Narasi di Balik Motif Batik Parang sebagai Monumen Berdirinya Kerajaan Mataram

Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum (*)
Bangsa Indonesia memiliki suatu mahakarya yang berupa kain batik. salah satu bentuk motif kain batik yang sangat terkenal adalah motif parang. Motif Parang terdiri dari bermacam-macam jenis seperti parang barong, parang rusak, parang klithik, parang soblok, dan sebagainya. Motif batik Parang merupakan motif tua.
Motif ini merupakan suatu motif terlarang yang tidak sembarang orang boleh memakainya. Namun demikian, beberapa bagian dari motif ini sering digunakan oleh orang tanpa mengetahui makna filosofinya. Batik parang adalah merupakan batik yang sakral yang khusus dipakai untuk raja dan para penari bedaya ketawang.
Bentuk visual batik parang adalah berupa gelombang ombak air, orang juga dapat menafsirkan bentuk visual tersebut berupa pinggiran pantai yang miring. Setelah itu, batik tersebut juga berkembang dengan berbagai tambahan seperti tambahan sayap Garuda yang disebut sebagai gurdo atau gurdan. Orang sering mengartikan batik parang berasal dari kata pereng atau tempat yang miring. Ada juga yang mengartika dari kata parang yang berarti senjata. Kedua pengertian tersebut tidaklah salah karena gambaran dari batik parang merupakan motif bercorak miring. Sementara itu, gambaran tentang parang atau senjata memang dalam tradisi Jawa seseorang harus selalu siap siaga dengan senjatanya.
Kesiapsiagaan tersebut digambarkan dengan selalu dibawanya keris di dalam setiap pertemuan-pertemuan yang penting. Dalam kaitan dengan asal usul, batik parang merupakan salah satu monumen tentang berdirinya Kerajaan Mataram. Pendiri Kerajaan Mataram adalah Panembahan Senopati. Menurut kepercayaan Panembahan Senapati berhasil mendirikan kerajaan Mataram berkat bantuan makhluk gaib yang bernama Ratu Kidul.
Di dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa pada suatu hari Panembahan Senapati melakukan tapabrata di pantai laut selatan. Karena kuatnya tapabrata tersebut, maka penguasa laut selatan merasa terganggu dan merasa kalah dengan Panembahan Senapati. Karena itu, penguasa Laut Selatan yang bernama Ratu Kidul tersebut kemudian menyerahkan diri kepada Panembahan Senopati. Panembahan Senapati kemudian diajak masuk ke dalam istananya yang berada di Laut Selatan dan keduanya membangun janji untuk saling mencintai. Kerajaan Mataram ini berdiri melalui suatu situasi yang sangat rumit. Pada masa itu Sultan Hadiwijaya yang merupakan raja Pajang sedang ada konfrontasi dengan Harya Penangsang seorang Adipati di Jepang.
Konfrontasi itu berlangsung bertahun-tahun dan merongrong wibawa kesultanan Pajang. Untuk menyelesaikan konfrontasi itu, sultan Pajang membuka sayembara bahwa Siapa yang dapat mengalahkan Harya Penangsang, maka sultan Pajang akan memberinya Kabupaten Pati dan hutan Mentaok. Sayembara itu disanggupi oleh ki Penjawi, Ki Pemanahan, dan dibantu oleh Sutawijaya atau yang kemudian disebut sebagai Panembahan Senapati.
Dengan berbagai tipu muslihat ketika orang tersebut berhasil mengalahkan Harya Penangsang. Cara yang ditempuh ialah dengan menaiki kuda betina. Harya Penangsang memiliki kuda jantan yang sedang birahi yang disebut Gagak Rimang. Ketika mereka berhadapan, maka gagak Rimang tersebut sangat tertarik dengan kuda betina yang dinaiki oleh Sutawijaya. Karena itu kuda tersebut kemudian melaju pesat menuju kuda betina. Sutawijaya menyiapkan tombaknya sehingga Harya
Penangsang terkena tombak sampai ususnya terburai. Meskipun sudah terkena tombak, tetapi Harya Penangsang tetap mengejar Sutawijaya dan khusus yang keluar tersebut disampirkan di sarung kerisnya. Akhirnya tertangkaplah Sutawijaya, dan ketika Sutawijaya mau dibunuh dengan kerisnya waktu menarik keris tersebut secara tidak sengaja usus harya Penangsang terpotong oleh keris itu sehingga dia jatuh dan gugur di medan laga. Karena keberhasilan itu, maka Ki Penjawi, Ki Pemanahan, dan Sutawijaya yang waktu itu sebagai anak angkat Hadiwijaya meminta diberikannya hadiah tersebut.
Menurut Babad Pajang, di Penjawi segera mendapatkan Kadipaten Pati dan dia merasa sangat gembira, namun Ki Pemanahan tidak segera mendapatkan hadiah tersebut sehingga ia menjadi sangat sedih. Menurut Babad Tanah Jawa, Sultan Hadiwijaya tidak memberikan hutan Mentaok itu karena khawatir ki Pemanahan dan anaknya akan memberontak dan mendirikan kerajaan. Hal tersebut berdasarkan ramalan seorang Sunan, bahwa kelak di Mataram akan terdapat satu kerajaan yang besar. Untuk menghindari hal tersebut akhirnya Sultan Hadiwijaya meminta Ki Pemanahan untuk berjanji tidak akan memberontak.
Setelah diberikan kepada Ki Pemanahan dan Sutawijaya, hutan Mentaok yang kemudian disebut Mataram itu berkembang sangat pesat. Di Pemanahan dan Sutawijaya kemudian tidak mau menghadap. Sultan Pajang merasa risau dengan hal tersebut. Maka Sultan Pajang merencanakan untuk menyerang Mataram. Panembahan Senopati atau Sutawijaya merasa segan berperang dengan Sultan Hadiwijaya karena sudah terikat janji, apalagi Sultan tersebut juga merupakan ayah angkatnya.
Untuk menyelesaikan hal tersebut, maka Panembahan Senapati meminta bantuan Ratu Kidul untuk mengalahkannya. Ratu Kidul melakukannya dengan menyuruh pasukannya untuk memukul dada Sultan Hadiwijaya sehingga sultan tersebut kemudian jatuh sakit dan menjadikan sebab kematiannya. Dalam tradisi Jawa terdapat kepercayaan bahwa raja-raja merupakan kekasih dari Ratu Kidul tersebut. Hal tersebut merupakan kelanjutan janji bahwa ratu Kidul dan Panembahan Senopati yang akan selalu membantu.
Berdasarkan kisah tersebut, seorang keturunan Panembahan Senopati yang bernama Sultan Agung kemudian menciptakan satu batik yang disebut batik parang. Kata parang ini mengingatkan pada lokasi pertemuan senapati dan Ratu Kidul yang terjadi di pantai Parangkusuma. Sampai sekarang, pantai ini masih menjadi tempat ziarah beberapa orang dan berada tidak jauh dari Pantai Parangtritis.
Karena batik Parang ini merupakan monumen pertemuan antara Panembahan Senopati dan Ratu Kidul, maka menurut aturan bahwa yang boleh memakai kain batik parang ini hanyalah para raja dan para penari bedaya ketawang. Hal ini dikarenakan para raja adalah yang melanjutkan Panembahan Senopati, sementara bedhaya ketawang adalah simbol dari kehadiran Ratu Kidul yang diwujudkan dalam bentuk para penari tersebut. Demikian sedikit ulasan tentang sejarah motif batik parang yang memiliki kaitan dengan sejarah berdirinya kerajaan,
(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret