Tari Keling: Warisan Seni Tradisional dari Ponorogo yang Sarat Makna

Tari Keling: Warisan Seni Tradisional dari Ponorogo yang Sarat Makna
SHARE

PONOROGO, PRABANGKARANEWS || Tari Keling, sebuah kesenian tradisional yang memiliki perpaduan unik antara unsur mistis dan humor, dikenal dengan kostum serta para penarinya yang menampilkan tampilan seram namun menghibur. Kesenian ini tidak hanya menggambarkan keunikan dari segi fisik, tetapi juga menyimpan sejarah yang mendalam di baliknya. Istilah “Keling” sendiri dapat diartikan sebagai hitam dalam bahasa Sanskerta, atau merujuk pada “keliling” karena para penari menari dengan bergerak membentuk lingkaran. Selain itu, ada yang menghubungkannya dengan nama kerajaan Kalingga.

Kesenian ini berasal dari Dusun Mojo, Desa Singgahan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Didirikan oleh Mbah Kasan Ngali dan Mbah Silas pada tahun 1942, Tari Keling muncul di tengah masa sulit ketika wilayah tersebut dilanda paceklik akibat kemarau panjang. Kesenian ini menjadi solusi kreatif untuk menghibur masyarakat dengan biaya rendah namun mampu melibatkan banyak orang. Menurut penuturan Mbah Warni, menantu dari Mbah Kasan Ngali, kelompok ini dibentuk dengan peralatan sederhana dan berlatih di dalam rumah, hingga akhirnya dinamakan Tari Keling. Seiring waktu, kelompok ini dikenal dengan nama Guno Joyo.

Baca Juga  Pangkoarmada II Terima Kunjungan PT. Falcon Picture

Sederhana namun penuh makna, Tari Keling dimainkan oleh delapan laki-laki dewasa yang berpasangan. Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, bedug, dan kentongan, dengan irama yang khas, yaitu bunyi “dor”. Kostum penarinya juga mencerminkan kesederhanaan dengan bahan-bahan seperti irah-irahan dari bulu ayam, rok janur, serta wajah yang dirias dengan gaya raksasa (buto) menggunakan warna dominan merah, hitam, dan putih. Properti yang digunakan dalam tarian ini meliputi pentungan, gada, pedang, tombak, dan panah.

Tari Keling kaya akan gerakan simbolik, seperti “iring-iringan” yang menggambarkan barisan prajurit, “dugangan” yang menunjukkan posisi kuda-kuda berhadapan, dan “sabung” yang menampilkan adegan perang dengan properti yang dibawa oleh para penari. Level gerakan tarian ini bisa dilakukan dengan rendah atau tinggi, tergantung pada adegan yang ditampilkan.

Baca Juga  Situs Makam Eyang Hadi Moyo, Desa Mantren Punung, Pacitan

Selain penari prajurit, terdapat tokoh penting yang membawa miniatur tugu atau gapura, yang disebut “Kerun”, terbuat dari daun aren. Kerun ini melambangkan keberhasilan menaklukkan musuh, dan pemikulnya adalah tokoh utama yang biasanya memerankan Syeh Subakir, sosok yang berhasil menaklukkan kekuatan jahat seperti raksasa dan gondoruwo. Ada pula tokoh emban, yaitu pengasuh puteri yang ditampilkan dengan karakter wajah lucu dan berperan dalam memberikan hiburan.

Hingga kini, Tari Keling mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk dinas kebudayaan yang menetapkannya sebagai salah satu kesenian khas Ponorogo, selain Reog, Gajahan, dan Unta-untaan. Kesenian ini sering tampil dalam berbagai festival besar, seperti perayaan hari jadi Ponorogo. Keunikan dan daya tarik Tari Keling bahkan menarik perhatian para peneliti dari luar daerah, yang mempelajarinya untuk keperluan penelitian dan tesis. Kehadirannya membuktikan bahwa kesenian tradisional terus hidup dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Baca Juga  Dukungan Penuh MAKI Terhadap Kejaksaan Agung dalam Kasus Korupsi Johnny G Plate

Tari Keling bukan hanya warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan estetika, tetapi juga menjadi sarana hiburan yang menggelitik rasa ingin tahu dan mengundang kekaguman siapa pun yang menyaksikannya.

Sumber: Asliponorogo