The Local Wisdom Found In Mantra and Dramatic Elements Of badut Sinampurna: A Traditional Ceremony From Ploso, Pacitan Regency, East java Province
THE LOCAL WISDOM FOUND IN MANTRA AND DRAMATIC ELEMENTS OF THE BADUT SINAMPURNA: A TRADITIONAL CEREMONY FROM PLOSO, PACITAN REGENCY, EAST JAVA PROVINCE
Bakti Sutopo, Agoes Hendriyanto, and Hasan Khalawi
Department of Indonesian Language and Literature, College of Teacher Training and Education PGRI Pacitan
Email: bakti080980@yahoo.co.id
Abstract
Recently, a shift of the modern life recalls the legendary and nostalgic traditional ceremony the so-called Badut Sinampurna–a clown–traditional ceremony in Ploso Village, Nawangan Sub-district, Pacitan Regency, East Java Province. It is kind of Ruwatan–a Javanese traditional ceremony. The uniqueness of such Badut Sinampurna is the media used for ruwatan; that is kupluk–skullcaps–inherited since a half centuries ago. More importantly, Badut Sinampurna has a mantra and dramatic behavior played by two clowns who act as dukun and Kala.
Therefore, referring to the aforementioned issues, this research aims at revealing the local wisdom value in both mantra and dramatic elements of the Badut Sinampurna traditional ceremony. Furthermore, the problem of this research is the form of mantra and dramatic elements as well as the local wisdom of the Badut Sinampurna. The qualitative research is employed to explore the subsurface of the dimension. Moreover, the data collection method uses observation, interview, recording, and recording techniques. Finally, the content analysis method is employed for the analysis to unearth the meaning totality
In conformity with the research findings, it can be concluded that the mantra forms in Badut Sinampurna were in the form of free poetry. Besides, the tension, fear, and surprise are visible in the dramatic elements of the Badut Sinampurna traditional ceremony. Then, the local pearls of wisdom revealed from the mantra are such as being calm in facing problems, upholding noble customs, trust, surrender to God Almighty, and prioritizing justice. Finally, from the dramatic element aspect, the revealed local wisdom is musayawarah mufakat –a consensus agreement –as the best way to overcome problems and maintain harmony as well as nature preservation.
Keywords: Value, Local Wisdom, Ceremony, Badut Sinampurna, Ruwat
Intisari
Badut Sinampurna adalah upacara tradisional yang ada di Desa Ploso Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur. Upacara ini termasuk ruwatan. Keunikan Badut Sinampurna adalah media yang digunakan untuk ruwatan, yakni berupa kupluk yang sudah turun-temurun sejak satu setengah abad yang lalu. Selain itu, Badut Sinampurna terdapat mantra dan tingkah laku dramatik yang diperankan oleh dua badut yang berperan sebagai dukun dan salah satunya sebagai Kala.
Penelitian ini bertujuan mengungkap nilai kearifan lokal yang terdapat pada mantra dan unsur dramatik upacara tradisional Badut Sinampurna. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah bentuk mantra dan unsur dramatik Badut Sinampurna dan bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam mantra dan unsur dramatik Badut Sinampurna. Kategori penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, pencatatan, dan perekaman. Analisis data menggunakan metode analisis isi untuk mendapatkan totalitas makna.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk mantra yang ada di dalam upacara tradisional Badut Sinampurna berbentuk puisi bebas. Adapun unsur dramatik di dalam upacara tradisional Badut Sinampurna dapat dilihat adanya ketegangan, takut, dan surprise. Adapun kearifan lokal yang dapat diungkap dari mantra antara lain bersikap tenang dalam menghadapi masalah, menjunjung luhur adat-istiadat, percaya dan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, dan mementingkan berbuat adil. Dari aspek unsur dramatik, kearifan lokal yang dapat diungkap adalah musayawarah mufakat sebagai jalan terbaik mengatasi masalah dan menjaga keharmonisan serta kelestarian alam.
