Makam Unik Ki Ageng Mangir, Sisa-sisa Tragedi Sejarah Mataram

Makam Unik Ki Ageng Mangir,  Sisa-sisa Tragedi Sejarah Mataram
Gambar: Situasi di dalam Tembok Istana Kotagedhe
SHARE

Oleh:   Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum (*)

Kalau Anda memasuki makam panembahan Senopati di kompleks pemakaman raja-raja  Mataram di Kotagede, maka anda akan menemukan sebuah Joglo besar yang di dalamnyadimakamkan Panembahan Senapati dan keluarganya.

Ada satu makam yang unik yaitu separuh bagian ada di dalam joglo dan separuh bagian lagi ada di luar Joglo. Sayang kebijakan pengelola makam, pengunjung tidak diizinkan untuk mengambil foto di dalam Kompleks makam tersebut karena makam tersebut dianggap sebagai makam yang sakral.

Makam yang unik itu adalah makam Ki Ageng Mangir, atau sering disebut sebagai Ki Ageng Mangir Wonoboyo 4. Ki Ageng Mangir adalah seorang penguasa di daerah perdikan Mangir yang saat ini masuk ke dalam wilayah kabupaten Bantul. Wilayah itu sudah ada sejak zaman Majapahit dan Ki Ageng Mangir sendiri adalah keturunan Brawijaya V, raja Majapahit.

Kisah ini berawal dari konflik antara Mangir dan Mataram. Ketika Panembahan Senapati menjadi penguasa Mataram pada tahun 1582, Panembahan Senapati menerapkan prinsip ekspansif. Wilayah sekitar harus ditaklukan. Cita – citanya ingin menanyatukan Pulau Jawa seperti yang sudah dicapai kerajaan Demak. Inilah awal mula konflik antara Panembahan Senapati dan Ki Ageng Mangir.

Alasan kedua, bahwa Ki Ageng Mangir memiliki aliran yang berbeda dengan Mataram. Ki Ageng Mangir mengikuti paham Syeh Siti Jenar sementara Panembahan Senapati mengikuti paham suni dari Sunan Kalijaga.

Baca Juga  Pekerja di Objek Wisata Pacitan Masih Terdampak Sepinya Pengunjung Akibat Pandemi Covid-19

Penaklukan Ki Ageng Mangir ternyata bukan perkara yang mudah. Meskipun Ki Ageng Mangir IV waktu itu masih berusia 16 tahun, dia hafal betul medan pertempuran sepanjang Sungai Progo. Akibatnya, gempuran pasukan Panembahan Senapati menemui kegagalan.

Namun, Mataram memiliki tenaga yang handal dan cerdik. Dia adalah Patih Mondoroko atau Ki Juru Mertani. Mengetahui bahwa Ki Ageng Mangir 4 adalah seorang perjaka dan menyenangi tari tayub, maka dikirimlah anak Panembahan Senopati yang bernama Rara Pembayun untuk mbarang atau ngamen tayub di Mangir.

Sontak saja Ki Ageng Mangir menjadi tertarik dengan penari tayub Rara Pembayun yang berganti nama menjadi Rara Kasihan. Ki Ageng Mangir kemudian menyatakan hasratnya untuk menikahi Rara Kasihan dan hal itu pun disetujui oleh Rara Kasihan kemudian mereka menikah di tanah Perdikan Mangir. Kedua pasangan tersebut sebenarnya saling mencintai. Rara Pembayun adalah seorang wanita yang cantik jelita sementara Ki Ageng Mangir adalah seorang pemuda yang tampan dan sakti.

Hasil dari buah cinta mereka, Rara Pembayun kemudian hamil muda. Dalam keadaan hamil muda itu, Rara Pembayun kemudian membuka rahasia bahwa ia adalah anak dari Panembahan Senopati. Betapa kaget Ki Ageng Mangir. Istri yang dinikahi dan sedang hamil muda ini ternyata adalah anak dari musuhnya. Karena hamil muda, Rara Pembayun mengajak suaminya untuk memberikan sembah bakti kepada orang tuanya. Hal ini sungguh merupakan beban yang berat bagi ki Ageng Mangir. Namun demi bayi yang dikandung, ia pun menyanggupi untuk menghadap Panembahan Senapati.

