Regulasi Penggantian Pejabat dan Larangan Penyalahgunaan Wewenang di Pilkada 2024
PILKADA (PRABANGKARANEWS) – Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur tentang larangan bagi pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, serta kepala desa atau lurah untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Gubernur, bupati, walikota, serta wakilnya, juga dilarang melakukan pergantian pejabat dalam kurun waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali jika disetujui secara tertulis oleh Menteri Dalam Negeri.
Pergantian jabatan hanya boleh dilakukan untuk mengisi kekosongan dengan sangat selektif, sesuai dengan ketentuan seleksi terbuka yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Jika seleksi terbuka belum dilakukan, pejabat pelaksana tugas (Plt.) dapat diangkat sementara dengan merujuk pada pedoman yang dikeluarkan oleh BKN.
Selain itu, pejabat tersebut juga dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di wilayahnya sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum penetapan hingga pasangan terpilih ditetapkan. Aturan ini juga berlaku untuk penjabat gubernur, bupati, dan walikota.
Jika petahana melanggar ketentuan ini, mereka dapat dikenai sanksi berupa pembatalan pencalonan oleh KPU setempat. Sanksi bagi mereka yang bukan petahana akan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses pergantian pejabat di daerah dilakukan melalui aplikasi layanan administrasi online, SIOLA, dan e-mutasi Kemendagri. Usulan penggantian pejabat oleh gubernur atau bupati/walikota harus melalui proses persetujuan Mendagri. Jika gubernur tidak menerbitkan surat pengantar dalam tujuh hari, usulan dapat langsung diproses oleh Mendagri.
Dengan demikian, aturan ini dibuat untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh petahana dalam Pilkada, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bawaslu terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana dalam Pilkada 2020.
Dalam Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana dimaksud dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
“Ketentuan penggantian jabatan hanya untuk mengisi kekosongan jabatan dengan sangat selektif, serta tidak melakukan mutasi/rotasi dalam jabatan, kemudian proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilaksanakan melalui seleksi terbuka sebagai amanat ketentuan pasal 108 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Apabila belum dilaksanakan seleksi terbuka, maka untuk mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat Plt. dengan mempedomani surat edaran dari BKN,” jelasnya.
(3) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, & kegiatan yg menguntungkan atau merugikan salah satu paslon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dlm waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, untuk tata cara penggantian pejabat di daerah dilakukan melalui:
Pertama, Gubernur dan/atau Plt./Pj/Pjs Gubernur mengajukan permohonan penggantian pejabat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi.
Kedua, Bupati/Walilta dan/atau Plt./Pj/Pjs Bupati/Walikota mengajukan permohonan kepada Mendagri melalui Gubernur selaku wakil pemerintah pusat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi.
Ketiga, Gubernur menerbitkan surat pengantar beserta dokumen kelengkapan usulan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permohonan penggantian pejabat di terima gubernur.
Keempat, dalam hal Gubernur tidak menerbitkan surat pengantar dakam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka usulan dapat diproses oleh Mendagri