Kenangan Tak Mungkin Terlupakan Road Show Kethek Ogleng Pacitan Menembus Batas

SHARE

Prabangkaranews.com – Pacitan – Seni apapun termasuk seni tari yang di kalangan masyarakat akan senatiasa lestari jika masih mempunyai pendukung. Jika sudah tidak ada pendukungnya, seni tari tersebut akan punah. Sebagai bukti dapat dilihat pada seni tari tradisional/rakyat yang ada di berbagai negara yang pada saat ini semakin ditinggalkan oleh masyarakat tempat seni itu dilahirkan. Oleh karena pengenalan seni secara sistematis dan terkoordinasi kepada kalangan generasi muda tempat seni tersebut hadir sangat diperluka sehingga pendukung seni bersangkutan terus ada secara bersambung.

Keberadaan generasi muda bagi keberlangsungan seni sangat penting karena generasi muda dapat sebagai penerus pelestarian seni yang dimiliki masyarakatnya. Di samping itu generasi muda masih mempunyai daya pikir dan energi yang mumpuni untuk berkreasi. Generasi Muda adalah kata yang mempunyai banyak pengertian, namun dari pengertian-pengertian generasi muda mengerah pada satu maksud yaitu kumpulan orang-orang yang masih mempunyai jiwa, semangat, dan ide yang masih segar dan orang-orang yang mempunyai pemikiran yang visioner.

Pelopor yang melakukan langkah-langkah konkret bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik dan kepekaan terhadap realita sosial yang ada di masyarakat,memang menjadi ciri utama yang melekat pada pemuda. Generasi muda adalah mereka yang rentang waktu hidupnya hampir sama yakni sejak lahir hingga mencapai kematangan dari segala segi (maksimal berusia 40 tahun). Oleh karena itu, generasi muda ditinjau dari segi usianya adalah generasi yang amat potensial, energik, dan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga keberadaan mereka dalam suatu masyarakat tak dapat diabaikan (Muzakkir, 2015, pp.115). Sudah selayaknya generasi muda juga dilibatkan sebagai subjek pelestarian berbagai bentuk budaya masyarakat, termasuk seni di dalamnya.

Seni yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia salah satunya adalah seni Kethek Ogleng. Seni Kethek Ogleng berakar pada konteks sosial budaya masyarakat Pacitan yang ada di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan. Sebutan Kethek Ogleng dilakukan oleh Sutiman sendiri terhadap seni yang telah berhasil dikreasinya. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Sukisno (2018, 16) bahwa sebelum muncul nama “Kethek Ogleng” dari Sutiman, Sutiman telah meminta kapada koleganya untuk memberi nama seni yang dihasilkannya.

Akan tetapi dari sekian usulan yang ada tidak ada yang cocok untuk disematkan pada seni yang baru tercipta tersebut. Melalui analisis dan perenungan terkait gerakan serta iringan musik yang ada,  timbul lah dalam benak Sutiman untuk memberi nama karyanya tersebut sebagai Seni Kethek Ogleng.

Hal itu dikemukakan oleh Sutiman  alasan memberi nama seninya itu. Pertama, gerakan yang ditiru adalah gerakan kera yang bersinonim dengan kethek sehingga pada dasarnya gerakan-gerakan yang dalam tarian tersebut sebagaimana personifikasi  gerakan-gerakan kethek. Apabila sebutan kethek disematkan dalam nama seni tersebut secara historis dan semantis sangat sesuai. Kedua, berdasarkan pada bunyi gamelan yang mengiringi. Gamelan tersebut didominasi bunyi “gleng…glong…gleng..glong” . Seni Kethek Ogleng termasuk seni tari yang dipertunjukan dalam berbagai peristiwa dan kegiatan baik formal maupun nonformal.

Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia yang lain seni semisal seni Kethek Ogleng sebagai seni yang mengimitasi gerakan binatang jumlahnya sangat banyak. Dapat dicontohkan tari merak merupakan tari yang gerak-geraknya mengimitasi burung merak. Demikian juga kostum yang pakai juga berhias sebagaimana burung merak.

