Ringkasan Buku Denny JA (dan Tim): Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia
BUKU PANDUAN: GERAKAN KEBANGSAAN
Oleh Anick HT
Sahabat, tentu kita sepakat bahwa Indonesia dibangun dari dan oleh beragam perbedaan. Kita juga mengerti betul bahwa kita memiliki empat pilar bangsa berdiri di atas segala perbedaan itu. Kita sepakat pula bahwa terorisme adalah ancaman nyata bagi harmoni dan kedamaian seluruh elemen bangsa.
Namun kita perlu bertanya, apakah empat pilar itu sudah keropos dan tidak laku sehingga radikalisme dan terorisme terus terjadi di negeri ini? Buku ini memaparkan dengan gamblang ancaman radikalisme, kapan dan mengapa seseorang menjadi radikal, serta bagaimana menangkal radikalisme dan terorisme itu.
Lebih jauh, buku ini juga menegaskan tentang empat pilar yang merupakan fondasi rumah Indonesia yang damai dan beragam. Dalam hal ini, Pancasila menjadi Dasar Negara yang penting untuk diperkuat dan dikampanyekan ulang.
Untuk itu, buku yang ditulis oleh Denny JA dan Tim ini juga menawarkan solusi yang lebih konkret bagaimana kita memaknai dan memasarkan Pancasila sesuai kebutuhan dan semangat zaman saat ini.
Buku ini adalah upaya konkret untuk merawat kebinekaan, lengkap dengan panduan kehidupan berbangsa: siapa melakukan apa, bagaimana strateginya, serta apa yang diharapkan menjadi ujung dari seluruh strategi merawat rumah bersama bernama Indonesia ini.
Lima Gagasan Utama Buku
1. RADIKALISME-TERORISME HARUS DIKENALI FAKTOR DAN PROSESNYA
2. KENALI PULA DUA RANAH STRATEGI PENANGGULANGAN TERORISME
3. FONDASI RUMAH INDONESIA HARUS DIPERKOKOH DENGAN TAFSIR YANG SESUAI ZAMAN
4. MENJAGA RUMAH BERSAMA HARUS MENYEPAKATI ATURAN MAIN
5. PANCASILA HARUS DISEBARKAN DENGAN MENCETAK JURU BICARA DAN MENGGUNAKAN STRATEGI YANG BENAR
-000-
SATU
13 Mei 2018, Indonesia dikejutkan oleh meledaknya bom di beberapa gereja di Surabaya. Lebih mengejutkan lagi karena pelaku bom ini melibatkan suami, istri, dan empat anaknya. Bahkan anak terkecil mereka yang berumur 9 tahun.
Ini ancaman nyata terorisme Indonesia, dan bahkan pola baru terorisme karena melibatkan satu keluarga.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa ada orang yang memilih jalan terorisme yang mengorbankan banyak nyawa manusia?
Louise Richardson merumuskan tiga variabel penyebab seseorang menjadi teroris. Pertama, adanya individu yang terasing. Terorisme dimulai dari adanya individu-individu yang mengalami masalah dalam kehidupan pribadinya. Kedua, adanya komunitas yang mendukung. Adanya individu yang teralienasi tidak akan berpengaruh tanpa adanya dukungan dari organisasi. Ketiga, adanya ideologi yang melegitimasi. Ideologi ini menjadi dasar pembenar individu dalam melakukan tindakan kekerasan, bahwa apa yang dilakukan bisa dibenarkan dan mempunyai tujuan baik.
Ahli lain melihat faktor penting mengapa orang bisa menjadi teroris. Pertama, adanya sebagian orang yang merasa diperlakukan tidak adil. Sistem hukum yang ada atau negara tidak memihak ke mereka. Kedua, mereka terpengaruh dengan paham agama yang dipahami secara tidak pas sehingga dijadikan justifikasi untuk melakukan aksi teror.
