Prof. Dr. Bani Sudardi,M.Hum; Kontroversi Baju Antakusuma Antara Baju Taqwa dan Baju Kesaktian
KONTROVERSI BAJU ANTAKUSUMA ANTARA BAJU TAQWA DAN BAJU KESAKTIAN
Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum (*)
PRABANGKARANEWS || Ketika seorang dalang mendeskripsikan tentang Raden Gatotkaca maka diantaranya kemampuan Raden Gatotkaca ialah iso meletik tanpa suthang iso mabur tanpa lar amargo amarga dayaning pusaka kutang antakusumo.
Demikianlah dalang Jawa telah membuat sanggit baru tentang Gatotkaca yang berbeda dengan sanggit dari India. Dalam tradisi India Gatotkaca digambarkan sebagai seorang raksasa yang tinggi besar berkepala botak. Sementara dalam sanggit Jawa Gatotkaca memang berasal dari seorang raksasa yang lahir dari rahim Dewi Arimbi, namun Gatotkaca telah diperbaiki penampilannya oleh para dewa di antaranya dengan cara memotong taring kemudian menutup wajahnya dengan topeng waja sehingga penampilan Gatotkaca menjadi seorang satria tetapi tidak pernah bisa tersenyum karena wajahnya tertutup oleh topeng baja.
Sejak zaman pemerintahan Sri Jayabhaya (1135-1159) dari Kediri tokoh Gatotkaca ini sudah digemari. Setidaknya, sudah dimunculkan sebuah kakawin dengan judul Gatotkacasraya. Kakawin Gatotkacasraya ini menceritakan tentang perkawinan Abimanyu atau Angkawijaya dengan Siti Sundari. Inti pokok dari cerita ini adalah peran Gatotkaca yang membantu Angkwijaya di dalam melancarkan perkawinannya tersebut.
Dalam cerita pewayangan gaya Mataram, tokoh Gatotkaca mendapat sanggit yang luar biasa dengan munculnya sebuah lakon baru yang berjudul Gatotkaca lahir. Lakon ini menampilkan sebuah motif yaitu digunakannya kawah Candradimuka sebagai sarana untuk menggembleng seorang calon jago. Dalam cerita Gatotkaca lahir ini terdapat satu peristiwa-peristiwa luar biasa. Yang pertama adalah puser atau tali pusat Gatotkaca selama satu tahun tidak bisa dipotong.
Pada waktu bersamaan dewa juga akan memberikan senjata kunta kepada Arjuna. Karena wajah Arjuna dengan wajah Basukarna itu mirip, maka Batara Narada yang disuruh menyampaikan senjata tersebut memberikan senjata dewa itu kepada Basukarna. Untunglah Arjuna segera mengetahui dan mengejar Basukarna serta berhasil merebut senjata itu meskipun hanya kerangkanya. Anehnya kerangka itu dapat digunakan untuk memotong pusar Gatotkaca dan kemudian hilang menyatu dengan tubuh Gatotkaca.
Setelah itu Gatotkaca dibawa ke Kayangan dan dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka supaya menjadi sakti mandraguna. Batara Guru memberikan hadiah berupa kutang antakusuma yang berguna sebagai sarana untuk terbang tanpa sayap. Pusaka inilah yang sering disebut oleh para dalang sebagai pusaka istimewa kepunyaan Gatotkaca. Dalam tradisi Jawa, Gatotkaca merupakan jago para dewa dalam menghadapi musuh yang hendak menyerang Suralaya. Cerita ini satu motif dengan cerita Arjunawiwaha.
Yang menarik bahwa baju anta Kusuma atau sering disebut kotang antrakusuma, baju gundil, baju taqwa ini juga dimiliki oleh Sunan Kalijaga. Sampai saat ini, pada setiap bulan besar ahli waris Sunan Kalijaga mengadakan acara jamasan atau pembersihan kotang ontokusumo tersebut.
Cerita tentang topeng antrokusumo atau ontokusumo ternyata memiliki kaitan dengan sejarah Islamisasi wayang di Jawa. Dalam Serat Walisana disebutkan bahwa para wali memperoleh anugerah berupa sebuah baju taqwa atau baju gundil atau kutang ketika peresmian Masjid Demak. Semua wali ketika mencoba baju tersebut tidak ada yang pas kecuali satu yaitu ketika dicoba oleh Sunan Kalijaga maka baju tersebut menjadi pas sehingga para wali memutuskan agar baju gundil tersebut diberikan kepada Sunan Kalijaga.