Baca Juga  Ketua Umum Peradin Firman Wijaya, Ungkap Validitas Psikosis Kepribadian Ganda Kasus Joshua–Sambo

Pada hari yang ditentukan Ki Ageng Mangir dan rombongan berangkat ke Mataram dengan membawa sejumlah prajurit dan senjata lengkap. Rara Pembayun segera mengirimkan berita bahwa ki Ageng Mangir dan rombongan akan segera datang. Pihak Mataram kemudian menyiapkan pasukan penyambut.

Dalam perjalanan menuju Mataram ini, hati Ki Ageng Mangir merasa menjadi tidak nyaman. Dalam bahasa Jawanya hatinya menjadi mendat mentul  atau ragu-ragu. Maka tempat ki Ageng Mangir berpikiran ragu-ragu ini diberi nama Bantul yang sampai saat ini masih menjadi suatu nama kabupaten di Jogjakarta.

Berita tentang kedatangan ki Ageng Mangir ke Mataram sudah sampai ke telinga para punggawa Mataram. Tampaknya para punggawa Mataram tidak menerima kehadiran Ki Ageng Mangir tersebut dengan tulus. Sesuai rencana, mereka memiliki agenda tertentu dalam rangka menaklukkan Ki Ageng Mangir tersebut. Ketika
rombongan prajurit Ki Ageng Mangir akan memasuki Kota Raja, maka rombongan tersebut diminta untuk melepaskan seluruh senjatanya karena ini bukan peperangan, melainkan penghadapan kepada penguasa yaitu Panembahan Senopati.

Dengan bujuk rayu dari Rara Pembayun, maka ki Ageng Mangir pun menuruti apa yang menjadi kehendak itu. Setelah itu maka Ki Ageng Mangir dipertemukan dengan Panembahan Senopati. Sebagai seorang menantu, Ki Ageng Mangir kemudian bersujud di kaki Panembahan Senopati. Namun tidak dinyana-nyana terjadilah suatu peristiwa tragis, Panembahan Senopati membenturkan kepala ki Ageng Mangir pada batu gilang, yaitu suatu batu yang permukaannya rata. Maka seketika Ki Ageng Mangir terluka dan tewas.

Baca Juga  Peristiwa Luar Biasa di Pacitan Selama Perang Jawa : Transformasi Loyalitas dan Perebutan Kembali Kota
Gambar: Pintu Gerbang Istana Kotagedhe
Gambar: Pintu Gerbang Istana Kotagedhe

Peristiwa itu mengagetkan semua orang termasuk Rara Pembayun. Hati Rara Pembayun menjadi sangat sedih karena pada hakekatnya dia masih mencintai Ki Ageng Mangir yang benihnya terkandung di dalam perutnya. Melihat tangis, Rara Pembayun, maka Panembahan senapati pun sebenarnya juga merasa bersedih.

Keluarlah ungkapannya bahwa Ki Ageng Mangir itu separuh adalah anak menantu, tetapi separuhnya adalah satru (musuh). Karena itu, maka jenazah Ki Ageng Mangir tetap dimakamkan di dalam makam keluarga raja-raja. Namun pemakamannya cukup unik. Bagian kepala sampai perut dimakamkan di dalam makam keluarga raja-raja, sementara bagian perut sampai kaki dimakamkan di luar tembok keluarga raja.

Seiring dengan perluasan makam raja-raja tersebut, maka saat ini makam ki Ageng Mangir itu separuh berada di dalam Joglo makam dan separuh lagi berada di luar bagian depan Joglo makam.

Demikianlah sebuah kisah tragis dalam sejarah mataram. Menurut sebuah versi, anak Ki Ageng Mangir tersebut terlahir dengan nama Raden Rangga. Menurut cerita Raden Rangga ini sangat nakal dan mati muda ketika tubuhnya dililit seekor ular yang sangat besar. Namun ada juga versi yang mengatakan bahwa Raden Rangga adalah anak Panembahan senapati dengan Ratu Kidul.

(*) Guru Besar Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret