Konsep Cinta Tanah Air Dalam Kumbakarna Gugur

Konsep Cinta Tanah Air Dalam Kumbakarna Gugur
SHARE

Oleh: Prof. Bani Sudardi

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret

Kumbakarna adalah seorang raksasa anak Resi Wisrawa dari ibu Dewi Sukesi. Dalam  Serat Tripama, disebutkan bahwa Kumbakarna adalah sebuah teladan dalam kehidupan karena dia dengan gigih membela negaranya. Tembang dhandhanggula tersebut seperti berikut.

Wonten malih tuladhan prayogi,

satriya gung nagari Ngalengka,

sang Kumbakarna namane,

tur iku warna diyu,

suprandene nggayuh utami,

duk awit prang Ngalengka,

dennya darbe atur,

mring raka amrih raharja,

Dasamuka tan keguh ing atur yekti,

de mung mungsuh wanara.

Diceritakan bahwa para senapati Alengka satu persatu berguguran. Berita yang menggemparkan adalah gugurnya sesepuh Alengka yang bernama Patih Prahasta. Dasamuka merasa sedih sekali dan merasa seperti kehilangan kekuatan. Tidak ada lagi senapati Alengka yang dapat diandalkan. Lalu ia teringat adiknya yang bertapa tidur di padepokan Peleburan Gangsa. Iya teringat akan Kumbakarna yang pernah diusirnya dari istana Alengka.

“Wahai Indrajit bangunkan pamanmu Kumbakarna. Katakan aku sudah mengampuni dan dia diminta datang ke istana Alengka” perintah Dasamuka.

Indrajit pun segera pergi ke Peleburangongso didampingi oleh Ki Lurah Togog atau Tejamantri. Sesampainya di padepokan memang dijumpainya pamannya tertidur pulas. Bunyi dengkurnya menggetarkan pepohonan yang ada di sekitarnya seperti ada gempa.

“Wahai Paman bangunlah Rama Prabu telah mengampuni paman. Paman diminta untuk datang ke istana,” kata Indrajit.

Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Kumbakarna yang sedang tertidur. Berkali-kali usaha untuk membangunkan dicoba, tapi semuanya tidak dapat dilaksanakan.

Lalu mendekatlah Tejamantri dan berbisiklah ia di telinga Kumbakarna.

“Wahai tuanku bangunlah. Wahai tuanku bangunlah. Ada berita penting yang akan disampaikan” bisik Togog.

Mendengar suara Togog bangunlah Kumbakarna. Suaranya bergetar bergemuruh.

“Wahai Tejamantri. Wahai Ki lurah Togog,” kata Kumbakarna.

Mendengar suara Togog bangunlah Kumbakarna. Suaranya bergetar bergemuruh.

“Wahai Tejamantri. Wahai Ki Lurah Togog, ada apa engkau membangunkan diriku yang sedang bertapa tidur. Aku bangun karena aku tahu kaulah hamba yang tidak pernah memberikan berita yang bohong. Kamu adalah corong kebenaran Tuhan, cuma sayangnya suaramu tidak pernah diperhatikan,” kata Kumbakarna.

Baca Juga  Erick Thohir Targetkan Poin dari Kedatangan Mees Hilgers dan Eliano Reijnders untuk Timnas Indonesia

“Wahai Paman, Rama Prabu meminta paman kembali ke istana. Beliau sudah memaafkan Paman, “ kata Indrajit.

Kumbakarna pun segera   bersiap untuk pergi Alengka. Perjalanan tiada diceritakan akhirlah sampai lah ke istana Alengka. Dasamuka menyambut hangat Adinda dan sudah disediakan berbagai makanan dan minuman kesukaan Kumbakarna.  Maka dimakanlah hidangan yang jumlahnya beberapa gerobak serta minuman beberapa tong semua dilahap habis oleh Kumbakarna. Telah selesai makan, maka Dasamuka pun mendekati Kumbakarna dan berkata.

“Wahai adikku yang perkasa. Ketahuilah bahwa sepeninggal adikku istana Alengka diliputi duka-cita. Para senapati dan prajurit yang jumlahnya beribu-ribu dalam pertempuran melawan pasukan wanara,” kata Dasamuka sedih dan memelas.

” Sekarang hanya Engkaulah andalanku untuk dapat mengalahkan pasukan itu karena kaulah yang terkenal sebagai Senapati yang pilih tanding tidak ada orang yang bisa mengalahkan adikku,” kata Dasamuka.

“Majulah sebagai senapati, wahai Adiku. Kamu pasti tidak akan rela negerimu diinjak-injak. Ketahuilah bahwa pamanmu Patih Prahasta juga telah gugur dengan aniaya yang di luar batas kemanusiaan. Kepalanya dihancurkan dan tubuhnya penuh luka,” kata Dasamuka.

Mendengar kata-kata Dasamuka, Kumbakarna tidaklah marah besar. Dia tahu bahwa kakaknya sumber dari perkara itu. Maka Kumbakarna memuntahkan semua yang sudah dimakannya dalam keadaan utuh.

“Wahai Kakang Prabu. Kurang apa adikmu Kumbakarna ini. Kurang apakah adikmu Wibisana. Kurang apakah nasihat Paman Prahasta. Kakang semua mengingatkan Kakang Prabu untuk segera mengembalikan Dewi Sinta. Tiada berguna memperebutkan seorang wanita yang tidak menjadi hakmu Kakang. Sekiranya sejak awal Kakang kembalikan Dewi Sinta, maka perang ini tidak akan terjadi. Tetapi Kakang Prabu sendiri yang keras kepala. Merasa paling sakti dan merendahkan orang lain. Sekarang Kakang melihat bahwa Negeri Alengka tidak dikalahkan oleh manusia, tetapi dikalahkan oleh para kera. Di manakah sesumbarmu yang katanya bisa mengalahkan para Dewa. Kakang terlalu terlilit oleh hawa nafsu Kakang. Terlilit oleh egoisme. Terlilit oleh cinta buta dan Kakang melupakan semua kebenaran yang sudah diajarkan oleh nenek moyang kita,” kata Kumbakarna.

