Lakon Wisanggeni Gambaran Rakyat Kecil Yang Menuntut

Lakon Wisanggeni Gambaran Rakyat Kecil Yang Menuntut
Prof. Bani Sudardi
SHARE

Oleh: Prof. Bani Sudardi

Guru Besar Universitas Sebelas Maret

Dalam cerita pewayangan, terdapat lakon Wisanggeni ngobrak-abrik  Jonggringsaloka. Sering juga disebut Wisanggeni Gugat atau Wisanggeni Takon Bapa. Wisanggeni adalah gambaran rakyat kecil. Ia dilahirkan prematur akibat kesewenang-wenangan Batara Guru. Namun, berkat kekuatan Sang Hyangwenang, ia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan para dewa.  Diceritakan Wisanggeni termangu di tepi kawah Candradimuka. Iya tidak tahu apa-apa karena rasa-rasanya ia tiba-tiba saja sudah berada di tepian kawah Candradimuka. Padahal belum lama berselang, Iya digembleng di dalam kawah itu dengan Batara Narada selalu mengawasi dari pinggir kawah.

Ada kejadian yang luar biasa. Kawah Candradimuka yang biasanya panas membara, menggelegak, dengan api berkobar-kobar. Saat itu diam bagaikan telaga sejuk. Batara Narada tidak syak lagi bahwa Wisanggeni sudah mendapatkan kekuatan dari penguasa tertinggi para dewa yaitu Sang Hyang Padawenang. Karena jangankan hanya bayi yang kecil mungil, bayi yang lahir prematur, sedangkan makhluk yang sakti pun apabila masuk ke dalam kawah Candradimuka pasti hancur lebur menjadi abu.

“Hai kakek jelek dan gendut kamu sudah memberi nama saya Wisanggeni tetapi sekarang jelaskanlah aku ini siapa dan aku harus mengapa,” kata Wisanggeni kepada Batara Narada.

“Ulat-ulut tiahak plekencong warudoyong. Kodok kerok omah ngerong. Tukang  kendang nyambi gerong. Bocah bagus Wisanggeni,” kata Batara Narada.

“Ketahuilah bahwa kamu berada di pinggir Kawah Candradimuka karena kamu dibuang oleh Batara Brama. Semua atas perintah penguasa Penguasa Tertinggi Kahyangan Batara Guru, “ kata Batara Narda sambil terkekeh dan berjoget-joget.

“Kenapa saya dibuang ke dalam kawah ini. Apa salah saya? Bukankah aku masih kecil dan tidak memiliki dosa apa-apa?" kata Wisanggeni selanjutnya.

Plekencong. Plekencong. Aku tidak tahu maksud Batara Guru, coba kamu tanya sendiri. Mintalah keadilan kepadanya karena dia adalah penguasa tertinggi di alam para dewa. Sekarang ia sedang di Bali Mercukanda. Datanglah ke sana, kata Batara Narada.

Wisanggeni lalu melesat menuju Balai Mercukanda di Kahyangan Jonggringsalaka. Pintu gerbang Sela Matangkep ternyata ditutup. Tetapi ternyata, bagi Wisanggeni pintu itu dengan mudahnya dia buka. Hal itu tidak lain karena kekuatan Sanghyang Padawenang yang sudah manjing di dalam diri Wisanggeni.

Batara Guru sedang duduk dihadap oleh para dewa semuanya. Tempat pertemuan menjadi kaget dan kacau balau dengan kedatangan seorang bocah kecil yang tanpa sopan santun mendatangi Batara Guru. Anak ini tidak dikenal siapapun. Batara Guru merasa heran dengan kedatangan anak ini karena dia mampu membuka Sela Matangkep.

Baca Juga  Pahami Pendidikan Profesi Guru, Terutama yang Bercita-cita Menjadi Guru

Mana yang namanya Batara Guru. Aku Wisanggeni ingin meminta keadilan, katanya tapa sopan santun.

Ini anak dari mana. Tidak tahu sopan santun, tegur Batara Guru.

Aku Wisanggeni, tetapi aku tidak tahu dari mana asalku. Tiba-tiba berada di tepian Kawah Candradimuka. Katanya semuanya atas perintahmu wahai Batara Guru. Sekarang Jelaskanlah aku ini siapa dan Kenapa kamu tega memasukkan aku ke dalam kawah.

Mendengar kata-kata Wisanggeni, Batara Brama menjadi teringat akan tindakannya memasukkan janin dari rahim Batari Dersanala ke kawah. Tubuhnya menjadi panas dingin dan keringat mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga membasahi jubahnya. Dia tahu bahwa itu adalah cucunya, tetapi dia heran kenapa tidak hancur ketika berada di kawah Candradimuka.