.Kata kunci: Nilai, Kearifan lokal, Upacara, Badut Sinampurna, Ruwat
PENDAHULUAN
Keberadaan upacara tradisional hampir dapat dijumpai di berbagai masyarakat Nusantara. Upacara tradisional pada dasarnya sebagai bentuk penggambaran kepercayaan manusia terhadap kekuatan yang ada di luar dirinya. Hal ini diungkapkan dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada dewa pencipta, atau dengan mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan alam (Keesing, 1992: 131). Dengan kata lain, upacara tradisional dapat dikatakan sebagai wahana manusia untuk berkomunikasi dengan kekuatan yang besar di luar dirinya. Pada umumnya, upacara ritual tersebut dilakukan denga harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dengan upacara tradisional. Hampir seluruh proses kehidupan masyarakat Jawa tervisualkan dalam berbagai upacara tradisional. Ruwatan dapat dikatakan sebagai satu bentuk upacara tradisional yang dapat dijumpai pada kalangan masyarakat Jawa. Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini sebenarnya untuk tolak balak (Baedhowi, 2008: 20). Badut Sinampurna jenis upacara ruwatan yang ada di tengah masyarakat Jawa. Upacara ruwatan Badut Sinampurna merupakan upacara tradisional yang berada di Desa Ploso Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Upacara ruwatan Badut Sinampurna tidak dapat dipisahkan dengan unsur mantra dan perilaku dramatis dalam pelaksanaannya.
Keberadaan mantra dalam upacara tradisional utamanya ruwatan sebagai suatu yang identik. Hal itu terjadi karena tujuan ruwat untuk menolak berbagai keburukan sehingga mantra sebagai salah satu medianya. Mantra dapat dikategorikan sebagai sastra. Mantra perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib. Mantra merupakan hasil karya cipta orang-orang zaman dahulu yang kata-katanya dianggap mengandung hikmat dan kekuatan gaib. Jika dikaitkan dengan sastra, mantra termasuk puisi lama yang kadang terdapat rima baik menyerupai pantun maupun syair. Selain itu juga puisi bebas karena tak berpatokan pada aturan tertentu, baik jumlah kata, bunyi, atau barisnya. Akan tetapi mantra juga mempunyai unsur penting lain, yakni konteks waktu dan tempat pengucapan matra yang dimaksud.
Mantra yang digunakan dalam upacara ruwat Badut Sinampurna mempunyai keunikan. Keunikan tersebut terlihat pada diksi yang digunakan identik dengan hal-hal yang ada di sekitar masyarakat Desa Ploso Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Dari diksi-diksi tersebut dapat diungkap nilai kearifan lokal yang ada pada mantra tersebut. Meski sebagai jampi-jampi mantra juga mempunyai makna yang dapat diungkap sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat dideskripsikan. Selain itu, sebagai upacara ruwatan yang sudah berusia sekitar 150 tahun, Badut Sinampurnaperlu didokumentasikan salah satunya dengan cara dikaji beberapa unsurnya termasuk mantranya.
Selain mantra, pada Badut Sinampurnajuga terdapat adegan yang diperankan dua tokoh utama yang memeragakan beberapa lakuan dan juga melakukan dialog. Tokoh tersebut adalah Eyang Jayaniman dan Kala. Dari dua tokoh dalam upacara ruwatan dapat dideskripsikan unsur dramatik yang sekaligus rangkaian upacara ruwat Badut Sinampurna. Tak hanya sekadar unsur dramatik yang terlihat di permukaan melainkan unsur tersebut juga mengandung maksud sebagaimana mantra. Oleh karena itu, melalui unsur dramatik yang ada di dalam upacara ruwat Badut Sinampurna dapat diungkap nilai kearifan lokalnya.
Unsur dramatik dapat dipahami sebagai bagian yang berupa laku. Pada umumnya unsur dramatik dapat ditemukan dalam karya sastra utamanya prosa dan drama. Unsur dramatik identik dengan plot atau alur cerita. Dalam upacara ruwat Badut Sinampurna plot dapat dilihat pada awal upacara sampai akhir. Unsur dramatik yang dimaksudkan adalah plot drama (dramatic-line) terdiri dari: (a) insiden permulaan, konflik dimulai, (b) penanjakan (rising action), mulai penanjakan, komplikasi, (c) klimaks, mulai menanjak, terjadi krisis, lalu menuju ke turning-point (titik balik, (d) the falling action, artinya penurunan, dan (e) catastrophe, artinya keputusan (Hudson, 1963: 56). Penggerak utama plot adalah masalah. Tanpa masalah tak ada alur cerita. Pada konteks ini unsur dramatik juga dapat disederhana terdiri atas suspence/tegang, takut, surprise, senang, susah, dan sedih (Misbach, 2010).
