KANCIL DI JAWA MEMILIKI SILSILAH, CUCU SEORANG PENDETA
Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret
Cerita tentang kancil atau pelanduk merupakan suatu cerita yang sangat terkenal di Indonesia. Dalam sastra Jawa cerita itu dikenal dengan nama dongeng Kancil, salah satu cerita yang sangat terkenal adalah kancil mencuri timun. Sampai-sampai muncul sebuah lagu yang ditulis oleh Ibu Sud yang berjudul kancil. Teks tersebut berbunyi: “Si kancil anak nakal, mencuri ketimun, ayo lekas diburu, jangan diberi ampun”.
Tentu saja lagu ini saat ini tidak relevan, karena kancil merupakan salah satu binatang yang dilindungi di Indonesia karena jumlahnya yang tinggal sedikit. Peraturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Cerita Kancil yang kita kenal selama ini adalah cerita kancil dalam interaksinya dengan binatang hutan yang lain seperti kancil berlomba dengan keong, kancil menipu buaya, kancil menipu banteng, kancil menipu gajah, kancil menipu Harimau, dan sebagainya.
Dalam sastra Melayu cerita kancil atau disebut pelanduk ditunjukkan kancil sebagai binatang yang sangat cerdas dan dapat merajai binatang-binatang sehingga ia bergelar “syaikh alim di rimba” (Dipodjojo, 1966). Cerita kancil yang demikian sering disebut fabel. Setiap bangsa memiliki fabelnya sendiri yang kadang memiliki bentuk yang sama. Cerita kancil berlomba lari dengan kura-kura, di Jawa dimunculkan kacil berlomba dengan siput.
Di India lomba lari itu berlaku untuk garuda dan kura-kura, sementara di Eropa, lomba tersebut terjadi antara kura-kura dan kelinci (Fang, 2011). Menurut Hooykas, sebagian besar cerita-cerita binatang berasal dari India, kemudian menyebar Asia dan Eropa. India adalah tempat asal cerita binatang yang sangat terkenal seperti seperti Jataka, Pancatantra, dan Sukasaptati (Hooykaas, 1951).
Di India cerita binatang merupakan bagian dari kepercayaan. Dalam agama Budha dipercaya bahwa binatang adalah reinkarnasi dari manusia, atau manusia reinkarnasi dari binatang. Ternyata kancil di Jawa memiliki silsilah yang unik. Dalam sebuah naskah Jawa berjudul Dongeng Kancil yang ditulis oleh Nataseputra yang diterbitkan tahun 1897 abdi dalem dari Pura Pakualaman.
Dalam cerita kancil tersebut disebutkan bahwa kancil adalah anak dari Dewi Sungkawa, sementara kakeknya seorang pendeta yang tidak disebutkan namanya. Peristiwa aneh terjadi, Dewi Sungkawa hamil tanpa suami seperti cerita berikut.
Ing jaman kuna ana pandhita duwe anak wadon isih kênya, aran Dèwi Sungkawa. Kacarita Dèwi Sungkawa rumasa anggarbini tanpa karana. Sarèhning cahya sarta warnane Dèwi Sungkawa mau amratandhani yèn yêkti anggarbini, panyakrane sang pandhita putrane laku cidra, banjur tinakonanan,[1] mungguh ature Dèwi Sungkawa ora rumasa laku cidra, bokmanawa wus karsaning Dewa Linuwih dene anggarbini tanpa karana. Pangandikane sang pandhita mokal bangêt manawa mangkonoa, ora ana gêni tanpa kukus, sanajan saka karsaning Dewa iya nganggo pinaringan jalaran, marmane kang putra pinurih prasaja, bokmanawa kêna sinampurnakake, ananging Dèwi Sungkawa isih kêncêng ora rumasa, sarta angaturake upata akèh-akèh.
Di jaman dahulu ada pendeta memiliki anak perempuan masih perawan, bernama Dewi Sungkawa. Diceritakan Dewi Sungkawa merasa hamil tanpa sebab. Karena cahaya dan warnanya Dewi Sungkawa menandakan hamil, dugaan sanga Pendeta anaknya berlaku buruk, lalu ditanyai, sementara jawaba Dewi Sungkawa bahwa ia tidak merasa berlaku buruk, mungkin sudah kehendak Dewa Linuwih bahwa ia hamil tanpa sebab. Kata sang Pendeta bahwa tidak mungkin kalau demikian, tidak ada api tanpa asap, meskipun atas kehendak Dewa pasti melalui sebab, karena itu putranya diminta terus terang, mungkin dapat diperbaiki, namun Dewi Sungkawa tetap kuat tidakmerasa, serta banyak menyampaikan kata-kata (Natasêputra, 1897) .
