Pemberitaan Media Massa di Era Post-Truth
PRABANGKARANEWS.COM | KARANGANYAR – Media masa sebagai alat pengirim pesan dalam bentuk teks atau wacana dari sumber pesan kepada penerima pesan. Namun demikian era post- truth dengan bajirnya berita di publik akan semakin membingungkan masyarakat. Kenyataan di lapangan pada Era post truth dengan banyaknya media elektronik dengan berbagai macam dalam memproduksi pesan dengan berbagai faktor seperti kepemilikan, iklan, kedekatan dengan sumber berita akan memproduksi berbagai macam pesan.
Topik “pemberitaan media elektronik di era post-truth”, dijadikan bahan diskusi antara redaksi @Prabangkaranews dengan Prof. Andrik Purwasito di Padepokan Ki Ageng Guru, Karanganyar, Minggu (6/07/2020)
Prof. Andrik Purwasito, Guru Besar Kajian Budaya mengatakan bahwa, “media mainstream yang sesungguhnya mengembang tugas sebagai media yang memberikan sebuah harapan untuk kepastian sebuah kebenaran. Akan tetapi kita menghadapi era post-truth. Bahwa ketidakpastian itu tidak mudah disampaikan dengan apa adanya atau nyata. Apalagi adanya media sosial yang banyak versi pemberitaan.”
Media mainstream yang seharusnya mengemban visi sebagai media yang seharusnya memberikan kepastian kepada pemberitaan dengan benar. Akhirnya mengalami distorsi, disebabkan oleh adanya berita yang berkembang di media sosial yang setiap saat menerpa konsumen atau publiknya. Sehingga publiknya mengalami kebingungan atau kesulitan untuk menjadi kebenaran dalam sebuah berita , mana yang benar dan yang mana yang salah, “ tegas Prof Andrik Puwasito.
Saat ini kita telah memasuki era pots-truth, yang ditandai dengan masifnya produksi informasi jauh lebih masif ketimbang manufaktur. Tak jarang, atau sering bahkan, itulah yang menyebabkan kita dibingungkan oleh berbagai informasi yang muncul dari beragam sumber. Apalagi media sosial memberitakan sebuah distorsi dalam memandang sebuah kebanaran.
Lebih jauh, ini pulalah yang menghantarkan kita pada hadirnya era post-truth atau pasca-kebenaran. Dalam era post-Truth, semua bisa benar sekaligus bisa salah; karena yang tersisa hanyalah kekuasaan dan kepentingan. Redaksi juga ditemani dengan Dosen UNS dan juga Juragaan dari Lerang Gunung Lawu Karanganyar, Kangmas Darwoto.
“Akhirnya terjadinya distorsi berita kepada publik. Publik sendiri mengalami kesulitan untuk mencerna kebanaran dalam media. Secara tradisonal sebenarnya untuk menentukan kebenaran ada metode cek dan ricek atau tabayun kepada orang yang mempunyai kredibelitas. Namun kita tak punya waktu untuk datang di tempat diskusi., mendatangi, seseorang yang ahli sehingga masyarakat tidak memandang kebenaran dari perspektifnya sendiri-sendiri, “jawab Prof Andrik, Guru Besar nyentrik dari UNS.
Lebih jauh Prof Andrik menjelaskan, “oleh sebab itu dalam era post truth, akhirnya kebenaran ditentukan bagaimana kita memandang sebuah kebenaran. Sehingga masyarakat dalam memandang kebenaran sangat ditentukan oleh faktor suka dan tidak suka, satu kelompok atau bukan kelompok. Oleh sebab itu terjadi polarisasi makna di masyarakat dalam menentukan kebenaran secara tunggal. Sehingga kebenaran itu sifatnya pluralisme. “
“Masyarakat mengalami kebingungan . Media yang seharusnya dijadikan rujukan kebenaran namun tidak bisa diharapkan. Hal ini disebabkan media dalam pemberitaannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, “tegas Andrik Purwasito.
Prof Andrik memberikan contoh pada Pilkada yang akan berlangsung, dimana pencitraan memegang peranan penting. Pencitraan dengan pesan yang tersampaikan baik di media sosial maupun elektronik bertujuan untuk mempengaruhi orang untuk memilih. Mengedepankan faktor emosional atau like and dislike, seseorang kepada calon. Sehingga pilihan seseorang akan sangat ditentukan oleh faktor emosional dan kedekatan dengan calon.”
Apapun berita kita harus mempunyai perspektif tentang kebenaran. Jika ada hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak benar kita seharusnya mencari tahu kepada ahlinya. Namun untuk ukuran yang dijadikan rujukan ini yang sekarang menjadi semu. Untuk itulah marilah kita dari diri sendiri untuk memulai memberitakan kebenaran sesuai dengan realitas yang ada.
Kemudian, kita tahu bersama bahwa pemberitaan covid-19 apakah penyakit berbahaya atau tidak. Sehingga kepercayaan masyarakat senakin luntur sehingga protokol kesehatan tidak diipatuhi. Sehingga perkembangan Covid-19 di Indonesiaa tidak mengalami penurunan. Sehingga di masyarakat ada dua versi yang memandang sebuah kebenaran apakah covid 19 sebagai penyakin berbahaya atau bukan.
“Seharusnya pemerintah harus fokus dalam memberikan pemberitahuan kepada masyarakat yang disertai dengan ahli dan pihak-pihak yang terkait dengan tema pemberitaan. Oleh sebab itu pentingnya media dalam membuat kepastian pemberitaan. Sehingga masyarakat tidak bingung mencari sebuah kebenaran,”pungkas Prof Andrik.