Nilai kearifan lokal dapat diungkap melalui mantra dan unsur dramatik yang ada di dalam upacara ruwat Badut Sinampurna. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious (Fajarini, 2014:123).
Kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari. Ahimsa (2009:38) kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik pada suatu komunitas-baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya. Kearifan lokal dapat terkandung di dalam kearifan tradisonal dan kearifan kontemporer. Pada konteks penelitian ini, kearifan lokal yang diungkap adalah kearifan lokal yang bersumber dari tradisi yang sudah berumur sekitar satu setengah abad, yakni upacara ruwatan Badut Sinampurna.
Upacara tradisional yang di dalamnya termasuk mantra serta prosesinya (alur/unsur dramatik) sudah menghasilkan berbagai penelitian ilmiah. Di antarnya penelitian yang berjudul “Mantra Pengobatan Dalam Upacara Penyembuhan Terhadap Karakteristik Masyarakat Lebak – Banten” oleh Dini Fitriani pada tahun 2018. Penelitian tersebut mengungkap bahwa mantra pegobatan yang berada aspek upacara penyembuhan menggunakan ritual doa sederhana, kebanyakan menghasilkan energy yang positif bagi masyarakat karena mereka masih percaya. Selanjutnya penelitian berjudul “Kearifan Lokal Dalam Mantra Jawa” oleh Wahyu Widodo.
Penelitian tersebut mengungkap kearifan lokal yang terdapat dalam buku primbon berjudul Kitab Primbon Anthasadur Adammakna. Dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa terdapat 12 macam mantra dalam kitab primbon tersebut. Adapun kearifan lokal yang terdapat di dalamnya adalah konsep harmoni dengan alam dan pada umumnya digunakan sebagai media untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat petani yakni serangan hama tanaman dan pagebluk (serangan penyakit).
Dua penelitian terdahulu di atas membuka wacana untuk melakukan penelitian terhadap mantra dan unsur dramatik yang ada di dalam upacara ruwatan Badut Sinampurna. Penelitian yang dilakukan mempunyai kesamaan dan perbedaan. Kesamaan terlihat pada sebutan objek penelitian secara umum, yakni mantra, upacara, dan kearifan lokal. Adapun perbedaanya adalah penelitian ini pada objek yang berupa upacara ruwatan badut Sinampurna dan tidak hanya pada mantra yang ada dalam upacara ruwatan Badut Sinampurna tetapi juga pada unsur dramatik meski sama-sama mencari kearifan lokalnya. Dengan kata lain, pembeda dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek materialnya, yakni mantra dalam upacara ruwatan Badut Sinampurna. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bentuk upacara Badut Sinampurna dan kearifan lokal yang terkandung di dalam mantra serta unsur dramatik yang ada di dalam upacara tradisional tersebut.
METODE
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif karena datanya berupa kata-kata, kalimat, dan wacana. Teknik pengambilan/pengumpulan data menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi ke lapangan. Teknik studi pustaka digunakan untuk menelaah berbagai literatur yang mengungkap upacara tradisional ruwatan khususnya Badut Sinampurna. Adapun wawancara dilakukan kepada dukun upacara ruwatan Badut Sinampurna yang berada di Desa Ploso Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan terkait upacara ruwatan Badut Sinampurna. Observasi dilakukan untuk mengetahui secara detail prosesi upacara yang dilaksanakan pada malam Jumat Legi bulan Longkang. Data dianalisis menggunakan teknik analisis data penelitian kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Upacara ruwatan Badut Sinampurna telah dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Ploso Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan secara turun-temurun yang pada saat ini sudah turun kesepuluh. Adapun geneologis pewarisan upacara ruwat Badut Sinampurna secra berurutan bermula dari Mbah Jayaniman, Mbah Kanjeng Kendang, Kanjeng Jimat, Kanjeng Gimbal, Mbah Rono Kenco, Nara Kenco, Nala Jaya, Nala Krama, Mbah Misdi, dan Saidi. Diperkirakan keberadaan Badut Sinampurna sudah berusia sekitar satu setengah abad.