Pendeta itu lalu mengusir Dewi Sungkawa sehingga Dewi Sungkawa hidup menderita di dalam hutan. Ketika usia kandungan sudah sembilan bulan, maka ia melahirkan. Yang lahir bukan manusia, tetapi seekor kancil. Setelah melahirkan Dewi Sungkawa meninggal dan jenasahnya hilang musna. Kancil kemudian hidup sendirian di hutan. Ia lalu mengembara dan terjadi interaksi dengan berbagai binatang. Ia sering mengaku dekat dengan Nabi Sulaiman yang dalam kisah agama Islam disebutkan sebagai nabi yang memahami bahasa binatang.
Yang menarik adalah kisah tentang akhir kehidupan kancil. Dalam perjalanannya, kancil sampai ke negeri Mesir. Kerajaan Mesir sedang mengadakan sayembara memperebutkan anak raja Mesir yang bernama Sang Rêtna Sêtyapraba dan memiliki abdi bernama Jelamprang. Di kerajaan Mesir ini, kancil menjadi binatang kesayangan putri raja. Raja Mesir sangat bingung dalam menentukan 4 raja yang bersaing ingin memperebutkan Retna Setya Praba. Raja Mesir menuruti saran kancil agar 4 raja yang bersaing ingin memperebutkan Retno Setypraba tersebut diadu dan siapa yang menang maka dia yang berhak mempersunting putri Mesir tersebut.
Laporan tersebut segera dibantah oleh kancil bahwa peperangan masih berlangsung serta belum ada pemenangnya. Mengetahui bahwa kancil telah mematahkan laporan tersebut, maka para bubah sunanda sangatlah marah dan dendam kepada kancil. Karena itu ia ingin sekali menangkap kancil. Selanjutnya dia selalu berusaha agar dapat membalas dendam kepada kancil. Prabu Basunanda melaporkan kepada raja Mesir bahwa ia ingin menangkap kancil. Mendengar hal tersebut, kancil segera memberitahu raja Mesir untuk menghadapi Prabu Basunanda . Ia meminta Basunanda menangkap sendiri. Setelah berusaha menangkap, ternyata tidak berhasil karena gesitnya si Kancil.
Diceritakan bahwa Retna Setyapraba marah dan mengusir Jelampram, abdinya karena abdi tersebut membenci Kancil. Jelamprang lalu datang kepada Prabu Basunanda serta memberitahu kelemahan kancil. Jelamprang memberi nasihat agar menangkap kancil dengan menggunakan jaring dari sutra dan ternyata setelah ditangkap dengan jaring dari Sutera kancil merasa tanpa daya. Prabu Basunanda kemudian menyembelih kancil tersebut dengan pedangnya. Aneh, bahwa kancil tersebut ternyata berdarah putih. Kematian kancil membuat Retnapraba sangat sedih.
Sang Rêtna bangêt angrêdatin, barêng midhangêt yèn kalangênane Kancil kinaniaya dening Prabu Basunănda. Solah bawane Kancil tansah agawang-gawang, yèn sang rêtna kèlingan ora bisa anyabili sêkêling panggalihe, asring banjur angrêntahake waspa saka bangêt kagungane panggalih wêlas marang Si Kancil. Sang Retna sangat sedih, setelah mendengar binatang kesayangannya Kancil dianiaya oleh Prabu Basunanda. Perilaku kancil selalu terbayang-bayang, kalau sang Retna terbayang tidak dapat menghilangkan sedihnya hati, lalu sering meneteskan air mata akibat sangat memiliki kasih sayang kepada kancil (Natasêputra, 1897).
Diceritakan bahwa pemenang dari pertandingan memperebutkan Putri Retna Setyapraba adalah Prabu Angendari. mereka hidup bahagia selama-lamanya. Demikian cerita unik tentang kancil dari sastra Jawa. Ternyata cerita kancil masih menyimpan beberapa hal yang belum banyak dikenal oleh masyarakat. Kancil ternyata memiliki silsilah serta memiliki cerita perjalanan panjang sampai ke negeri Mesir. Tentu saja cerita tersebut merupakan cerita fantasi yang mencerminkan
kreativitas pada zaman itu.
DAFTAR PUSTAKA
Dipodjojo, A. S. (1966). Sang Kantjil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. Gunung Agung.
Fang, L. Y. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Hooykaas, C. (1951). Perintis Sastra. J.B. Wolter-Groningen.
Natasêputra, R. M. D. M. (1897). Kantjil – Geschiedenis. Pakualaman.