Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum; Dua Cara Memahami Rasa Jati
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. (*)
(*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Anggota Dewan Pakar Sekretariat Pewayangan Nasional, Jakarta
Dalam ajaran budaya Jawa dalam Serat Wedhatama, terdapat ajakan untuk mempertajam rasa. Rasa adalah sebagai sesuatu bagian jiwa yang istimewa. Istimewanya rasa karena rasa itu tidak maujud. Rasa itu kecerdasan spiritual yang ditangkap dengan pemahaman rohani. Rasa itu ditumbuhkan dengan sasmita . “Pada gulangen ing kalbu, mrih sasminta amrih lantip”, yang artinya “latihlah di dalam hati, agar kita cerdas menerima sasmita”.
Ada dua cara dalam melatih kalbu itu. Yang pertama ialah dengan tapa ngrame, bergaul dengan sesama dan membuat sesama bahagia. Menunjukan arah kebenaran. Dalam konteks agamanya dapat disebut “amal makruf nahi munkar”. Yang kedua dengan Samadhi atau bertapa, menekan hawa nafsu, mengurangi makan, dan mengurangi tidur. Hal ini digambarkan dalam sebuah bait berikut.
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ingsiyang ratri, mamangun karyenak tyasing sesama.
Ajaran di atas dicontohkan oleh Panembahan Senapati. Langkah yang selalu dijalankan adalah mengurangi hawa nafsu dengan melakukan tapa brata yang dilakukan setiap waktu, sepanjang masa. Pokok ajarannya adalah menekan hawa nafsu. Dalam hal itu setiap hari berusaha untuk membuat sesama manusia bahagia.
Membuat bahagia sesama juga dapat diartikan menuntun manusia ke jalan yang benar. Hal ini digambarkan dalam Suluk Seh Malaya, Sunan Bonang menyadarkan Brandal Lokajaya (julukan Sunan Kalijaga sebelum bertobat). Brandal Lokajaya ini terkenal suka berjudi dan mencari penghasilan dengan menjadi begal.
Ini kutipan dari Serat Seh Malaya.
Lokajaya wayah putra siji | apan wontên ing nagari Tuban | kang garwa tinilar bae | kalangkung dhugalipun | saba wana ing siyang ratri | ngupaya gon botohan | rina lawan dalu | para botoh dipun ajak | lamun kalah anèng wana andhêdhêlik | begal ing karyanira || lamun kalah kêplèk kècèk posing | datan gothang saliring kasukan | rina wêngi pakaryane | kalawan dhahar apyun | sadinane têlas satail | ambedhang bojoning lyan | kanan keringipun | yèn konangan ingkang lanang | ingkang lanang anulya dipun pêjahi | tan etang utang nyawa || yèn wus kalah gonira amain | ngadhang marga apan ambêbegal | tan trima barange bae | kang darbe pinèt lampus | lamun dalu ngampak mêmaling |
Lokajaya ketika mempunyai anak satu di negeri Tuban, istrinya ditinggal dia sangat nakal, siang malam berada di hutan mencari tempat untuk berjudi, para botoh diajak untuk berjudi, kalau kalah sembunyi di hutan, dan bekerja sebagai begal. Bila kalah dalam berjudi, tidak pernah lepas dari bersuka-suka dengan minum candu, setiap hari habis setail.
Pekerjaannya lainnya selingkuh dengan istri orang, kalau ketahuan suaminya yang dibunuh tak terbilang lagi jumlah hutang nyawanya. Apabila sudah kalah dalam berjudi, maka lalu menghadang Jalan melakukan pembegalan, tidak hanya hartanya saja, tetapi nyawanya juga, kalau malam melakukan pencurian.
Tindakan Lokajaya yang sangat jahat itu kemudian disadarkan oleh Sunan Bonang yang sedang tapa ngrame. Sunan Bonang melakukan shock theraphy dengan menyuruh Lokajaya bertapa duduk menunggu tongkat Sunang Bonang selama satu tahun. Inilah makna tapa ngrame dengan menyadarkan sesama menemukan kebenaran. Sekiranya Sunan Bonang tidak tyapa ngrame, mungkin Sunan Kalijaga akan menjadi brandal (penjahat) sampai akhir hayatnya. Inilah konsep yang sering disebut “memayu hayuning bawana”, (memelihara kedamaian dunia).