Terdapat keunikan pada media yang digunakan untuk ritual Badut Sinampurna. Pada umumnya upacara ruwatan pada masyarakat Jawa menggunakan media wayang kulit dan dilakonkan oleh seorang dalang dengan diiringi gamelan. Akan tetapi upacara ruwatan Badut Sinampurna menggunakan media yang berupa kupluk yang disebut dengan badut yang berwarna-warni serta diberi renda-renda. Selain itu, upacara ruwatan Badut Sinampurna juga menggunakan beberapa tokoh peran antara lain Ki Jayaniman, Ki Demang, Kala, dan Cantrik.
Karena berupa upacara ruwatan, Badut Sinampurna juga menggunakan sesajen sebagaimana upacara adat yang lain. Badut sinampurna juga menggunakan iringan berupa tabuhan gamelan dan gerongan sinden. Berikut ringkasan singkat prosesi upacara tradisional ruwatan Badut Sinampurna berdasar tuturan Ki Sadi dan Ki Gito (26 Agustus 2019).
Prosesi ruwatan bermula Ki Demang mendapat laporan dari pungawanya bahwa di kademangan telah terjadi wabah penyakit. Saking dahsyatnya wabah dapat digambarkan sore lara, isuk tumeko lampus. Isuk loro sore tumeko pati. Akhirnya Ki Demang bermusyawarah dan bermufakat untuk mencari seorang Wiku atau orang sakti yang bisa memberantas penyakit tersebut. Dari salah seorang punggawa tersebut berpendapat bahwa ada seorang Wiku atau orang sakti di suatu padepokan. Namanya Eyang Jayaniman. Akhirnya Ki Demang mencari Wiku tersebut. Dan tibalah di Padepokan.
Di padepokannya Eyang Jayaniman yang sedang berkumpul bersama cantriknya kedatangan Punggawa Kademangan. Ki Demang dan punggawa masuk ke rumah Eyang Jayaniman. Berdialong dengan Eyang Jayaniman dan meminta tolong kepadanya untuk memohon kepada Allah SWT agar menghilangkan wabah penyakit yang terjadi di Kademangan tersebut. Setelah terjadi kesepakatan antara Ki Demang dengan Ki Jayaniman terkait umbarampe-nya, Ki Jayaniman bersedia melakukan ruwat. Upacara ruwatan dilaskanakan lapangan kademangan Ploso. Ki Jayaniman mulai melaksanakan ruwatan dengan menghadirkan tokoh Kala sebagai sarana membuang segala kesusahan yang ada di Kademangan Ploso. Dalam ruwatan tersebut Ki Jayaniman menggunakan mantra yang disasarkan pada Kala. Ki Jayaniman berhasil menyingkirkan segala pagebluk yang menimpa Kademangan Ploso. Sebagai rasa terima kasih masyarakat Kademangan Ploso, Ki Demang memberi julukan Ki Jayaniman sebagai Badut Sinampurna karena ketika melakukan ruwatan Ki Jayaniman memakai kupluk. Adapun Sinampurna sebagai penanda bahwa Ki Jayaniman berhasil menyempurnakan kala bendu di Kademangan Ploso.