Misalnya, makna jihad yang dipersempit dan dijadikan justifikasi aksi teroris. Padahal, jihad memiliki banyak makna dan luas.
Kesimpulan yang bisa diambil dari banyak kasus: perilaku terorisme tidak muncul tiba-tiba, tetapi melalui tahapan atau proses. Seringkali, pada mulanya individu terlihat baik tetapi kemudian mengalami transformasi menjadi pelaku terorisme.
DUA
Lalu bagaimana strategi menanggulangi terorisme? Ada dua pendekatan yang sama-sama penting. Pertama, pendekatan hard-power. Inti dari pedekatan ini, terorisme adalah musuh bersama, dan karena itu terorisme harus dihancurkan lewat upaya pengejaran pelaku, penangkapan, dan sebagainya.
Kedua, pendekatan soft-power. Pada pendekatan ini, upaya menangkal terorisme dilakukan dengan jalan persuasi untuk mencegah agar orang tidak terlibat dengan terorisme dan mengajak orang yang terlibat terorisme agar sadar dan tidak mengulangi perilaku terorisme kembali.
Tindakan hard-power jika tidak dilakukan secara hati-hati akan menguntungkan kelompok teroris. Mereka bisa mempropagandakan diri mereka sebagai korban. Propaganda ini bisa berhasil ketika masyarakat menjadi simpati terhadap kelompok teroris. Karena itu strategi penting dalam penanganan terorisme adalah soft-power, di antaranya melalui upaya deradikalisasi.
Deradikalisasi adalah upaya untuk mengubah orang atau kelompok yang mempunyai paham radikal agar berubah atau kembali seperti sebelum menjadi radikal.
Tito Karnavian pernah membuat studi menarik bersama dengan Melani Arnaldi mengenai proses dan tahapan deradikalisasi ini. Menurut mereka, deradikalisasi tidak bisa dipisahkan dengan radikalisasi.
Kita bisa memotong tahapan radikalisasi dan mengubah menjadi deradikalisasi. Untuk menggambarkan proses radikalisasi, Arnaldi dan Karnavian menggunakan teori-teori dalam lapangan psikologi.
Menurut mereka, deradikalisasi bisa dilakukan di antaranya dengan melakukan intervensi kognitif kepada seseorang. Individu pelaku terorisme atau yang berpotensi melakukan terorisme bisa “dibenturkan” dengan kognisi lain sehingga mengalami distorsi kognitif.
Sebagai misal, pelaku terorisme percaya bahwa tindakan terorisme akan dibalas oleh Tuhan dengan janji surga. Deradikalisasi bisa dilakukan dengan memberikan wacana dan interpretasi lain, misalnya lewat buku, pendapat para ulama dan sebagainya.
TIGA
Sahabat, LSI Denny JA pada Juli 2018 melaporkan hasil surveinya: Dalam waktu 13 tahun, 2005-2018, warga yang mendukung Pancasila menurun sekitar 10 persen. Sementara dalam waktu yang sama, warga yang mendukung NKRI bersyariah menaik sekitar 9 persen. Pancasila adalah perekat keberagaman sekaligus identitas nasional. Apa jadinya dengan Indonesia jika perekat itu melemah?
Indonesia adalah sebuah rumah, tepatnya sebuah rumah besar yang dihuni oleh ratusan juta warga dengan ribuan pulau, etnis, bahasa dan agama yang beragam. Rumah yang baik membutuhkan fondasi atau dasar yang baik karena akan membuat rumah tersebut kokoh.
Pancasila adalah konsensus terbaik yang menyatukan berbagai pandangan, keragaman suku, etnis, dan agama di Indonesia. Lewat Pancasila, warga yang beragam bersepakat untuk mempunyai dasar bernegara yang sama.