“Hai bocah kecil. Ketahuilah bahwa yang namanya Batara itu tidak boleh diprotes siapapun. Karena Batara itu maha kuasa,” jawab Batara Guru

“Kalau Batara tidak adil, kenapa tidak bisa diprotes,” jawab Wisanggeni. “Hai Batara Guru, karena kamu menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan ini. Maka tunjukkanlah aku ini siapa. Orang tuaku di mana. Dan apa salahku sampai aku disiksa di dalam kawah Candradimuka,” kata Wisanggeni.

“Ulun tidak mau berbicara dengan anak kecil sepertimu,” kata Batara Guru

“Kalau demikian, berarti keadilan tidak untuk orang kecil. Hanya untuk para Dewata belaka. Keadilan model mana ini?” kata Wisanggeni

“Ya, keadilan itu hanya untuk para Dewata. Untuk kepentingan para Dewata, keadilan boleh direkayasa semau gua. Toh kami juga yang kuasa. Kamu mau apa?” kata Batara Guru ketus.

“Kalau demikian, aku akan memberontak kepada para dewa. Kahyangan ini akan saya obrak abrik dan seluruh Dewa akan saya hajar semuanya,” kata Wisanggeni tidak sabar sambil menghantam Batara Guru.

“Kurang ajar bocah cilik. Hancur tubuhmu oleh Trisula yang saya pegang ini.

Majulah bocah edan,” kata Batara Guru. Tetapi aneh. Trisula yang mahasakti

mental mengenai tubuh mungil Wisanggeni. Pukulan trisula menimbulkan kobaran api dan membuat Batara Guru terpental.

“Edan bocah ini. Hai para dewa, ayo kita keroyok bocah celuntangan ini.

Jadikan abu,” perintah Batara Guru

Para dewa pun segera maju menyiapkan senjatanya. Batara Brama, Penyarikan, Batara Bayu, dan Batara Nyamadipati segera maju ingin menghajar Wisanggeni. Tetapi apa yang terjadi sangat mengagetkan, anak ini tidak mempan senjata para dewa. Ketika Batara Guru mengeluarkan segenap ajian kemlayan dan pengabaran, ternyata tidak tedhas. Mentheles.

Baca Juga  Menanti Gebrakan 100 Hari Pertama Prabowo-Gibran Atasi Kendala Gas Industri di Banten

“Kurang ajar, ternyata anak ini kebal senjata. Ayo kita lari mencari bantuan ke  marcapada,” kata bandara Guru memerintahkan para dewa. Para Dewa pun segera mengikuti larinya Batara Guru. Batara Narada yang melihat dari jauh tertawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha, tahu rasa lu,” katanya sambil tertawa-tawa. “Makanya jadi penguasa itu jangan dzalim ya. Musuh anak kecil saja bisa kacau balau kan?” katannya sendirian.

Wisanggeni siap segera mengejar para dewa yang kocar-kacir melarikan diri itu. Batara Guru mengarah kepada negeri Ngamarta. Sebagaimana biasa darah Pandawa memang selalu mrantasi bisa menjadi para dewata ada masalah. Tetapi sial, sebelum sampai Ngamarta, Wisanggeni berhasil mengejar Batara Guru.

“Ini siapa? Pakaiannya seperti ratu, tetapi penakut. Tanganmu empat, tetapi jalanmu pincang.” hardik Wisanggeni. Dalam batin Batara Guru sepertinya takut, tetapi ia beranikan menghadapi anak kecil ini.

“Hai anak kecil kurang ajar. Ketahuilah Ulun ini rajanya para Dewa. Namaku Batara Guru. Minggirlah” gertak Batara Guru.

“ Ha ha ha. Ini rajanya para Dewa? Kenapa kamu ngacir? Tidak tahu malu. Aku tidak akan minggir sebelum kau memenuhi permintaanku,” jawab Wisanggeni.

“Siapa yang menyuruh memasukan aku ke dalam Kawah Candradimuka? Lalu siapa Bapaku? Siapa Ibuku,” katanya.

“Jeneng ulun tidak tahu. Kamu mahkluk yang tiba-tiba muncul dan mengamuk,” jawab Batara Guru.

“Dewa goblok!” kata Wisanggeni sambil menendang Batara Guru. Pimpinan Dewa itu tersungkur. Dalam batin sangat heran ada orang marcapada mampu menjatuhkan dirinya. Dia sangat malu dan segera menggunakan ilmu pengabaran, lalu menghilang bersama angin.