Pembahasan
Kearifan lokal dalam Mantra Upacara Tradisional Badut Sinampurna
Ada beberapa bagian pembacaan mantra dalam upacara tradisional Badut Sinampurna. Mantra dibaca oleh Ki Jayaniman ketika ingin mendiamkan Kala. Kala dalam upacara Badut Sinampurna digunakan untuk menvisualisasikan segala kejahatan, keburukan, serta keadaan pagebluk atau setidaknya sebagai gambaran adanya energi negatif di sekitar Kademangan Ploso. Kala dalam perspektif masyarakat Jawa berasal dari Bathara Kala yang merupakan simbol segala marabahaya dan berbentuk raksasa. Tokoh Bathara Kala dikenal di dalam dunia pewayangan. Dia adalah putra Bathara Guru dengan Dewi Uma yang keberadaannya tidak diharapkan sehingga disebut juga sebagai Kamasalah (Mariani, 2016: 46). Sampai saat ini masyaratkat Jawa tradisional lazim menyebut bencana yang menimpa padanya sebagai kala. Ketika terdapat kala yang disikapi sebagai sukerta tersebut perllu adanya upaya penghilangan yang tidak lain dengan ruwatan, sebagaimana salah satu bentuknya upaya itu adalah Badut Sinampurna. Berkut beberapa mantra yang dapat dijumpai dalam upacara tradisional Badut Sinampurna.
Mantra 1
Akad senin selasa rebo
Kem bongkem si jajar Kala mingkem
Saking kersane allah
Ora ugek kari ogat-oget koyo uger
Mantra di atas dibaca oleh Ki Jayaniman agar Kala diam dan tenang. Hal itu tampak pada si jajar kala mingkem saka kersane Allah (diam lah Kala dengan kehendak Allah). Dapat dipahami bahwa diam yang identik dengan tenang adalah kunci untuk mengatasi masalah. Oleh karena itu untuk mengurai permasalahan yang menimpa Kademangan Ploso, Ki Jayaniman mengawalinya dengan menciptakan kondisi yang tenang karena dengan ketenangan segala akar permasalahan akan dapat ditemukan sehingga mencari formulasi pemecahan masalah juga akan lebih mudah. Lain halnya jika tetap terjadi kepanikan dan gaduh. Kondisi tersebut akan berakibat pada pengambilan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi akan dilakukan secara grusa-grusu alias tidak sistematik.
Ketenangan juga sebagai unsur penting untuk merenungkan keberadaan manusia yang jika terjadi kala hanya bisa kembali kepada Allah sebagaiman bunyi larik mantra kala mingkem kersane Allah. Chojim (2002: 251) menjelaskan bahwa eneng-ening, diam dan sepi sebagai aning-anung, ananing sebagai keberadaan yang hening dan anung yang merupakan keberadaan sebagai tujuan. Inti dari hidup manusia untuk menuju alam yang tenteram dan bahagia, aman, damai dan abadi. Pada prinsipnya tenang adalah tujuan hidup manusia. Tak ada manusia yang mengharapkan hidupnya diliputi kesengsaraan.
Mantra 2
Durgo singgah Kala singgah
Cacak jajar Kala sing arep ganggu gawe nyang kademangan Ploso
suminggah-suminggah
saking kersane Allah
Pada dasarnya mantra 2 sebagai kelanjutan mantra 1. Mantra 2 bermaksud untuk menghilangkan maranbahaya yang menimpa Kademangan Ploso. Cara penghilangan tersebut dilakukan dengan pengusiran secara simbolik terhadap Durgo dan Kala. Sepertihalnya Kala, Dewi Durga juga sebagai tokoh yang melambangkan malapetaka dan kegelapan. Pada mulanya Dewi Durga seorang Dewi yang cantiknya luar biasa. Dia adalah Uma yang tidak lain permaisuri Bathara Guru. Akan tetapi karena melakukan suatu perbuatan keji, oleh Bathara Guru disabda menjadi rekseksi yang buruk rupa dan bertempat di Setra Gondomayit (tempat yang berbau bangkai). Dengan kata lain Durgo dan Kala merupakan pasangan ibu-anak yang melambangkan kejahatan dan kekhilafan (Mulyono, 1977: 143).
Nilai kearifan lokal yang terdapat pada mantra 2 bahwa manusia harus sadar keberadaannya sebagai mahkluk yang luhur dibanding dengan makhluk yang lain. Akan tetapi jika manusia tidak menjaga keluhurannya akan bernasib sebagaimana Durga dan Kala. Sifat yang melekat pada Durga dan Kala harus dihilangkan dari diri manusia. Sampai saat ini masyarakat Jawa masih mempercayai Durga dan Kala sebagai pengganggu sekaligus makan tumbal yang tak lain manusia yang menentang tradisi. Oleh karena itu Durga dan Kala harus diruwat dan disingkirkan.
