SUNAN KALIJAGA MENGISLAMKAN WAYANG
Oleh: Prof. Bani Sudardi (*)
Seiring berdirinya kesultanan Demak yang disokong oleh para wali maka beberapa hal dalam kebudayaan yang sudah ada sebelumnya perlu dimodifikasi disesuaikan dengan filosofi kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa.
Pekerjaan ini tentu saja bukan pekerjaan mudah karena sebelum kerajaan Islam berdiri di pulau Jawa, di sana telah ada kerajaan besar dengan kebudayaan yang sudah maju bahkan menjadi kiblat dari kebudayaan di nusantara, seperti Mataram Hindu, Medang, Singasari, Kediri, Majapahit.
Salah satu hasil kebudayaan yang sudah menjadi satu institusi yang sangat kuat di pulau Jawa adalah kebudayaan wayang. Masyarakat Jawa hampir tidak bisa lepas dari wayang dalam kehidupan sehari-hari karena wayang menjadi filosofi, menjadi hiburan, menyelesaikan masalah, teladan kehidupan, sampai menjadi bagian dari suatu ibadah.
Seperti disebutkan dalam sebuah prasasti masa Raja Balitung pada tahun 903 yang menyatakan “mawayang buat Hyang Macarita Bhima ya kumara”. Yang dapat diterjemahkan “mementaskan wayang buat Dewata dengan cerita Bima waktu muda”.
Karena kondisi seperti itu, maka para wali mengambil langkah bijak dalam kebudayaan wayang itu dengan berbagai langkah yang tidak menyingkirkan atau menghancurkan wayang, melainkan membuat komposisi ulang dari wayang tersebut disesuaikan dengan visi misi kesultanan Demak yang berdasarkan ajaran agama Islam.
Proyek ini merupakan satu proyek kebudayaan besar butuhkan kearifan dan kecendekiaan dari para sunan yang menjadi ujung tombak dari proyek kebudayaan itu.
Proyek besar tersebut kemudian diserahkan kepada Sunan Kalijaga dengan beberapa alasan.
Alasan pertama Sunan Kalijaga adalah pribumi Jawa keturunan Majapahit dan menguasai seni budaya jawa pada waktu itu.
Alasan kedua sunan Kalijaga adalah seorang yang sudah memiliki pengalaman lapang baik pengalaman lapang positif maupun negatif, bahkan dalam sejarah kehidupannya Dia pernah menjadi berandal yang suka merampok orang-orang dalam perjalanan.
Alasan ketiga bahwa Sunan Kalijaga kehadirannya sangat berterima di masyarakat dia dapat bergaul dengan masyarakat tinggi dan rendah serta mendapat penghormatan sebagai seorang bangsawan.
Proyek pertama yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah mendistorsi tokoh Pandawa karena Pandawa itu merupakan tokoh idola masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga menciptakan lakon carangan berjudul kitab Jamus Kalimasada.
Proyek besar tersebut diawali ketika peresmian Masjid Demak pertama yang bertepatan dengan salat Jumat. Para wali dan Sultan Fatah telah setuju sehabis salat Jumat diadakan pertunjukan wayang dengan lakon Kalimosodo Kajarwa dengan dalang Sunan Kalijaga.
Lakon ini menceritakan tentang pertemuan Sunan Kalijaga dengan Yudistira yang meminta untuk dibacakan isi kitab Kalimasada. Diceritakan bahwa atas perintah Sang Hyanmg Wenang, yudistira pergi melanglang Pulau Jawa untuk mencari seorang pendeta yang dapat menjelaskan isi dari azimat yang dipakainya. Akhirnya, yudistira ketemu dengan Sunan Kalijaga dan setelah azimat dari kertas emas itu dibuka maka isinya adalah syahadat. Yudistira kemudian dituntun membaca
syahadat tersebut dan setelah membaca syahadat tersebut dia meninggal dunia.
Pementasan wayang tersebut terjadi sama dengan berdirinya masjid Demak tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi dengan sengakalan “Lawang trus gunaning jalmi”. Sengakalan tersebut sebenarnya menjadi doa, bahwa berdirinya masjid Demak ibarat pintu yang akan berguna bagi manusia. Dalam Serat Centhini pupuh pangkur disebutkan isi Jamus Kalimasada sebagai berikut.
