Netralitas ASN: Dilema dalam Mewujudkan Pilkada yang LUBER dan Jurdil di Era Digital

Netralitas ASN: Dilema dalam Mewujudkan Pilkada yang LUBER dan Jurdil di Era Digital
SHARE

PILKADA (PRABANGKARANEWS) – Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada menjadi isu krusial yang kerap muncul setiap kali proses pemilihan berlangsung. ASN sebagai pelayan publik diharapkan tetap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis, namun sering kali muncul dugaan pelanggaran yang menunjukkan sebaliknya.

Hal ini menjadi tantangan besar bagi penyelenggara pemilu seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dalam memastikan Pilkada berlangsung sesuai dengan prinsip LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). Netralitas ASN menjadi kunci dalam menciptakan Pilkada yang berkualitas, namun bagaimana pengawasan dapat dilakukan secara optimal, terutama di era digital saat ini?

Di tengah kemajuan teknologi informasi, Pilkada menghadapi tantangan baru dengan munculnya berbagai platform digital yang mempermudah komunikasi dan transaksi. Internet memungkinkan informasi mengalir lebih cepat, termasuk upaya-upaya tidak langsung yang dapat memengaruhi preferensi pemilih atau perilaku ASN. Selain itu, kemudahan transaksi keuangan secara digital menambah kompleksitas dalam pengawasan, karena segala kegiatan, termasuk yang berkaitan dengan Pilkada, kini bisa dilakukan secara online tanpa harus bertatap muka.

Baca Juga  Kapolda Banten Dianugerahi Gelar Professor Ilmu Mediasi Kepolisian, Berkarya Sebagai Dosen Tetap Universitas Lampung

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah KPU dan Bawaslu memiliki mekanisme dan alat yang cukup untuk memantau transaksi dan kegiatan digital tersebut?  Penulis juga sangat menghargai kinerja dari Bawaslu dan KPU dalam mewujudkan Pilkada yang Langsung Umum Bebas Rahasia, jujur, dan adil.

Tentu saja, mengingat banyaknya platform digital, baik sosial media maupun aplikasi keuangan, penyelenggara Pilkada membutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dan memverifikasi setiap potensi pelanggaran, termasuk keterlibatan ASN yang seharusnya netral. Saat ini, Bawaslu telah mengembangkan beberapa strategi pengawasan berbasis teknologi, seperti penggunaan sistem pelaporan digital yang memungkinkan masyarakat melaporkan pelanggaran secara langsung.

Meski demikian, tantangan terbesar dalam pengawasan digital adalah kecepatan dan akurasi dalam mengidentifikasi pelanggaran. Teknologi yang ada belum sepenuhnya mampu mendeteksi setiap transaksi atau komunikasi digital yang terkait dengan Pilkada, terutama jika dilakukan secara terselubung atau tersembunyi. KPU dan Bawaslu harus terus berinovasi dan meningkatkan kapasitas mereka dalam memantau kegiatan digital, termasuk bekerja sama dengan otoritas terkait seperti Kominfo untuk mengawasi platform-platform digital yang banyak digunakan dalam proses Pilkada.

Baca Juga  Menteri PUPR Targetkan Pengembangan Food Estate di Kalteng Dimulai Oktober 2020

Selain itu, diperlukan juga peraturan yang lebih tegas terkait keterlibatan ASN di ranah digital. ASN yang terbukti tidak netral, baik melalui aktivitas di media sosial maupun transaksi keuangan digital yang mencurigakan, harus mendapatkan sanksi yang tegas. Hal ini penting untuk menjaga integritas proses Pilkada dan mencegah manipulasi digital yang dapat memengaruhi hasil pemilihan.

Pada akhirnya, menjaga netralitas ASN di era digital adalah tantangan terbesar yang membutuhkan sinergi antara penyelenggara pemilu Bawaslu,  KPU, pemerintah, serta masyarakat.  Kercedasan masyarakat sebenarnya menjadi salah satu sarana yang ampuh dalam menciptakan Pilkada yang Luber dan Jurdil.  Terbukti Kota-kota besar di Indonesia masyarakatnya sudah pandai untuk memilih calon yang mempunyai visi dan misi yang terbaik dari yang terbaik.

Selain itu juga masyarakat di Kota dalam  pengawasan  lebih ketat dan teknologi yang mendukung, harapannya Pilkada dapat berlangsung secara LUBER dan Jurdil, meskipun di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat.

Baca Juga  Korem 071 / Wijayakusuma dan Kodim beserta Jajarannya Melaksanakan Penyemprotan Disinfektan

Menjadi persoalan pada wilayah yang masyarakatnya masih belum sejahtera dari segi finansial masih terjadi politik transaksional.  Terutama kelemahan pengawasan dalam ranah digital, di mana pelanggaran terkait lainnya dapat terjadi tanpa terdeteksi, akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap integritas proses pemilu. Ketika masyarakat merasa bahwa pelanggaran terus terjadi tanpa ada upaya penegakan yang tegas, rasa ketidakpuasan akan semakin meningkat. Ini dapat memperkuat persepsi bahwa Pilkada tidak berjalan dengan adil dan transparan.

Permasalahan ini berpotensi menciptakan konflik yang berulang setiap lima tahun sekali. Ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil Pilkada. Selain itu, kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara Pilkada seperti KPU dan Bawaslu juga akan menurun, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas demokrasi.

Pengembangan sistem pengawasan digital yang lebih canggih dan transparan sangat diperlukan untuk memastikan setiap pelanggaran, khususnya di dunia maya, dapat segera ditangani. Hanya dengan langkah tegas dan pengawasan yang optimal, ciptakan  Pilkada yang jujur, adil, serta bebas dari manipulasi digital bisa terwujud.

Penulis: Dr. Agoes Hendriyanto, M.Pd