Mantra 3
Bismilahhirahmannirahimallahumo
Kulubalik balak balik wakutatulah
Sopo sing cidero kanioyo menyang Kademangan Ploso
Keno bendune allah
Mantra 3 sebagai jampi-jampi tolak balak agar siapa pun yang hendak perbuat yang merugikan Kademangan Ploso diberi balasan berupa siksa oleh Allah. Mantra 3 sekaligus memberi penegasan bahwa masyarakat Kademangan Ploso percaya kekuatan yang ada di luar dirinya, yakni Sang Pengeran Allah S.W.T. Mereka menyadari jika segala yang mengancam diri mereka yang bisa menyelesaikannya adalah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu mantra yang dibaca oleh Ki Jayaniman diawali dengan penyebutan nama Allah dan Ya Allah.
Mantra 4
Allahumokulutumpul purnomo
Sopo sing cidro sepodo
menyang kademangan ploso
sak anak buahe ora lanang ora wedok ora gedhe ora cilik
mlebu lumpur metu lumpur lumpur kersane gusti allah
Mantra 4 hampir sama dengan mantra 3, yakni sebagai jampi-jampi tolak balak. Selain menekankan pentingnya segala musibah penyelesaiannya dikembalikan pada Tuhan Yang Maha Esa, mantra 4 juga mengisyaratkan bahwa nilai keadilaan harus tetap ditegakan bagi mereka yang berbuat cidro di desa Kademangan Ploso. Hal itu dibuktikandengan larik sak anak buahe ora lanang ora wedok ora gedhe ora cilik (4) dan mlebu lumpur metu lumpur lumpur kersane gusti allah (5). Bagi siapapun yang membuat huru-hara di Kademangan Ploso doakan celaka. Siapa pun itu tidak peduli laki-laki atau perempuan. Orang yang punya kedudukan maupun rakyat jelata apabila berbuat keonaran didoakan celaka. Hal itu menunjukan perlakuan yang adil dan tidak pilih kasih terhadap pihak yang merugikan Kademangan Ploso.
Kearifan lokal dalam Unsur Dramatik Upacara Tradisional Badut Sinampurna
Upacara tradisional ruwatan Badut Sinampurna dikemas dan dilaksanakan sebagaimana ketoprak/drama tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan upacara Badut Sinampurna tak ubahnya menunjukan sebuah lakon sehingga alur cerita yang mendukung upacara tersebut dapat dilakukan analisis sebagaimana menganalisis alur cerita dalam drama. Alur disebut juga plot dapat dipahami sebagai urutan peristiwa yang berhubungan kausalitas (Foster dan Sumanto dalam Dewojati, 2010: 162). Kerena pentingnya peran plot dalam drama maka dapat dikatakan bahwa plot merupakan drama itu sendiri. Alur juga didukung dialog. Dialog digunakan untuk melukiskan suasana, perwatakan, konflik, dan klimaks. Oleh karena itu hubungan antara alur dan dialog tak dapat dipisahkan. Alur dalam upacara Badut Sampurna juga dapat diungkap kearifan lokalnya.