Baca Juga  Luhut Binsar Pandjaitan Pimpin Rapat Perdana; Kebijakan KKP Jangan Sampai Terhenti Lantaran Adanya Kasus

Bahkan T. Francis (2015, pp. 205) menyatkan bahwa banyak tindakan perilaku manusia yang dapat dikatakan meniru gerakan binatang terutama pada manusia tradisional sebagian besar tari meniru gerakan kera. Pada tari modern pun imitasi terhadap gerakan binatang juga masih dapat diamat semisal pada tari balet yang terkenal dengan sebutan Swan Lake yang dikreasi oleh Tchaikovsky.

Pada kenyataannya sekarang berbagai seni yang berbasis tradisional mulai ditinggalkan oleh generasi muda tempat seni itu berada tak terkecuali terjadi pada seni Kethek Ogleng. Sejak diciptakan oleh Sutiman pada tahun 1962-an pertumbuhan seni Kethek Ogleng mengalami pasang surut. Bahkan akhir-akhir ini generasi muda yang berkeinginan belajar seni Kethek Ogleng sangat sedikit dibanding dengan jumlah keseluruhan generasi muda yang ada di Tokawi sekalipun.

Oleh karena itu agar seni tersebut dapat lestari pada masa mendatang berbagai upaya pengenalan seni Kethek Ogleng terhadap masyarakat khususnya henerasi muda harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis sehingga generasi muda tidak hanya mengetahui tetapi memahami sebi tersebut dengan salah satu tanda mempunyai respon estetis terhadap seni Kethek Ogleng.

Respon estetis sekaligus pemahaman generasi muda terhadap seni Kethek Ogleng mutlak diperlukan agar seni tersebut bisa bertahan hidup di tengah-tengah perkembangan seni kontemporer yang berbasis budaya asing. Generasi muda dipandang sebagai etitas penting karena lebih mampu berkreasi dan lebih cakap penguasaan akan teknologi informasi daripada generasi tua sehingga produk budaya akan lebih aman jika generasi muda dapat memahami dan berkeinginan untuk melestarikannya.

Salah satu cara pengenalan seni Kethek Ogleng pada masyarakat khususnya generasi muda  yang dilakukan oleh para seniman, akademisi, dan para pemerhati seni adalah dengan menggelar pertunjukan seni Kethek Ogleng di berbagai objek wisata alam yang ada Kabupaten Pacitan. Objek wisata itu antara lain Pantai Klayar, Goa Gong, Pantai Watu Karung, Pantai Teleng Ria, Pantai Pancer Dorr, dan lain lain. Pada umumnya penampilan para penari seni Kethek Ogleng mampu mengumpulkan para pengunjung untuk menikmatinya.

Pengunjung terdiri atas berbagai umur dari anak-anak hingga orang dewasa. Khusus pengunjung sekaligus penonton  yang tergolong generasi muda terdapat sikap unik ketika sedang setelah dan menyaksikan pertunjukan seni Kethek Ogleng. Di samping mereka mengabadikan dengan telepon genggamnya baik dalam format foto maupun video, mereka juga melakukan aktivitas yang dapat disebut sebagai representasi respon estetis mereka terhadap seni Kethek Ogleng. Fenomena aktivitas generasi muda itu sebagai masalah utama penelitian ini dan pembahasan ada bagian berikutnya.

Respons esetetis dapat dipahami sebagai penerimaan, tanggapan, atau kesan yang diperoleh dari proses pengamatan pada suatu subjek. Khusus terkait dengan subjek yang identik dengan art product hasil tanggapan diistilahkan dengan respons estetis. Sebagaimana pemahaman umum, respon estetis identik dengan konsep yang cetuskan oleh Wolfgang Iser dan terkait dengan sastra. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya, respon estetis tidak hanya relevan dengan sastra bahkan untuk berbagai seni yang lain. Respons estetis ditujukan dengan kenyamanan pembaca/ penonton sejak menyaksikan pertujukan seni dan selanjutnya penonton tersebut memproduksi semisal yang dilihat dan memainkannya (Wang, 2011, hal 342).