Wisanggeni kemudian mengejar Dewa lain. Sekarang dia berhasil menjumpai Batara Brama. Dewa Api itu pun kecipuhan sangat takut. Rasa berdosa telah menjadikan tubuhnya gemetar.

“Kamu siapa?” tanya Wisanggeni kepada Batara Brama.

“ Aku Batara Brama. Dewa api, oh Ngger putuku aku minta maaf yang besar karena dosa-dosaku,” kata Batara Brama.

“Kenapa minta maaf. Kenapa nyebut aku cucumu, “ kata Wisanggeni.

“Ketahuilah cucuku. Kamu anak Batari Dresanala, putriku. Bapakmu

panengah Pandawa bernama Arjuna. Atas kehendak Batara Guru, kamu dilahirkan paksa karena ibumu akan dijadikan penari kahyangan. Tetapi itu ternyata akal licik

Batarau Durga agar ibumu dapat dinikahkan dengan Dewa Srani. Sekarang ibumu digelandang oleh Dewa Srani!” kata Batara Brama.

“Bangsat. Demi anak Batara Guru sampai hati berbuat nista, “ kata Wisanggeni sambil melanjutkan pengejaran kepada Batara Guru.

Baca Juga  Minggu Kedua; Belajar dan Praktik Mengajar di Kampus Mengajar 4 di SD Negeri 4 Sempu Nawangan

Dikisahkan bahwa Batara Guru dalam pelariannya sudah sampai di Ngamarta.

Ia diterima oleh Yudistira dan segenap punggawa negeri Ngamarta. Dari jauh Batara Narada menari-nari dan terkekeh-kekeh melihat Batara Guru terbirit-birit. Tidak lama kemudian datanglah Wisanggeni. Satria kecil ini akan segera menangkap Batara Guru, tetapi langkahnya dihalangi oleh segera keluarga Pandawa.

Ternyata tidak ada satupun dari Satria Pandawa yang mampu melawan Wisanggeni. Melihat situasi yang demikian rumit, batara Guru segala ingat bahwa hanya Sanghyang Padawenang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Batara Guru segera maju ke hadapan Wisanggeni dan menyembah kakinya. Para Pandawa sangat kaget ada seorang Batara menyembah kaki anak kecil.

Dhuh Sang Hyang Padawenang. Cucunda mohon ampun sudah berbuat khilaf. Hamba mohon ampun Paduka, sembah Batara Guru.

Perlahan-lahan Sang Hyang Padawenang keluar dari tubuh Wisanggeni.

Semua yang hadir duduk menyembah kehadiran Dewa tertinggi dalam dunia pewayangan ini. Semua menjadi khidmat dan terdiam.

Hai cucu Ulun Batara Guru. Tidak sepantasnya engkau berbuat aniaya kepada orang kecil dan tidak berdosa. Keadilan itu untuk semua umat di dunia ini.

Bukan hanya untuk para penguasa saja. Kamu harus memegang keadilan kepada siapapun dan jangan kau gunakan kekuasaanmu untuk membela keluarga dan anak-anakmu; kata Sang Hyang Padawenang.

Mak deg, Batara Guru mendengar suara Sang Hyang Padawenang. Merasa benar-benar telah berdosa menggunakan kekuasaan hanya demi anak-anak dan keluarganya. Batara Guru menyampaikan terima kasih pada Pandawa. Dari jauh Batara Narada menari-nari dan tertawa-tawa.

Heh Adi Guru dan cucuku Pandawa. Ketahuilah bahwa Wisanggeni ini tidak lain adalah anak Arjuna dan Dewi Dresanala yang sudah ditolong Sang Hyang Padawenang. Terimalah dia sebagai anakmu. Ulut-ulut tiahak. Plekencong- plekencong . Tukang ngendang nggondol uwong. Tiahak-tiahak,"kata Batara Narada sambil tertawa dan sesirik.

Kakang Narada, mari kita kembali ke Kahyangan,  kata Batara Guru. Iya adi Guru, mari-mari. jawabnya.

Selepas Batara Guru dan Narada pergi, Wisanggeni dan Pandawa menyiapkan diri merebut Batari Dresanala yang disekap oleh Dewa Srani. Tidak berapa lama  Dewa Srani dapat dikalahkan dan melarikan diri kepada ibunya, Batara Durga.

TANCEP KAYON

Bagi para pemegang kekuasaan, harus menggunakan kekuasaan secara amanah dan tidak digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, atau anak- anaknya.  Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah lupa dan akan memberikan keadilan sebaik-baik kepada hamba-Nya yang dizalimi. Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah tidak tidur dan alpa.