat alasan mengapa Indonesia dapat menjadi rujukan kuat bagi suksesnya Dunia Muslim bertransisi.

Pertama, sejak reformasi tahun 1998, sudah berlangsung pemilu yang relatif aman berkali-kali. Pertama kali pemilu yang benar-benar bebas era reformasi di tahun 1999, lalu berlanjut setiap lima tahun: 2004, 2009, 2014 hingga 2019.

Dalam semua pemilu, relatif situasi politik terkendali. Tak pernah ada kasus pemenang pemilu ingin menghentikan pemilu berikutnya.

Kedua, di Indonesia, perubahan kekuasaan terbukti bisa berlangsung dengan damai. Pemilu adalah temuan peradaban modern di mana rakyat yang menentukan siapa yang mereka inginkan untuk berkuasa. Peralihan kekuasaan selalu mungkin terjadi pada setiap pemilu.

Ketiga, di Indonesia, sungguh pun mayoritas penduduknya muslim, partai yang acap kali menang pemilu justru bukan partai yang berbasiskan agama.

Baca Juga  Belajar Kondisi Covid-19 Tahun Lalu, Tren Baik Positivity Rate Terus Dijaga, Silaturahmi Secara Virtual

Yang selalu menang justru partai dengan platform keberagaman: PDIP, Golkar, Demokrat dan PDIP lagi.

Keempat, data mutakhir dari Democracy Index 2019 menggambarkan dari 60 negara mayoritas muslim, 50 negara yang ada datanya, hanya 3 negara berada pada kualitas Flawed Democracy. Ini memang bukanlah level demokrasi tertinggi. Tapi untuk Dunia Muslim, Flawed Democracy itu level tertinggi yang bisa dicapai tahun ini.

Dan meskipun di level ini ada Malaysia dan Tunisia, Indonesia lebih teruji terjadi perubahan kekuasaan berkali-kali.

EMPAT

Kelahiran, perjalanan, dan dinamika politik yang berbasis demokrasi dan kebebasan tidak berdiri di titik nol. Ada lokalitas, basis kultur, dan dinamika relasi kuasa yang membuat model demokrasi di negara-negara di dunia cukup beragam.

Di Inggris, baik demokrasi atau pun kebebasan harus lahir dengan meruntuhkan dahulu feodalisme dan kerajaan diktatorial. Sedangkan di Amerika Serikat, datangnya demokrasi dan kebebasan lebih mudah karena negara itu tak memiliki tradisi feodalisme yang kuat, apalagi kerajaan diktatorial.

Di Inggris, keluarga kerajaan, para aristokrat tuan tanah, dan kelas borjuasi pedagang yang lahir karena datangnya kapitalisme menjadi sumbu politik.

Demokrasi di Eropa, seperti ditunjukkan dari contoh Austria dan Jerman, tidak selalu mengarah pada lahirnya liberalisme. Jalan berliku menuju demokrasi liberal sering dilewati melalui episode revolusi sosial, fasisme, dan perang.

Tapi sejarah bangsa-bangsa besar Eropa Kontinental seperti Jerman dan Prancis jauh menghadapi masa-masa yang lebih sulit karena kuatnya tradisi populisme otoritarian.

Di Meksiko, demokrasi liberal dijalankan melalui rute reformasi ekonomi, baru kemudian reformasi politik. Biasanya reformasi ekonomi memerlukan persyaratan berupa reformasi hukum dan pengenduran kekuasaan politik. Di Meksiko liberalisasi ekonomi dipacu oleh negara otoriter.

Sementara, China adalah contoh lain bagaimana menunda demokrasi dengan mencangkokkan kapitalisme ke batang pohon negara fasis. China tahu bahwa menempuh kapitalisme bukan sekadar menjalankan perombakan ekonomi tapi juga reformasi signifkan sistem administrasi dan hukum.

Pemerintah China bahkan membiarkan dilangsungkannya pemilihan umum (pemilu) di beberapa wilayah dan mempersilakan kalangan bisnis bergabung dengan Partai Komunis.

Banyak negara di Asia, Afrika, juga Amerika Latin, mengambil jalan demokrasi. Para elite di kawasan itu bereksperimen, walau mereka datang dari latar belakang sejarah dan kultur yang berbeda dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat.

Namun yang tumbuh di kawasan itu bukanlah liberal demokrasi. Yang subur di sana justru iliberal demokrasi. Ini jenis demokrasi minus atau tanpa kebebasan. Ujungnya, wilayah ini malah melahirkan diktator jenis baru.

LIMA

Seperti halnya semua transformasi besar dalam sejarah manusia, demokratisasi juga mempunyai sisi gelap. Apa yang terjadi jika pemimpin yang dipilih secara demokratis membawa negaranya menghidupkan rasisme, sentimen agama, atau anti imigran? Apa yang terjadi jika demokrasi dibajak oleh pemimpinnya sendiri?

