Refleksi Cerita Dasamuka Gugur Angkara Murka Pasti Hancur

Refleksi Cerita Dasamuka Gugur Angkara Murka Pasti Hancur
SHARE

Oleh: Prof. Bani Sudardi

Guru Besar FIB Universitas Sebelas Maret

Di dalam puri istananya prabu Dasamuka benar-benar merasa sedih. Satu demi satu keluarganya tewas di medan laga melawan pasukan kera pimpinan Sri Rama Wijaya. Dalam batin sebenarnya ada penyesalan, karena orang-orang yang disayangi dan menyayanginya menjadi hilang. Terbayang di wajahnya wajah Patih Prahasta, wajah Kumbakarna, dan wajah anak-anaknya seperti Indrajit, Trisirah, dan Trisila. Teringat orang-orang dekat seperti Trikaya dan Dewantaka. Atau wajah keponakannya anak Kumbakarna yang kembar Aswani Kumba dan Kumba-kumba.

Teringat akan Indrajit hatinya benar-benar teriris karena dialah pangeran Pati yang ia siapkan untuk mengganti dirinya menjadi prabu di Alengkadiraja. Sekarang semuanya gugur akibat keserakahan dirinya memperebutkan Dewi Sinta.

Kemudian muncullah juga di ingat tanya wajah Wibisana adiknya satu-satunya yang masih hidup. Tetapi muncullah rasa kebencian kepada adiknya yang sudah memberikan banyak nasihat, meskipun sekarang terasa bahwa nasihat-nasihat itu benar adanya. Tetapi kalau tidak karena Wibisana ini, tidak mungkin pasukan Dasamuka dapat dikalahkan. Apalagi kesaktian Indrajit yang memiliki senjata dari para dewa. Panah naga pasa dan ajian megananda hanya Wibisana yang tahu rahasianya. Satu-satunya yang dapat melawan ajian megandanda hanyalah Wibisana karena dialah satu-satunya orang di dunia yang mengasai aji dipa.

Tetapi mungkinkah untuk mengakhiri perang. Tidak. Kata hati Dasamuka. Siapakah yang dapat mengalahkan aku? Aku memiliki pusaka  Kyai Candrasa, pedang Sokayana, Pedang Mentawa, Guntur Geni, Aji Pancasowa dan Aji Rawe Rontek. Dasamuka merasa tetap sebagai ratu mahasakti. Jangankan monyet, Dewa pun  takluk .

Baca Juga  Ketua STKIP PGRI Pacitan Monitoring Mahasiswa KM 5 Penugasan SDN 2 Borang

“Aku bisa terkena sakit, tetapi tidak bisa terkena pati. Rawe rontek dan Pancasona, siapa akan menandingi? Sungguh aku akan nadhang wirang bila Dasamuka sampai lari dari medan laga,”katannya dalam hati.

Maka segera diperintahkan lah para penggawa untuk menyiapkan prajurit dan kereta kencananya. Keluarlah Dasamuka dari Puri istananya. Keretanya gumbebyar. Tetapi ada peristiwa aneh, ketika Dasamuka keluar ke Medan laga tiba-tiba terjadi gerhana matahari sehingga dunia menjadi gelap. Menurut kepercayaan di Alengka, ini adalah simbol dari akan kalahnya Dasamuka di medan laga.

“Gusti Prabu. Alam sudah memberikan pralambang gerhana. Ini pertanda buruk Gusti Prabu. Baik Gusti Prabu mundur dari medan laga demi keselamatan nyawa Gustiku,” kata Tejamantri atau Ki Lurah Togog.

“Diam kamu Tejamantri. Siapakah yang dapat mengalalahkan Dasamuka. Akulah raja 3 dunia yang belum pernah terkalahkan,”katanya.

“Eling-eling Gusti. Gusti pernah dikalahkan Prabu Arjunawijaya diikat panah rantai,”kata Tejamantri.

“Huss, itu peristiwa masa lalu. Sekarang beda! Wahai Togog goblog!” bentaknya.

Tejamantri diam saja. Sebagai panakawan tua yang sudah mendampingi raja-raja Alengka dari zaman Prabu Sumali, Togog sudah paham kehidupan. Kesombongan hanya akan membawa kepada kehancuran.