Dalam konteks dewasa ini di jaman modern, membuat manusia bahagia adalah bentuk tapa ngrame. Usaha yang dilakukan adalah dengan cara memberi pertolongan sesama sesuai dengan bidang dan keahliannya. Sebuah contoh, seorang guru didatangi siswanya yang tidak dapat membayar SPP sehingga tidak mengambil ijazahnya. Maka, guru tersebut justru yang membayarkan SPP buat siswanya. Hal itu membuat siswanya bahagia, bukan saja siswa itu, tetapi juga orang tua dan keluarga.
Secara ekonomis, guru tersebut sebenarnya rugi. Namun, secara rohaniah dia telah menyelamatkan anak manusia. Usaha itu tidak akan lenyap dan akan dimunculkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk lain seperti kebahagiaan, kesehatan, atau anak cucu yang yang sukses.
Dalam ajaran agama dinyatakan : sedekah itu menyingkirkan marabahaya. Semua itu dapat tercapahami bila kita memiliki ketajaman rasa. Contoh lain, seorang terapis yang semestinya mendapat jasa dari pasiennya, tetapi ketika pasien betul-betul tidak mapu, maka selain gratis dalam berobat juga masih mendapat uang saku ala kadarnya. Ini suatu gambaran membuat bahagia sesama.
Hal ini dapat terlaksana kalau seseorang menggunakan ilmu rasa. Secara tidak langsung Tuhan Yang Maha Esa mengirimkan sasmita untuk mengajarkan kita menjadi bijaksana. Apa yang ada pada dirimu berasal dari Tuhan dan kepada Tuhanlah semua akan kembali. Semua peristiwa adalah sasmita dari Tuhan Yang Maha Esa, tergantung bagaimana kita memahaminya.
Dalam budaya Jawa kita temukan perpaduan antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. Kecerdasan spiritual harus diimbangi dengan kecerdasan sosial. Inilah konsep rasa, yakni hubungan spirit dan sosial yang menyatu. Hal tersebut tertuang dalam ungkapan bait berikut.
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama. (Inilah manusia utama, yang suka berolah di sepi, pada setiap waktunya, selalu ,membersihkan budi, kewajiban lahir dipenuhi, dalam menjalankan kewajiban sebagai satriya, sopan santun dalam bersikap, paham tentang menghormatri sesama, itulah yang disebut orang yang giat beragama).
Kutipan di atas jelas menggambarkan keterpautan antara lahir dan batin. Laku lahir dan laku batin tidak dipisahkan. Hidup tidak menyendiri , tetapi tetap bergaul dengan sesama. Namun, dalam masa tertentu tetap melakukan suatu permenungan dengan laku tapa brata. Hal ini makin dipertegas dengan kutipan berikut.
Samangsane pesamuan, mamangun marta martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.
(Pada waktu pertemuan, tetap membangun kebermanfaatn, sambil di kala waktu sepi, mengembara dalam trangka bertapa, untuk mencapai cita-cita, tertarik pada keheningan sejati, dengan diiringi laku prihatin, tetap menjaga untuk mencegah makan dan tidur”.
Jadi, dalam mempertajam rasa untuk memperoleh pencerahan hakiki dalam ditempuh dengan dua cara. Cara pertama ialah dengan bergaul sesama manusia, memberikan pertolongan dan pencerahan. Yang kedua ialah dengan samadi dan tapa btrata atau permenungan yang mendasar tentang hakikat kedirian kita. Hal ini disebut dengan “nggayuh geyongane kayun”, pencapai cita-cita mulia.
Dua cara tersebut bukan metode yang tepisah, tetapi suatu metode yang komplementer. Saling mengisi dan mensubstitusi tergantung pada situasi. Di saat harus bekerja secara tata lahir, maka itu dijalani dengan tekun dan selalu waspada akan sasmita. Pada saat bekerja dengan tata batin, maka itu p[un dijalani dengan syukur dan keihlasan. Inilah hakikat ngelmu rasa. Nilai rasa ini sangat penting seperti digambarkan dalam Wedhatama karena menyangkut harga diri kita sebagai manusia.
Mangka nadyan tuwa pikun, Yen tan mikani rasa,Yekti sepi asepa lir sepah samun, (meskipun usdah tua bangsa, bila tidak memahami rasa, sungguh hidup laksana sampah tidak bermakna.