Rangkaian upacara ruwatan Badut Sinampurna diawali dengan rapat yang dilakukan oleh Ki Demang Ploso bersama para bawahannya di kademangan. Terungkap permasalahan yang diderita oleh masyarakat Kademangan Ploso berupa larang pangan dan wabah penyakit. Akhirnya Ki Demang bersepakat menghadap Ki Jayaniman orang yang dikenal sakti di padepokannya. Ki Demang pun mengutarakan maksud dan tujuannya datang kepada Ki Jayaniman. Ki Jayaniman mau melakukan ruwat apabila disediakan berbagai sesaji yang terdiri atas gedhang setangkep, ketan beras, pari, panggang, buceng, srabi, dan lain-lain. Ki Demang menyanggupi bebana yang diajukan oleh Ki Jayaniman. Selanjutnya Ki Jayaniman bersama para perangkat Kademangan Ploso berangkat ke lapangan Kademangan Ploso untuk melakukan ruwat sengkolo. Ki Jayaniman meminta cantriknya untuk berperan sebagai Kala sebagai medium untuk meruwat berbagai kesusahan yang ada di Kademangan Ploso. Ki Jayaniman membacakan berbagai mantra untuk melenyapkan bendhu yang menghinggapi Kademangan Ploso. Selain itu antara Ki Jayaniman dan Kala terlibat dialog yang menandakan adanya oposisional antarkeduanya. Pada hakikatnya sebagai simbol pengusiran sesuatu yang menimbulkan penderitaan dan mempertahankan yang memberi kenyamanan. Semisal Ki Jayaniman bertanya, “manukmu apa?, Manuku manuk emprit.” Selanjutnya Kala menjawab, “Aku milik manuk podang. Manuke emprit dibuang yo”. Diksi yang digunakan keduanya khas diksi yang dikenal dalam masyarakat agraris. Setelah pengruwatan selesai., Ki Jayaniman berkata, “Sudah selesai Ki Demang. Mudah-mudahan wabah penyakit disini segera hilang”. Ki Demang pun menjawab, “Terimakasih Eyang. Mudah-mudahan permintaan kita di ijabahi oleh Allah SWT. Mulai saat ini Ki Jayaniman akan saya beri nama Kyai Badut Sinampurna. Ki Demang mengajak semua warganya yang hadir untuk merayakan hilangnya wabah penyakit dengan melakukan langen beksan/ menari bersama-sama.
Bagian alur yang mendukung rangkaian upacara tradisional ruwatan Badut Sinampurna bermula dari permasalahan /pemicu konflik berbagai wabah yang melanda Kademangan Ploso. Masalah tersebut mengakibatkan timbulnya ketegangan berupa warga Kademangan Ploso ada yang menjadi korban wabah yang melanda. Ketegangan tersebut memuncak ketika wabah itu tak hanya penyakit tetapi juga larang pangan atau terjadi pagebluk. Ketegangan mulai mengalami penurunan setelah Ki Demang mendapat kabar di forum rembug bahwa ada seorang Wiksu/orang sakti yang dapat mengatasi pagebluk dengan sarana ruwatan, yakni sosok Ki Jayaniman. Permasalahan benar-benar mengalami penurunan ketika Ki Demang dan seluruh punggawa Kademangan Ploso menghadap Ki Jayaniman dan Ki Jayaniman bersedia melakukan ruwatan. Cerita selesai ketika Ki Jayaniman telah berhasil menyingkirkan pagebluk yang selama itu melanda Kademangan Ploso.
Beberapa kearifan lokal yang dapat diambil dari rangkaian peristiwa yang dikemas dalam upacara tradisional Badut Sinampurna. Di antaranya dalam mengatasi masalah, masyarakat Kademangan Ploso mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal itu terlihat ketika Ki Demang memanggil para perangkat kademangan untuk menerima berbagai laporan perkembangan kademangan. Jika terjadi permasalahan, maka Ki Demang akan mencari solusi dengan cara bermusyawarah seperti halnya ketika memutuskan minta tolong pada Ki Jayaniman. hal itu juga sebagai bentuk praktik kehidupan yang demokratis pada masyarakat Kademangan Ploso.