Peperangan sengit segera terjadi. Sugriya yang memimpin sendiri di medan laga. Banyak menewaskan pasukan denawa. Ditambah lagi amukan Hanoman yang menjadi pasukan  Alengka makin terdesak. Melihat Kakanda Prabu maju di medan laga, Wibisana segera mendekat Sri Rama. Wibisana memberi pepeling kepada Sri Rama dan Hanoman agar Dasamuka dipanah lehernya, dan setelah kepalanya terpisah, maka meminta Hanoman untuk menimbun dengan Gunung. Dengan cara itu, Aji Pancasona Angin dan Rawerontek tidak akan berdaya karena jasadnya tidak terkena angin dan kepalanya   terpisah.

Baca Juga  Lingkungan Hidup, Budayawan Putu Suasta; Prihatin Pengelolaan Sampah di TPA Suwung Denpasar

Dasamuka marah besar banyak pasukannya mati oleh pasukan kera. Ia kemudian memperintahkan para punggawa untuk maju.

“Hai punggawaku Gathodara,  Maodara dan Wilohitaksa ayo jangan ragu-ragu. Majulah bersama,” kata Dasamuka membari komando.

Para punggawa raseksa pun segera maju bersama mengamuk. Tetapi Sugriwa dan Hanoman sudah siap tanding. Dalam sekejab, tiga punggawa Dasamuka dihabisi oleh Sugriwa dan Anggada. Menjadi marah besarlah Dasamuka yang digambarkan  dalam suluk tembang Pangkur berikut.

Ooooooooong

krura muntab Dasamuka

tyas ruara galak sakala angrik

wutah kasudiranipun

kadya anglêburêna

marang bala wanara tapis amusus

sadina mêngko kewala

nora nganti dina malih

Melihat kemarahan Dasamuka, maka Sri Rama segera bersiap-siap. Di kanan Sri Rama didampingi oleh Lesmana dan di kiri Wibisana siap menjaga. Dasamuka segera mengambil panahnya dan ketika panah dilepaskan, maka keluarlah semua binatang hutan badak gajah harimau singa maju mengamuk di Medan laga membuat segenap pasukan kera kocar-kacir. Tidak menunggu lama, Sri Rama segera melemparkan panah penolak sehingga binatang hutan itu lenyap seketika.

Dasamuka mengeluarkan segenap pengajian yang mengagetkan seperti angin, gunung, dan sebagainya. Tetapi semua itu dapat dikalahkan oleh panah Wibisana yang memang sudah mengetahui semua rahasia ajian Kakanda tersebut. Dasamuka kemudian melemparkan senjata konta. Senjata melesat mengarah ke dada Sri Rama. Tiba-tiba Lesmana meloncat dan membentengi Sri Rama. Maka tertembuslah dada Lesmana oleh senjata konta lalu dia jatuh tersungkur. Semua kaget dan menangis, tapi Wibisana segera mencabut senjata itu dan mengusap luka yang diderita oleh Lesmana. Seketika Lesmana sembuh dan bangun siap di medan laga lagi. Sudah habis keluar semua kesaktian Dasamuka. Tetapi yang luar biasa, setiap kali kepalanya terpenggal, berkat Aji pancasona, Dasamuka bisa hidup kembali. Sesuai saran Wibisana, maka Sri Rama pun menggunakan Aji Pamungkas berupa panah Guwawijaya. Putuslah leher Dasamuka, lalu segeralah Hanoman menimbun dengan gunung agar jasad Dasamuka agar tidak hidup kembali. Tewaslah Dasamuka dan lenyaplah kotoran dunia.

Baca Juga  Buku "Sekar Macapat" dalam Babad Tlatah Pacitan dan Hubungannya dengan Kerajaan Yogyakarta

Sri Rama segera menjemput Sinta. Dia tidak mau berlama-lama di Alengka.

“Saya tidak ingin merebut Alengka. Aku hanya ingin menegakan kebenaran. Mengambil hak atas istriku,” kata Sri Rama.

“Wahai Wibisana. Engkau kuangkat sebagai raja Alengka. Perintah lah negeri ini dengan adil dan bijaksana,” kata Sri Rama.

Wibisana hanya tertegun melihat akhir dari sebuah perjalanan yang sangat menyakitkan ini. Tetapi ia pun bersyukur, bahwa angkara murka di bumi sudah bisa ditumpas. Air matanya menetes. Teringat bahwa sumber angkara itu Kakaknya sendiri, kulit dagingnya sendiri, dan ia pun ingat dewata telah menjadikannya salah satu sarana untuk menghancurkan Dasamuka.

TANCEP KAYON .

URIP KUWI AJA ADIGANG ADIGUNG ADIGUNA. JALARAN GUSTI SING LUWING NGERTI BAKAL PARING PEPESTHI . BECIK KETITIK ALA KETARA