24. Sampeyan mugi sumrêpa | milanipun jimat dipun wastani | inggih kang Pustaka-jamus | têgêsipun punika | layang irêng tulisipun rupa pingul | mila ran Kalimasada | kalimah Sahadat yêkti ||
25. Kalimah Sahadat mangkya | wus kalampah dènagêm dèn ugêmi | dening tiyang ingkang sampun | manjing agami Islam | miwah dipun wastani agama Rasul | sarengat punika mangka | baboning ngèlmu sajati ||
26. Angsal saking Nabiyolah | Gusti Kangjêng Nabi Rasulollahi | kêkasihira Hyang Agung | tuhu ingkang kinarya | dutaning Hyang panutup Nabiyollahu | ugêr tyang agama Islam | saha sampun putus maring ||
27. Ngèlmu tamtu kang winawas | suraose Kalimah Sahadati | dumadi êning tyasipun | sagêd sampurnèng pêjah | mantuk maring asaling kamulanipun | ing riku Sri Yudhisthira | langkung trustha ing panggalih ||
Tuanku semoga paham. Maka jimat disebut Pustaka Jamus artinya surat hitam tulisan Arab Gundul. Disebut Kalimasada artinya kalimat sahadat. Kalimat sadahat diyakini orang yang memeluk Islam. Syariat tersebut sumber ilmu sejati, yang diperoleh dari Nabi Muhammad, sebagai penutup Nabi.
Setiap orang Islam yang sempurna pasti paham makna kalimat sahadat. Dapat menjadikan tenang hatinya sehingga dapat meninggal dengan sempurna, kembali ke asal usul. Yudhistira menjadi gembira hatinya. Makna simbolis lakon ini bahwa Yudistira adalah seorang muslim Karena dia sudah membaca kalimat syahadat. Langkah besar Sunan Kalijaga sudah terlaksana yaitu berhasil mengislamkan Yudistira sebagai orang tertua dari Pandawa.
Selanjutnya, Pandawa ini akan dijadikan sebagai nenek moyang para raja-raja Tanah Jawa. Tidak ada yang merisaukan toh mereka sebenarnya satriya-satriya yang diberkahi oleh “kalimat sahadat”. Langkah Islamisasi selanjutnya ialah dengan menjumpai Raja Brawijaya, raja Majapahit terakhir. Dengan dalih bahwa Sultan Demak adalah putra majapahit, maka Brawijaya bersedia masuk Islam. Serat Darmogandul menyebutkan Brawijaya V diislamkan di Blambangan kemudian
memberi gelar Maulana Hasanuddin dan meninggal pada tahun 1478. Pernyataan masuknya Islam Brawijaya itu dinyatakan dalam pupuh sinom baik 57-58
Serat Darmogandhul sebagai berikut.
57. sukèng tyas Sang Brawijaya | mèsêm angandika aris | nyata bênêr Sahit gampang | ngèlmune wong Ngêsam iki | bêcik ing dina iki | ingsun ngrasuk sarak Rasul | nêbut asmaning Allah | Pangeran ingkang sajati | saksènana iki Sahit Islam ingwang ||
58. Sunan Kali tur sandika | sang prabu ngandika malih | yèn wus Islam jênêng ingwang | sun kondur mring Majapait | pasrah kaprabon mami | Si Patah kang ingsun junjung | amêngku tanah Jawa | nuhoni kaprabon mami | sun mandhita gunung Pacêt kang sun sêdya ||
Kalimat tersebutpat diterjemahkan bahwa Hati Brawijaya senang dan tersenyum. Bahwa masuk Islam itu gampang. Baik hari ini aku masuk agama Rasul, menyebut nama Allah, Tuhan yang sejati, saksikanlah wahai Sahid (Sunan Kalijaga) tentang keislaman saya. Sunan Kalijaga menjawab baiklah. Kalau aku sudah Islam, aku kembali ke Majapahit, menyerahkan kerajaan saya, Raden Patah yang saya angkat sebagai raja tanah Jawa. Sy akan menjadi pendeta di Gunung Pacet. Demikian Brawijaya sudah disilamkan oleh Sunan Kalijaga. Namun dua hamba Brawijaya menolak diajak masuk Islam, Nayagenggong dan Sabda Palon.
Selanjutnya Sunan Kaliga secara intensif menggarap wayang dan mengadakan sanggit-sanggit baru untuk menyesuaikan dengan kondisi keislaman. Menurut Wikipedia, salah satu lakon carangan karya Sunan Kalijaga adalah Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.
(*) Guru Besar Ilmu Budaya, Fak Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret