Mbok Rondo Dadapan: Kasih Ibu dari Pinggiran Negeri Panji
 
						PRABANGKARANEWS – Dongeng pengantar tidur dari Pacitan yang menyalakan cahaya kasih di tengah gelapnya malam tanpa listrik. Ketika kehangatan cinta seorang janda tua menyalakan cahaya di tengah gelapnya malam tanpa listrik
Di tengah perbukitan kapur dan hamparan bambu yang berdesir lembut di Desa Dadapan, Kecamatan Pringkuku, Pacitan, hidup kisah yang diwariskan dari generasi ke generasi—dongeng tentang Mbok Rondo Dadapan. Bukan sekadar cerita pengantar tidur, kisah ini adalah cermin nilai-nilai kasih sayang, kesetiaan, dan kebijaksanaan yang menjadi napas masyarakat Pacitan tempo dulu.
Pada era 1980-an, ketika listrik belum menjangkau pelosok desa, malam di Pacitan bukan sekadar waktu untuk beristirahat. Di teras rumah bambu atau di bawah cahaya lampu teplok, suara ibu dan nenek mendendangkan cerita—salah satunya kisah tentang Mbok Rondo, seorang janda tua yang hidup sebatang kara di tengah rimbunan hutan bambu.
Malam di Desa di Pacitan, era 1980-an, sebelum listrik masuk desa, cahaya malam hanya bersumber dari lampu teplok yang berayun lembut di beranda rumah bambu. Di situlah, kisah Mbok Rondo Dadapan sering dilantunkan para ibu dan nenek sebagai pengantar tidur anak-anaknya.
“Dulu, kalau malam, kami duduk melingkar di depan tungku,” kenang Mbah Giyem. “Nenekku suka bercerita tentang Mbok Rondo, janda tua yang hatinya selembut padi muda.”
Kisah itu bermula dari seorang perempuan tua bernama Mbok Rondo. Ia hidup sebatang kara di tengah hutan bambu yang oleh warga disebut dadapan. Setiap hari ia menenun tikar dan mengambil air dari sungai kecil yang mengalir di kaki perbukitan kapur. Meski hidupnya sederhana, Mbok Rondo dikenal baik hati dan tak pernah menolak siapa pun yang datang meminta bantuan.
Suatu pagi yang sunyi, Mbok Rondo mendengar suara tangisan bayi di dekat sungai. Ia bergegas menghampiri sumber suara itu. Di antara arus bening yang membawa dedaunan dadap, tampak seorang bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus.
“Astagaa… anak siapa ini?” ucap Mbok Rondo terkejut, mengangkat bayi itu dengan tangan gemetar. “Kau pasti lapar, Nak. Tenanglah, mulai sekarang aku yang akan menjagamu.”
Tanpa menyadari siapa sang bayi sebenarnya, Mbok Rondo membawanya pulang. Ia menamai anak itu Jaka Panji, karena kain pembungkusnya bertuliskan simbol kerajaan. Waktu berjalan, dan Jaka Panji tumbuh menjadi pemuda tampan, rajin, serta penuh sopan santun—buah dari kasih seorang ibu yang tulus tanpa pamrih.
“Mbok,” ujar Jaka Panji suatu hari, “aku sering bermimpi tentang istana, tentang tempat tinggi dengan bendera kuning bergambar burung garuda emas.
Apakah itu hanya mimpi, Mbok?”
Mbok Rondo tersenyum lembut sambil menatap wajah anak angkatnya.
Mungkin itu pertanda masa depanmu, Nak. Tapi ke mana pun kau pergi nanti, jangan lupakan siapa yang pertama kali menimangmu.”
Suatu sore, datanglah sekelompok prajurit kerajaan yang mencari putra mahkota yang hilang sejak kecil. Mereka membawa lambang yang sama seperti di kain yang dulu membungkus bayi di sungai. Setelah melalui tanda dan cerita, terungkaplah bahwa Jaka Panji adalah putra mahkota yang selama ini dicari.
Ketika kebenaran itu terungkap, suasana di rumah bambu menjadi haru.
“Jadi… kau bukan anakku?” tanya Mbok Rondo lirih.
Jaka Panji memeluknya erat. “Aku tetap anakmu, Mbok. Darahku mungkin dari istana, tapi kasih yang menumbuhkanku berasal dari hatimu.”
Keesokan harinya, para prajurit membawa Jaka Panji kembali ke istana.
Namun sebelum berangkat, ia berlutut di hadapan Mbok Rondo dan berkata, “Aku tak akan melupakanmu, Mbok. Kau ibu yang mengajarkanku arti cinta, kesabaran, dan kehidupan yang sederhana.”
Air mata menetes di pipi tua Mbok Rondo. “Pergilah, Nak. Jadilah raja yang bijak. Ingatlah, kekuasaan tanpa kasih hanya akan membuatmu kehilangan cahaya.”
Kisah ini hidup di hati masyarakat Pacitan sebagai bagian dari motif Panji, legenda klasik Jawa tentang kehilangan, pengembaraan, dan penemuan kembali jati diri. Dalam versi Dadapan, kisah Panji bukan tentang peperangan atau istana megah, tetapi tentang kasih seorang ibu yang tak pernah padam—bahkan tanpa darah yang sama.
Kini, di tengah kemajuan zaman, dongeng Mbok Rondo Dadapan tetap menjadi kisah yang bernafas di antara bambu-bambu tua dan perbukitan karst Pacitan. Ia adalah simbol kasih universal, tentang cinta yang melampaui garis keturunan dan derajat.
Seperti kata Mbah Partini di akhir ceritanya, “Bukan istana yang membuat raja besar, tapi hati ibu yang membesarkannya.”
Penulis: Tim Komunitas Pengembangan Sosial Budaya Pacitan
 
		
 
			