Baca Juga  Presiden Joko Widodo Memberikan Izin Cuti Prabowo untuk Pendaftaran Capres dan Cawapres

“Drohon kau Kumbakarna. Negara dalam keadaan bahaya, kamu masih berkata-kata yang busuk. Di manakah cinta kepada negerimu. Di manakah cinta kepada leluhurmu yang telah membangun dengan jerih payahnya Negeri Alengka ini, sementara engkau yang sudah merasakan kenikmatan, mendapatkan kemuliaan, mendapatkan nama harum, derajat, pangkat, dan semat. Sekarang Kau berani memaki-maki drohon….,” Dasamuka marah.

“Wahai Kakang Prabu. Aku memang bodoh. Aku tidak bisa berpolitik. Aku tidak bisa bermain kata-kata. Tetapi aku mengetahui kebenaran. Ketahuilah kakakku bahwa saya memang akan maju sebagai senapati, tetapi ini tidak untuk membela kakangku yang telah terjerat angkara murka.  Aku akan membela tanah tumpah darahku.

Kakang aku akan maju menjadi senapati, akan aku hadapi pasukan kera ini. Aku maju untuk membela tanah airku. Bagiku, benar atau salah itu adalah negeriku yang harus aku bela sampai titik darah penghabisan,” kata Kumbakarna sambil meninggalkan Dasamuka. Sebelum menuju ke medan perang, Kumbakarna pulang untuk berpamitan kepada istri dan anak-anaknya. Dia berganti pakaian putih sebagai simbol kebersihan jiwa.

Kumbakarna segera datang ke medan perang di Suwelagiri. Heboh lah semua kera melihat kedatangan raksasa besar. Segeralah Sugriwa maju ke depan menghadang perjalanan Kumbakarna.

“Kamu raksasa berbaju putih seperti seorang Brahmana. Apa kehendakmu datang ke Medan laga. Ini tempat orang membela kebenaran, baiklah kamu mundur saja samadi dan meminta kepada Dewata agar dilancarkan jalan menuju kehidupan akhir,” kata Sugriwa.

“Wahai Sugriwa. Meskipun aku berwujud raksasa, aku bukanlah denawa yang angkara murka. Aku tahu akan kebenaran. Dan aku maju ke sini adalah untuk membela tanah airku yang kamu injak-injak ini,” kata Sugriwa.

Baca Juga  Langkah Tegas Pangdam I/BB: Razia Serentak di Tempat Hiburan Malam

“Kumbakarna, bagaimanapun juga kamu adalah pembela Dasamuka yang telah mengumbar Angkara murka, perang ini tidak akan terjadi kalau kakakmu mengembalikan Dewi Sinta,”kata Sugriwa.

Kumbakarna tampaknya dalam keraguan yang besar. Mendengar kata-kata Sugriwa, maka ia lalu berdiri tegak membisu. Segenap serangan yang diberikan tidak dibalasnya. Ribuan kera yang memegangi tubuhnya dibiarkan tidak ditewaskannya.

“Wahai Sri Rama pulanglah ke negerimu. Aku tidak akan menyakiti siapapun,” teriak Kumbakarna.

“Kembalikan Dewi Sinta kepadaku, maka segenap pasukan kera ini akan kembali lagi ke negeri seberang,” kata Sri Rama.

Karena Kumbakarna semakin maju, maka datanglah Sugriwa menghadapinya. Raja kera itu kemudian ditangkapnya dan dipegangnya di depan dada. Pada saat lengah, Sugriwa bisa lepas kemudian dia memegang kedua telinga Kumbakarna dan ditariknya sekuatnya. Maka putuslah telinganya. Sugriwa segera maju lagi dan dipegangnya hidung Kumbakarna, ditarik sekuat tenaga dan lepaslah hidung itu. Kumbakarna mandi darah, wajahnya dipenuhi darah yang menetes dari luka di telinga dan hidungnya. Tetapi ia tetap maju menuju sri Rama.

“Wahai Paduka, segeralah dihabisi karena kalau maju akan semakin banyak korban,” kata Wibisana.

Sri Rama segera mengambil panahnya, lalu di panahnya Kumbakarna. Putuslah kedua bahu kanan dan kiri. Ia berjalan tanpa tangan. Tetapi ia tetap maju sehingga Sri Rama memanah kakinya dan putuslah kaki kanan dan kirinya. Dia berdiri seperti Tugu, namun teriaknnya menggemparkan dunia. Sri Rama lalu memanah lehernya kepalanya jatuh ke tanah dan robohlah jasad raksasa itu ke bumi. Sempurnalah sudah. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa.

TANCEP KAYON

SEDUMUK BATHUK SENYARI BUMI DITOHI PATI

NGANTI PECAHING DHADHA

WUTAHING LUDIRA

ONCATING NYAWA.

Kadang memang sangat sulit untuk menentukan suatu langkah perjuangan benar atau salah. Tetapi semua dikembalikan kepada hati nurani. Tata lahir Kumbakarna membela kakaknya yang angkara, tetapi niat batinnnya adalah mencintai tanah airnya.