Tongkat yang Dibuang: Cermin Hakikat Manusia di Hadapan Allah
PRABANGKARANEWS – Ada satu kisah sederhana yang sarat makna tentang siapa sebenarnya kita sebagai manusia. Kisah itu dimulai dari seorang saudara kita yang tak bisa melihat—seorang tunanetra yang selama bertahun-tahun hidupnya berteman akrab dengan sebatang tongkat.
Tongkat itu menuntunnya menyusuri jalan-jalan gelap, menyingkirkan batu yang menghalangi langkah, dan menuntun setiap tapaknya menuju tempat yang aman. Ia menggantungkan hidupnya pada benda itu—bukan karena tongkat itu sakti, melainkan karena di sanalah ia menemukan arah dan rasa percaya diri untuk melangkah.
Namun ketika suatu hari Allah SWT menghendaki matanya sembuh, ketika ia mulai bisa melihat kembali dunia yang penuh warna, hal pertama yang dilakukannya adalah meletakkan tongkat itu. Ia menyingkirkannya ke sudut ruangan, bahkan mungkin melupakannya.
Tongkat yang dulu begitu berarti, kini dianggap tak lagi dibutuhkan.
Begitulah manusia.
Lupa Saat Terang Datang
Kita sering kali begitu, bukan?
Ketika hidup dalam keterbatasan, kita dekat dengan doa. Kita mencari Allah dalam setiap kesulitan, dalam setiap tangis malam, dalam setiap kebingungan yang mencekik dada. Tapi ketika terang datang—ketika doa terjawab, rezeki mengalir, dan mata hati terbuka—kita perlahan menyingkirkan “tongkat” yang dulu kita genggam erat.
Tongkat itu bisa mengandung makna seperti: kesabaran, doa, ibadah, bahkan rasa syukur.
Semua itu begitu kita butuhkan di masa sulit. Namun begitu Allah memberi kelapangan, kita merasa seolah bisa berjalan sendiri tanpa penuntun itu lagi.
Padahal, justru di saat terang itulah ujian sejati dimulai.
Allah tidak hanya menguji manusia dengan kekurangan, tetapi juga dengan kecukupan. Kadang, kehilangan bukanlah saat kita tak punya apa-apa — melainkan saat kita tidak lagi merasa perlu kepada-Nya.
Cermin Diri dan Kesadaran Hamba
Kisah tongkat yang dibuang itu seakan menjadi cermin bagi hakikat kita sebagai makhluk Allah SWT.
Kita hanyalah hamba yang selalu bergantung, namun sering merasa mampu berdiri sendiri.
Kita hanyalah penumpang sementara, namun kerap berperilaku seolah pemilik segalanya.
Dalam Al-Qur’an, Allah telah mengingatkan:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra: 11). Penjelasannya, sifat tergesa-gesa ini menyebabkan manusia sering kali memohon hal-hal yang buruk tanpa menyadari bahwa jika terkabul akan membawa kerugian baginya.
“Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa kesusahan, ia banyak berdoa.” (QS. Fussilat: 51). Penjelasannya, Ayat ini menjelaskan dua sisi sifat manusia yang kontras:
- Saat mendapat nikmat:Manusia cenderung berpaling (tidak mensyukuri) dan menjauhkan diri dari Allah dengan sombong.
- Saat ditimpa kesusahan:Manusia menjadi banyak berdoa dengan penuh harap untuk melepaskan diri dari kesulitan tersebut.
Ayat-ayat ini menegaskan betapa cepatnya manusia berubah—dari tunduk menjadi sombong, dari berserah menjadi abai, hanya karena nikmat yang sementara.
Mungkin di sinilah letak hakikat kita sebenarnya: kita sering lebih mencintai pemberian daripada Pemberi.
Lebih menghargai kesembuhan daripada yang Menyembuhkan.
Lebih memuja cahaya dunia daripada Cahaya yang menerangi hati.
Menemukan Kembali Tongkat Kehidupan
Tongkat dalam kisah itu sejatinya bukan hanya alat bantu fisik, melainkan simbol ketergantungan manusia kepada Allah SWT.
Setiap kali kita merasa kuat, sebenarnya kita sedang diuji apakah masih mau menggenggam tongkat itu — atau justru membuangnya.
Dalam hidup modern yang serba sibuk dan cepat, “tongkat” itu bisa berubah bentuk: menjadi waktu shalat yang mulai ditinggalkan, zikir yang mulai jarang, atau hati yang tak lagi khusyuk. Kita terlalu sibuk berjalan hingga lupa siapa yang memberi kaki untuk melangkah.
Barangkali, agar kita kembali menggenggam tongkat itu, Allah kadang menurunkan ujian kecil — agar kita kembali melihat dengan mata hati.
Sakit, kehilangan, kegagalan — semuanya adalah cara lembut Allah mengingatkan:
“Wahai hamba-Ku, jangan pernah lepaskan tongkat itu. Tanpanya, kau akan tersesat dalam terang.”
Kembali Menjadi Hamba
Kisah tongkat yang dibuang bukan hanya kisah seorang yang sembuh dari kebutaan, tetapi kisah kita semua — manusia yang sering lupa diri setelah disembuhkan dari gelap.
Hidup ini akan selalu berganti antara terang dan gelap, lapang dan sempit, sakit dan sembuh. Tapi satu hal yang pasti: selama kita tetap menggenggam tongkat keimanan, kita tak akan tersesat.
Maka ketika hidup terasa mudah, jangan buang tongkatmu.
Ketika doa terasa tak lagi mendesak, genggamlah lebih erat.
Karena hakikat manusia bukan pada seberapa jauh ia berjalan, tetapi pada seberapa dalam ia menyadari bahwa setiap langkahnya adalah bimbingan dari Allah SWT.