Baca Juga  Agus Harimurti Yudhoyono Resmi Dilantik Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN

Respons estetis terdapat beberapa kategori antara lain: a) respons seniman terhadap alam sekitarnya, b) respons mayarakat terhadap karya seni yang dihasilkan oleh seniman tadi, dan c) respons masyarakat secara keseluruhan terhadap alam sekitarnya (Ratna (2007: 193). Pandangan filosofis dari respon estetika muncul dari upaya keras filosofis dengan tujuan untuk memberikan kepercayaan berkelanjutan, sistematis, dan perhatian secara kritis (Elliott, 2002, hal. 85). Respons estetis sebagai proses kejiwaan serta manivestasi dari kegiatan apresiasi terhadap karya seni.

Generasi muda mempunyai respons estetis terhadap pertujukan seni Kethek Ogleng.  Respons estetis itu sebagai pengalaman mereka setelah mengapresiasi seni Kethek Ogleng. Respons tersebut dengan ditandai adanya gerak-gerak dengan menggunakan versi mereka. Pembagian respons estetis, maka yang dimaksud dengan generasi muda dalam penelitian ini adalah golongan generasi muda yang menyaksikan pertunjukan seni Kethek Ogleng di berbagai objek wisata di Kabupaten yang berusia muda antara 15-30 tahun.

Generasi muda mempunyai daya imajinasi dan imitasi yang luar biasa terhadap objek yang disaksikannya dibanding dengan generasi tua. Tingkat respons kalangan generasi muda terhadap segala yang disaksikanya lebih cepat mengendap di memorinya. Selain itu generasi muda juga mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar sesuatu.

Dalam konteks pembahasan respons estetis generasi muda terhadap seni Kethek Ogleng dapat dilihat ketika selama tim seni Kethek Ogleng melakukan road show pertunjukan ke berbagai objek wisata alam yang ada di kabupaten Pacitan. Sebagian besar kegiatan road show dilakukan pada hari Minggu dengan berbagai pertimbangan objek wisata yang digunakan sebagai tempat pertunjukan mempunyai lebih banyak  pengunjung dibanding dengan hari-hari selain Minggu dan para penari seni Kethek Ogleng mayoritas masih bersekolah sehingga pentas pada hari Minggu tidak mengganggu aktivitasnya sebagai pelajar. Kegiatan dimulai pada pukul 10.00 W.I.B hingga 16.30 W.I.B dengan diselingi istirahat. Seni Kethek Ogleng yang ditampilkan di berbagai objek wisata tersebut berdurasi sekitar 45 menit karena selain gerakan pokok seni Kethek Ogleng juga ditampilkan bendrong dan kudangan. Pengunjung pun terkesima dengan pertunjukan yang dilakukan oleh tim.

Strategi  Kethek Ogleng Pacitan sebagai sebagai ikon budaya dan sebagai perwujudan budaya mataram di Pacitan  dengan perbagai alat ukur atau indikator sebagai berikut: 1) Kethek Ogleng lolos sebagai Warisan Budaya Takbenda, 2) Kethek Ogleng telah mendapatkan sertifikat hak cipta sebagai salah satu seni pertunjukan di Indonesia, 3) Kethek Ogleng telah dimasukkan dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Pacitan Tahun 2018, 4) Kethek Ogleng sebagai ekstra kurikuler, Kajian ilmiah kethek ogleng di prosiding,  5) jurnal nasional, jurnal international baik yang tidak terindeks maupun terindeks,   6) buku kethek ogleng, data base ekonomi kreatif Pacitan,  7) data base ekonomi kreatif Pacitan,  dan 8) agenda terstruktur pementasan Kethek Ogleng.