Nah, itulah sebabnya sampai saat ini di Kadilangu masih ada tradisi jamasan baju ontokusumo yang diadakan pada setiap hari raya Idul Adha. Tradisi jamasan tersebut dilakukan secara turun-temurun oleh keturunan Sunan Kalijaga dan kerjasama dengan Keraton kasunanan Surakarta.
Pertanyaannya lalu sebenarnya apakah baju gundil atau baju antakusuma tersebut? Sebutan antakusuma tersebut sebenarnya berkaitan dengan sebutan dalam serat Wedhatama
“agama ageming;. Baju antakusuma artinya adalah baju para bangsawan. Bangsawan di sini tidak selalu diartikan sebagai keturunan para raja, melainkan juga diartikan sebagai orang yang mengetahui hakikat hidup”
Dari diskripsi yang didapat dari baju antakusuma milik Sunan Kalijaga adalah sebuahbaju dari kulit kambing. Baju ini adalah baju khas pakaian para sufi yang disebut sebagai suf. Konon baju ini juga dipakai oleh Nabi Muhammad sebagai simbol dari kehidupan yang sederhana.
Diserahkannya baju dari kulit kambing kepada sunan Kalijaga merupakan simbol bahwa Sunan Kalijaga adalah sunan yang kuat untuk menerima laku kesufian. Perhatikan kutipan pupuh Pangkur dalam Serat Walisana berikut.
“ing jêro isi rasukan | dhapur takwa ana isine tulis | lorodan agêm jêng rasul | dene kang ginadhuhan | Sèkh Malaya Suhunan Kalijagèku | Sinuhun Benang ngandika | lah nêdha ki jêbèng Kali || sira ingkang dhinawuhan | Sunan Kali sujud sarwi ngadhêpi | sigra andonga tafakur | ngungun wali sadaya | Sunan Benang alon pangandikanipun | punika Antakusuma | lêlangsarane jêng nabi || ulêse iku pan iya | walulange wêdhus kongsi barindhil | puniku salaminipun | kinarya pasalatan | kangjêng nabi lah iya karyanên iku | kulambi kang dhapur takwa | dene kang anganggo benjing || kang mbêkêli tanah Jawa | sapa ingkang dadi ratu ndarbèni | Ki Gondhil arane iku | Sunan Kali tur sêmbah | wus mangkana lamine datan winuwus | Suhunan Ngudung tinêdah | nglurug marang Majapait ||”
Sunan Kalijaga tidak hanya melakukan ritual syariat sebagai para sunan yang lain, melainkan juga menjalankan suatu ritual makrifat sehingga secara hakikat Sunan Kalijaga bisa menerima penjelasan dari Syekh Siti Jenar, meskipun hal itu dianggapnya kurang tepat karena termasuk sebagai pelaku minyak warono gaib (membuka rahasia gaib). Dapat diduga bahwa deskripsi Gatotkaca yang menggunakan kutang antakusuma diperkirakan muncul sekitar pada masa kerajaan Demak. Deskripsi itu untuk menggambarkan bahwa orang yang sudah mencapai tataran makrifat, ibaratnya bisa terbang ke langit menemui Tuhannya sebagaimana disebutkan asshalatu mikratul mukmini; bahwa shalat itu mikrajnya orang mukmin.
Karena itu baju Anta Kusuma juga disebut sebagai baju taqwa, istilah ini sebenarnya mengambil dari terminologi dalam Alquran libasut taqwa atau pakaian taqwa yang terdapat dalam surat Al Araf ayat 26. Dalam tuntunan ajaran Islam, makna pakaian tersebut sangat luas yang kesemuanya dapat menggambarkan pada ketakwaan.
Pakaian yang baik menunjukkan ketakwaan seseorang, pasangan yang baik juga menunjukkan ketakwaan seseorang. Iman, taqwa, dan amal shaleh adalah jenis- jenis pakaian kerohanian yang menuntun manusia pada perbuatan yang diridhoi Allah SWT.
(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Univ ersitas Sebelas Maret dan Dewan Pakar SENAWANGI, Jakarta.
