Perkembangan Seni Tradisional Ronthek Pacitan
PRABANGKARANEWS || Pada umumnya asal-usul musik tradisional tidak ada yang bisa menyebutkan secara valid kapan musik tradisional pertama kali diciptakan dan sulit untuk memastikan subjek penciptanya.
Demikian juga dengan musik tradisional gugah sahur di Pacitan berdasarkan hasil wawancara dengan Hari (60 tahun) warga Desa Sirnoboyo mengatakan bahwa berbagai seni tradisional di Pacitan mulai marak pada saat Kabupaten dipimpin oleh Bupati Pacitan Tedjo Sumarto, yakni sekitar tahun 1966-an.
Pada masa itu seni budaya yang berkembang di Kabupaten Pacitan antara lain seni pertunjukan ketoprak dan wayang orang. Kedua seni tradisional itu sering
dipertunjukkan pada acara di sekolah, balai desa, atau pada acara-acara lainnya di wilayah Kabupaten Pacitan.
Asal-usul musik tradisional seringkali terbungkus dalam misteri sejarah, termasuk musik tradisional Gugah Sahur di Pacitan. Berdasarkan wawancara dengan Hari, seorang warga Desa Sirnoboyo berusia 60 tahun, seni tradisional di Pacitan mulai berkembang pesat pada era Bupati Tedjo Sumarto sekitar tahun 1966-an. Pada masa itu, seni pertunjukan seperti ketoprak dan wayang orang menjadi populer di wilayah tersebut, sering dipentaskan di berbagai acara resmi.
Meskipun pada tahun 1960-an Pacitan masih dianggap sebagai daerah terpencil, namun seni budaya tetap berkembang dengan menggunakan alat musik sederhana, terutama alat musik mulut, sebagai pengiring.
Tidak mampu mengakses alat musik gamelan yang mahal, masyarakat Pacitan menciptakan musik pengiring dari bambu yang dilobangi tengahnya, disebut “thethek,” menghasilkan suara thek..thek..thek. Inovasi ini muncul dari semangat gotong royong dan kerjasama, menjadi simbol kekayaan budaya lokal.
Tahun 1960-an Pacitan masih dikenal sebagai wilayah yang terpencil sehingga alat musik belum dapat dijangkau. Untuk musik pengiring kedua seni tersebut masih menggunakan alat musik mulut, dengan iringan benda yang menimbulkan bunyi. Tentu saja bunyi dan irama yang dihasilkan tidak sebagus yang dihasilkan oleh alat musik gamelan.
Namun kegiatan berkesenian tersebut tetap berlangsung dengan suka cita dan kegembiraan. Hal itu sesuai dengan salah satu fungsi musik, yakni bisa membawa rasa bahagia sehingga rasa lelah, murung, dan gelisah bisa hilang. Dampak itu juga dirasakan oleh pemain maupun penikmat seni tersebut.
Sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1970-an kegiatan seni budaya dengan memanfaatkan potensi lokal sangat gencar dilakukan baik pemerintah maupun oleh masyarakat. Karena gamelan sebagai perangkat yang mengiringi pertunjukan Ketoprak dan Wayang Orang pada waktu itu harganya mahal, dibuatlah musik pengiring yang terbuat dari bambu bermacam ukuran yang dilobangi tengahnya dengan bentuk persegi untuk menimbulkan bunyi berirama.
Pada masa selanjutnya alat musik tersebut disebut dengan tetek. Disebut tetek karena suara yang dihasilkan terdengar thek..thek..thek. Gotong royong, kerjasama, serta setia kawan menjadi landasan dasar dalam pembuatan thethek sampai pelaksanaan latihan menjelang bulan Ramadhan. Remaja Masjid mempersiapkan thethek yang terbuat dari bambu ori menjadi bentuk kentongan kecil yang terbuat dari bambu dengan variasi lubang dengan berbagai ukuran yang biasa dilakukan oleh semua anggota tim ronthek.
Kemudian tali yang dipergunakan untuk mengalungkan tetek pada leher tiap-tiap pemain untuk memudahkan proses latihan dan pertunjukan seni musik rontek. Selain itu juga rontek alat musik yang biasa dipergunakan untuk ronda malam atau siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) sebagai hasil akulturasi budaya kenthongan dari kayu.
Alat pemukul tetek bisa terbuat dari kayu maupun belahan bambu yang didesain sedemikian rupa. Besar-kecilnya alat penabuh, jenis bambu, serta besar-kecilnya celah yang dibuat menjadi salah satu faktor pembeda suara yang dihasilkan oleh thethek. (*)