Kegiatan road show  seni Kethek Ogleng ke berbagai objek wisata alam di Kabupaten Pacitan sebagai sarana efektif untuk memperkenalkan seni Kethek Ogleng kepada masyarakat. Terdapat ragam reaksi terhadap pertunjukan seni Kethek Ogleng baik berupa apresiasi maupun respons estetis. Model respons dilakukan oleh generasi muda ketika menyaksikan pertunjukan Seni Kethek Ogleng Pacitan: (1) menyempatkan hadir lebih awal dan duduk di dekat pentas; (2) melakukan  swafoto dengan penari Kethek Ogleng; (3) mewancari para penari atau pendamping; (4) menanyakan waktu dan tempat pementasan berikutmnya; (5) melakukan gerakan sebagaimana gerakan-gerakan penari Kethek Ogleng Pacitan di arena pentas maupun di luar pentas. Oleh karena itu, dapat dikatakan Seni Kethek Ogleng melalui kegiatan Road Show mendapat sambutan yang positif dari generasi muda. Adapun dari sekian resposn yang ada, respons estetis yang dilakukan oleh generasi muda adalah adanya imitasi terhadap gerakan tari Seni Kethek Ogleng sesuai pemahaman dan kemampuan mereka bahkan untuk meningkatkan kemampuannya berkeinginan mengikuti latihan menari Kethek Ogleng.

Baca Juga  Bappenas Mengharapkan Indonesia Juni 2024 Masuk Negara Pendapatan Menengah Atas

Kethek Ogleng Pacitan terdapat keterpengaruhan seni Kethek Ogleng di Wonogiri karena seni Kethek Ogleng di Pacitan muncul lebih dahulu dibanding dengan yang ada di Wonogiri. Terdapat perbedaan pembagian gerak dan juga iringan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri. Segi tata busana dan tata rias secara garis besar terdapat kesamaan antara seni Kethek Ogleng yang ada di Kabupaten Pacitan dengan yang ada di Kabupaten Wonogiri, yakni sama-sama menonjolkan tokoh tari yang merepresentasikan Kethek. Namun dari segi tersebut terdapat perbedaan antara lain terletak pada pemakaian kain poleng dan tata rias wajah. Adapun kesamaan antardua seni tersebut terletak pada fungsi. Baik seni Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan maupun di Wonogiri mempunyai fungsi sebagai pertujukan, menghibur, kebanggan masyarakat, dan juga sebagai sarana untuk mendidik generasi penerus masyarakat masing-masing.

Selain itu juga pokok piran Sutiman sebagai pencipta Kethek Ogleng Pacitan sebagai berikut; 1) motivasi tinggi, 2) perencanaan, 3) kerjasama, 4) disiplin, 5) tanggung jawab, 6) sabar dan ikhlas, 7) kerja keras pantang menyerah, 8) rajin, 9) religius, 10) wirausaha, 11) tekad kuat, 12) optimisme,  13) rendah hati, serta 14) menerima kritik dan saran.  Sifat yang terdapat dalam diri Sutiman wajib ditiru oleh generasi mileneal dalam mewujudkan suatu keinginan dan cita-cita.

Pertunjukan seni Kethek Ogleng didukung oleh berbagai aspek antara lain pelaku, gerak, iringan/gamelan, tata busana, perlengkapan atraksi, tata suara, tata lampu, dan area pentas. Berbagai model respons dilakukan oleh generasi muda ketika menyaksikan pertunjukan Seni Kethek Ogleng Pacitan: (1) menyempatkan hadir lebih awal dan duduk di dekat pentas; (2) melakukan  swafoto dengan penari Kethek Ogleng; (3) mewancari para penari atau pendamping; (4) menanyakan waktu dan tempat pementasan berikutmnya; (5) melakukan gerakan sebagaimana gerakan-gerakan penari Kethek Ogleng Pacitan di arena pentas maupun di luar pentas.

Oleh karena itu, dapat dikatakan Seni Kethek Ogleng melalui kegiatan Road Show mendapat sambutan yang positif dari generasi muda. Adapun dari sekian resposn yang ada, respons estetis yang dilakukan oleh generasi muda adalah adanya imitasi terhadap gerakan tari Seni Kethek Ogleng sesuai pemahaman dan kemampuan mereka bahkan untuk meningkatkan kemampuannya berkeinginan mengikuti latihan menari Kethek Ogleng.

Penulis: Agoes Hendriyanto, Bakti Sutopo, Arif Mustofa