Membangun harmonisasi dengan alam merupakan kearifan lokal yang juga ditemukan di dalam unsur dramatik upacara tradisional ruwatan Badut Sinampurna. Hal itu dapat dilihat pada bebana yang diminta oleh Ki Jayaniman ketika hendak melakukan ruwatan. Semua sesaji berasal dari alam. Sebut saja cikal/ bibit kelapa, pari/padi, gedhang/pisang, dan lain-lain. Hal itu menunjukan bahwa masyarakat Kademangan Ploso sangat dekat dengan alam dan menjaga kelestariannya. Secara tersirat sesaji yang digunakan untuk upacara tersebut menandakan bahwa masyarakat Kademangan Ploso punya konsep ekologis yang baik sehingga semua sesaji berasal dari alam. Selain ditunjukan dengan sesaji, kesadaran ekologis masyarakat Kademangan Ploso dapat dilihat pada diksi yang digunakan dalam dialog Ki Jayaniman dengan Kala. Diksi yang digunakan keduanya antara lain jenis burung seperti kepodang dan emprit (pipit); jenis walang (belalang): walang sangi dan walang gepuk. Baik pada burung maupun jenis belalang tampak terhubung sebagai oposisi berpasangan antara hama dan bukan hama. Burung emprit (pipit) dikenal sebagai burung yang hidup secara berkelompok dengan jumlah yang banyak. Burung ini sebagai burung yang suka meamngsa padi petani sehingga termasuk hama. Sebaliknya burung kepodang terkenal sebagai burung yang anggun dan mempunyai suara merdu makanannya pun buah-buahan yang disediakan oleh hutan sehingga bukan sebagai hama tanaman milik petani. Demikian pula oposisi antara walang sangit dengan walang gepuk. Walang sangit dikenal sebagai belalang dengan bau menyengat dengan jumlah yang banyak dan sering berkerumun di tanaman padi yang lagi berkembang. Apabila tanaman padi dikerumuni belalang sangit maka pertumbuhan padi tidak normal bahkan akan mengalami gagal panen. Berlawanan dengan walang sangit, walang gepuk tidak bersifat mengganggu bahkan dapat digunakan sebagai lauk. Pada konteks ini, penyebutan burung maupun belalang sebagai representasi bahwa masyarakat Kademangan Ploso telah mengenal secara baik antara binatang yang hama dan yang bukan. Binatang yang tak merusak harus dilestarikan demi keseimbangan ekologi. Adapun yang bersifat hama harus diusir karena jelas merugikan bagi mereka yang mayoritas sebagai kaum agraris. Hal itu sekaligus cara mereka bergaul dengan alam secara baik.
SIMPULAN
Badut Sinampurna sebagai salah satu upacara tradisional berupa ruwatan dari Desa Ploso Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan Jawa Timur yang berbeda dengan ruwatan pada umumnya. Badut Sinampurna menggunakan media kupluk dan disertai dengan mantra. Adapun pelaksanaannya sebagaimana melihat pertunjukan ketoprak. Mantra yang ada di digunakan dalam Badut Sinampurna pada umumnya berbentuk puisi bebas dan usnusr dramatiknya sebagaimana lakon ketoprak yang hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa. Adapun kearifan lokal yang dapat diungkap dari mantra antara lain bersikap tenang dalam menghadapi masalah, menjunjung luhur adat-istiadat, percaya dan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, dan mementingkan berbuat adil. Dari aspek unsur dramatik, kearifan lokal yang dapat diungkap adalah musayawarah mufakat sebagai jalan terbaik mengatasi masalah dan menjaga keharmonisan serta kelestarian alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. “Bahasa, Sastra, dan Kearifan Lokal Di Indonesia”. Jurnal Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009: 30—57.
Baedhowi. 2008. Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam Agama dan Kearifan Lokal dalamTatanan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biran, H. Misbach Yusa. 2010. Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Jakarta: Fakultas Film dan Televisi IKJ.
Chojim, Achmad. 2002. Syekh Siti Jenar: Makna Kematian. Jakarta: Serambi.
Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Erlangga.
Fajarini, U. 2014. “Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”. Universitas Islam Negeri ( UIN). Jakarta.Hal:123-125.
Fitriani, Dini. 2018. “Mantra Pengobatan Dalam Upacara Penyembuhan Terhadap Karakteristik Masyarakat Lebak – Banten” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FON. Volume 12 Nomor 1 Tahun 2018.
Hudson, W. 1963. An Intruction to the Study of Litarature. London: George. G. Harrap & Co., Ltd
Keesing, M. Roger. 1992. Antropologi Budaya : Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Mulyono, Sri. 1977. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Yayasan Nawangi dan P.T Inaltu.
Sutopo, Bakti. 2014. Sastra Indonesia Lama: Mutiara yang Kaya Wacana. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Widodo, Wahyu. “Kearifan Lokal Dalam Mantra Jawa” Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity, and Future.