Prof. Novi Anoegrajekti; Menakjinggo dan Sejarah Perlawanan dalam Perspektif Lokal
PRABANGKARANEWS.COM || UNS – Grup Riset Filologi Melayu Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyelenggarakan konferensi internasional. Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui Zoom Cloud Meeting pada Kamis (29/9/2022).
Janger termasuk seni teater tradisional, seperti wayang orang, kethoprak, topeng dhalang, kentrung, dan ludruk. Selain itu juga Seni teater Janger di Banyuwangi yang termasuk subgenre drama tari yang sampai saat ini masih diminati masyarakat.
Prof. Novi Anoegrajekti, hari Kamis (29/9/2022) sebagai salah satu dari pembicara menjelaskan pertunjukan Janger sering pula disebut Damarwulan atau Jinggoan. Istilah ini diambil dari lakon yang biasa dipentaskan yaitu cerita yang bersumber dari perlawanan antara Minakjinggo dari kerajaan Blambangan dengan Damarwulan dari Majapahit.
“Kisah Damarwulan-Menakjinggo merupakan sejarah barat-timur (mulai dari zaman Majapahit-Blambangan sampai Mataram-Blambangan) selalui diwarnai hubungan yang tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan. Menurut cerita klasik Jawa, Menakjinggo
adalah Bre Wirabumi yang memberontak pada saat Majapahit diperintah Sri Jayanegara pada abad ke-13, ” jelas Prof. Novi Anoegrajekti.
“Menakjinggo oleh masyarakat Using ditempatkan sebagai seorang ksatria, pemimpin, pahlawan, dan tokoh kebanggaan mereka. Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama masyarakat Using tidak mampu melakukan perlawanan.Ketika tokoh Menakjinggo yang ditampilkan dalam seni kethoprak atau Janger dipandang sebagai hiburan tentu tidak menimbulkan persoalan, ” tegas Prof. Novi Anoegrajekti
“Kalau ada rekonstruksi itu setuju sekali karena untuk mengubah image yang menggambarkan Menakjinggo sebagai tokoh yang jelek, baik postur tubuhnya, wajahnya, suaranya, maupun sifatnya. Padahal sebetulnya tidak demikian. Menakjinggo adalah seorang ksatria, tinggi besar, gagah berani, dan merupakan tokoh yang menjadi ikon dalam cerita itu dan sekaligus sebagai pahlawan Blambangan/Banyuwangi,” Prof. Novi Anoegrajekti
“Kalaupun pada kenyataannya Menakjinggo digambarkan sebagai tokoh yang jelek, bagi masyarakat Using Banyuwangi, itu hanya sebagai pertunjukan, sebagai tontonan untuk menyenangkan penonton, dan dalam pertunjukan pasti terjadi pelaku yang protagonis dan antagonis dan ini diwujudkan dalam peperangan. Jika tidak ada tokoh yang antagonis dan protagonis seandainya ada perang menjadi tidak ramai sehingga penonton tidak berminat untuk menontonnya. Hal ini adalah menjadi hak mereka. Namun sebagai orang Using Banyuwangi tidak terima jika tokoh Menakjinggo dijelekjelekkan,” tutup Prof. Novi Anoegrajekti. (Hendriyanto).