Kerajaan Kadiri atau Panjalu

Oleh: Agoes Hendriyanto
Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di Dahanapura (Daha), yang menjadi bagian Kota Kediri sekarang.
Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu adalah merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di daerah Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12 yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai (Jihan K.A., 2018)
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri) kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kediri.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, Daha, sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178).
Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan.
Hubungan Pai-Hua-Yuan dengan Kerajaan Kadiri / Kediri / Panjalu
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya Prasasti Banjaran dan Prasasti Mataji. Setelah Raja Sri Jitendrakara diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan Prasasti Karanggayam. Selanjutnya dalam Prasasti Hantang raja yang memerintah sudah berganti Sri Jayabhaya.
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, yang berarti “Panjalu Menang”.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Chou Ju-kua menggambarkan di Jawa penduduknya menganut dua agama: Buddha dan Hindu. Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku Chu-fan-chi (Zhao Rugua, 1225) menyebut Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan: Pai-hua-yuan , Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku) .
Kutipan selanjutnya dari buku (Hirth Friedrich and W.W. Rockhill, 1911: 65)
Sebuah prasasti peninggalan Raja Brameswara ditemukan aktivis lintas komunitas pencinta sejarah di Desa Karanggayam Kecamatan Srengat, Blitar, pada awal Juli 2021. Penemuan ini memperkaya khazanah sejarah perkembangan Kerajaan Panjalu atau Kadiri.
Prasasti yang ditemukan diperkirakan berasal dari periode pertama era Maharaja Bameswara. Ambang pintu bertuliskan tahun 1034 Saka atau 1.122 Masehi.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha (Jalan Doho-Kota Kediri) . Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu.
Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga. Daerah ini kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Kerajaan Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang dibuat raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul “Ling Wai Tai Ta” (Chou Ku-fei, 1178).
Dalam penelusuran yang dilakukan merdeka.com kronik Tiongkok berjudul “Ling Wai Tai Ta” karya Chou Ku-Fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya (Chou Ku-fei, 1178).
Maharaja Cri Bamecwara Sakalabuanatustijarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewa atau Bamecwara atau Bameswara memerintah Kerajaan Panjalu di bumi Kadiri hingga 1057 Saka /1135 Masehi. Raja Bameswara memakai Lancana Ardhacandrakapalalancana (Prasasasti Gneng I) yakni tengkorak memakan rembulan (Imam Mubarok, 2015).
Masa Kerajaan Kadiri, di tebaran situs purbakala di desa sebelah, di luar Karanggayam, ada situs Kunir. Situs di sebuah pondok ada sebuah makam Mbah Wali Cemandi. Nisan makam menggunakan prasasti Raja Terakhir Panjalu, yakni Raja Dandang Gendis atau Raja Kertajaya dengan angka tahun 1127 Saka atau 1205 Masehi,” sebutnya.
Di Desa Pikatan Kecamatan Srengat juga ditemukan Prasasti Pandelegan. Raja Bameswara membuat prasasti yang sekarang ada di Museum Candi Penataran, berangka tahun 1038 Saka. Sampai sekarang, prasasti ini merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan Raja Bameswara. Dengan kata lain, menjadi prasasti pertama Kerajaan Panjalu/Kadiri setelah mengalami masa gelap sejak Raja Samarawijaya (1042 M-1044 M) berkuasa di Daha setelah pembagian kerajaan oleh Raja Airlangga.
“Prasasti Pandelegan lebih muda 4 tahun dari batu ambang pintu yang ditemukan di Desa Karanggayam. Dengan melihat tebaran prasasti-prasasti era Kerajaan Kadiri, kita yakin bahwa di sini merupakan atau menandakan masuk wilayah Kerajaan Kadiri,” tandasnya.
Setelah pematangan tim dari berbagai komunitas kebudayaan dan sejarah, akhirnya dilakukan ekskavasi. Prasasti yang terpendam berhasil ditemukan dan didirikan.
Prasasti Karanggayam yang terpendam ini kita dirikan. Tingginya totalnya dari dari lapik yaitu 1,83. Dari pengangkatan ini, di prasasti nampak relief yakni Lancana Raja Bameswara dengan gambar Candrakapala/bulan sabit dimakan raksasa. Saat dibersihkan dengan air, hampir 90 persen prasasti mengalami aus . Dari penelusuran yang ada, dulu prasasti ini pernah digunakan sebagai tempat aktivitas bermain anak, yakni sebagai tempat perosotan, akhirnya tulisan dalam prasasti hilang.
Belum lagi ditambah faktor alam, prasasti yang sudah berusia hampir 1.000 tahun ini juga terkena letusan Gunung Kelud yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer. Prasasti itu akhirnya terkubur dan baru ditemukan aktivis lintas komunitas
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri, diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Karya sastra
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Maharaja Sri Samarawijaya
- Sri JitendrakaraParakrama Bakta (Prasasti Mataji 973 Saka),
- Maharaja Sri Bameswara(Prasasti Pandlegan I, Prasasti Panumbangan, Prasasti Tangkilan, Prasasti Besole, Prasasti Bameswara, Prasasti Karanggayam, Prasasti Pagiliran)
- Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya(Prasasti Hantang, Prasasti Jepun, dan Prasasti Talan)
- Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara(Prasasti Pandlegan II dan Prasasti Kahyunan)
- Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryeswara(Prasasti Waleri & Prasasti Angin)
- Sri Maharaja Kroncaryyadipa Sri Gandra(Prasasti Jaring)
- Sri Maharaja Mapanji Kamesywara(Prasasti Semanding dan Prasasti Ceker)
- Sri Maharaja Crengga/Kertajaya(gugur tahun 1144 Saka).
Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
- Mahisa Wunga Telengputra Ken Arok
- Guningbhayaadik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjayakakak Guningbhaya
- Kertanagaracucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tetapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
- Jayanagara1295–130947:2; Prasasti Sukamerta – didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi1309–137527:15; 29:31; Nag.4:1 – didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
- Indudewi1375–141529:19; 31:10,21
- Suhita1415–1429 ?
- Jayeswari1429–146430:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
- Manggalawardhani1464–1474 Prasasti Trailokyapuri
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal daripada Daha. Dan pada saat ini berdasarkan peta daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur maka dapat dilihat bahwa Kota Daha pada saat ini berada di daerah sekitar Pare-Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan arkeologis sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Bijaksana R. (2020). Invasi Rajendra Cola I Ke Sriwijaya (1025 M). https://ikilhojatim.com/invasi-rajendra-cola-i-ke-sriwijaya-1025/
Chou Ku-fei. (1178). Ling-wai-tai-ta (嶺外代答).
Hirth Friedrich and W.W. Rockhill. (1911). Chau Ju-kua on The Chinese and Arab Trade in The Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chi. Imperial Academy of Sciences.
Imam Mubarok. (2015). Membaca 7 lencana kerajaan kuno di era Kediri. Https://Www.Merdeka.Com/Peristiwa/Membaca-7-Lencana-Kerajaan-Kuno-Di-Era-Kediri.Html.
Jihan K.A. (2018). Bagaimana Sejarah Kerajaan Kadiri ? Https://Www.Dictio.Id/t/Bagaimana-Sejarah-Kerajaan-Kediri/87951.
Zhao Rugua. (1225). Chau Ju Kua – Chu Fan Chi – His Work on the Chinese and Arab Trade in the XII & XIII Centuries Entitled Chu-fan-chi. Pt.Petersburg