Ini adalah salah satu isu penting dalam demokrasi. Ini bukan hanya soal masa lalu seperti Adolf Hitler di Jerman, di era sebelum Perang Dunia II. Hitler terpilih secara demokratis. Ia kemudian membawa Jerman dalam praktek rasisme, kekerasan, dan pembunuhan penduduk sipil paling kejam dalam sejarah modern.

Demokrasi yang dibajak juga terjadi pada masa kini. Di tahun 2020, di pusat peradaban modern Amerika Serikat, banyak media, intelektual dan politisi melawan presidennya sendiri: Donald Trump.

Baca Juga  Korlantas Polri Siapkan Strategi Pengamanan Arus Mudik dan Balik Nataru 2024

Mereka menganggap Trump mengembangkan kebijakan publik dan praktek politik yang merusak fondasi kebebasan, sehingga Amerika jatuh pada kategori Flawed Democracy di tahun 2018. Skornya di bawah Estonia, Chili, dan Korea Selatan.

Isu lainnya adalah ironi demokrasi ala Yugoslavia dan Indonesia. Dilema politik internasional akan terjadi jika demokratisasi global justru melahirkan rezim-rezim demokrasi iliberal. Ketika Yugoslavia dan Indonesia berada di bawah sistem kediktatoran, rezim-rezim itu dikenal stabil, sekuler, toleran, dan mampu mencegahkonfik-konfik etnis dan agama.

Begitu mengalami demokratisasi, Yugoslavia terpecah menjadi negara-negara berbasis etnis dan agama. Sementara Indonesia terancam jatuh pula karena konfik-konflik agama.
Isu berikutnya adalah relasi antara demokrasi dan kebebasan.

Sejak semula, demokrasi dan kebebasan memang merupakan dua gagasan yang berbeda. Adalah salah menyamakan gagasan demokrasi dan liberalisme. Demokrasi di Yunani Kuno tidak didasarkan pada gagasan mengenai liberalisme dalam pengertian yang kita pahami sekarang.

Demokrasi di Yunani Kuno didasarkan pada gagasan mengenai kebebasan warga negara (demos) untuk mengembangkan gagasan partisipasi politik.

Dalam liberalisme, terkandung gagasan mengenai kebebasan individual yang melekat pada setiap orang. Kebebasan individual itu mencakup kebebasan berbicara, kebebasan berkeyakinan, kebebasan mengem- bangkan diri, kebebasan berserikat, dan kebebasan untuk tidak ditindas oleh kekuasaan negara.

Di Yunani Kuno, warga polis yang memiliki hak demokratik hanya terdiri dari laki-laki dengan jumlah kekayaan tertentu. Demokrasi semacam itu terbatas. Itu bukan jenis demokrasi untuk semua individu. Anggota parlemen tidak dipilih oleh seluruh rakyat seperti dikenal dalam demokrasi modern, tapi diundi di kalangan warga polis.

REFLEKSI

Betapapun, tidak ada sistem politik maupun ekonomi di dunia ini yang bisa dianggap paripurna dan bisa diterapkan begitu saja di semua negara di dunia.

Betapapun, demokrasi dan kebebasan, seperti dipercaya oleh Denny JA, adalah hukum besi sejarah yang tidak mungkin ditolak. Pada waktunya, sejarah akan membawa negara-negara di manapun dunia ini akan menuju ke sana, termasuk negara-negara muslim. Namun jalan menuju ke sana, masih sangat perlu didiskusikan lebih lanjut.

Peta jalan yang diberikan oleh Denny JA dalam buku ini memang mengarah kepada satu idealitas demokrasi yang disebut demokrasi liberal ala Barat.

Pertanyaan yang bisa diajukan kemudian: apakah memang hanya ada satu jalan menuju ke sana? Atau, apakah standar demokrasi ideal adalah demokrasi ala Eropa dan Amerika Serikat?

Demokrasi liberal telah membawa negara-negara Barat pada kemajuannya. Namun juga ada contoh lain: China dan Korea Selatan mencapai modernitas dan demokrasi dengan cara mereka sendiri. Mungkin juga negara muslim perlahan mampu merumuskan rutenya sendiri menuju demokrasi dan kebebasan.

Dunia Islam memiliki sejarah, budaya, nilai-nilai, dan religiositasnya sendiri.
Tentu saja, provokasi dan diskursus seperti ini harus terus digulirkan.

Denny JA telah dengan berani menawarkan menggunakan Indonesia sebagai model. Kedekatan kultur dan basis religiositas Indonesia lebih memungkinkan untuk mendorong kampanye ini ke segala penjuru mata angin.

Mampukah negara-negara muslim merumuskan jalannya sendiri menuju ke sana? Mampukah Indonesia membabat alas menyediakan rute untuk saudara-saudaranya di sebelah sana? Ini pertanyaan untuk kita semua.*

Judul: Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim; Indonesia sebagai Model?
Tahun: Februari, 2020
Tebal: 144 + XIV halaman
Penulis: Denny JA
Penerbit: Jakarta, Cerah Budaya Indonesia