Kita bisa bayangkan jika tidak ada Pancasila, maka negara Indonesia akan goyah.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menjaganya? Pancasila bisa berpotensi ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa, bisa digunakan sebagai dasar pembenar dari tindakan dan perilaku yang tidak demokratis dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Karena ini Pancasila perlu ditafsirkan sesuai dengan prinsip peradaban modern, demokrasi, dan hak asasi manusia. Untuk itu, sebagai sebuah ideologi, Pancasila harus ditempatkan sebagai ideologi yang terbuka.
EMPAT
Sahabat, untuk menjaga rumah besar bernama Indonesia itu, tentu harus ada rambu-rambu yang disepakati bersama seluruh penghuni rumah. Jika semua warga Indonesia menginginkan rumah besar ini terjaga dan membawa kedamaian serta kesejahteraan bersama, maka rambu-rambu itulah yang harus ditaati semua warga.
Ini harus berangkat dari titik pijak hak asasi manusia, hak yang melekat pada setiap individu sejak mereka lahir.
Setidaknya ada tiga hal yang boleh dilakukan sebagai warga negara Indonesia. Pertama, Hak sipil: biarkan saya menjadi diri sendiri. Kedua, Hak sosial: jangan campuri urusan kami, dan Hak Politik: biarkan kami ikut berpartisipasi. Ketiga, Hak ekonomi: beri kami kehidupan yang layak.
Di sisi lain, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Tiga hal ini sudah tercantum juga dalam Undang-undang Dasar 1945. Pertama, meghormati hak. Terhadap hak asasi warganya, negara harus menahan diri untuk melakukan intervensi, kecuali atas alasan hukum yang sah (legitimate). Kedua, melindungi hak. Negara harus melindungi hak warganya dari pelanggaran yang dilakukan aparat negara maupun pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain non negara.
Ketiga, memenuhi hak. Ini memuat dua dimensi kewajiban negara, yakni kewajiban untuk memfasilitasi dan kewajiban untuk menyediakan.
LIMA
Sahabat, setelah memahami gagasan, penafsiran pancasila yang disesuaikan zaman, lalu apa yang harus kita lakukan?
Menurunnya dukungan Pancasila harus diantisipasi dengan berbagai strategi. Mengacu pada konsep dalam dunia pemasaran, Pancasila adalah sebuah produk yang harus bersaing dengan produk (ideologi) lain. Ideologi Pancasila, harus mampu dipasarkan dengan baik agar diterima oleh konsumen (publik Indonesia).
Hal baik yang tidak diorganisir akan dikalahkan oleh hal buruk yang diorganisir. Gagasan baik yang tidak diperjuangkan, digaungkan, disosialisasikan bisa dikalahkan oleh gagasan buruk yang dimarketingkan secara efektif.
Dalam konteks memasarkan gagasan ini, persuasi adalah pilihan pendekatan. Kita diharapkan bisa berperan sebagai persuader yang bisa meyakinkan publik pentingnya menjaga nilai-nilai Pancasila dan toleransi.
Harus diingat, persuasi adalah sebuah seni, bagaimana kita mengubah sikap atau perilaku orang tidak dengan paksaan. Orang berubah sikap atau perilaku karena kerelaan atau kesadaran. Dan keberhasilan persuasi juga ditentukan oleh bagaimana pesan persuasi tersebut dikemas.
REFLEKSI
Menurunnya dukungan publik terhadap Pancasila dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor pentingnya adalah minimnya terobosan untuk memasarkan nilai Pancasila, sementara ideologi lain dipasarkan sedemikian rupa sehingga mampu meyakinkan publik bahwa Pancasila adalah sistem salah yang kita anut.
Melemahnya penjiwaan nilai Pancasila juga berimplikasi panjang pada kerentanan masyarakat terhadap perilaku dan tindakan yang mengarah pada penggunaan kekerasan hingga terorisme.
Buku ini dengan sangat runut membangun argumentasi dan melihat persoalan kebangsaan ini dengan jernih, sehingga pembaca dituntun untuk melihat dengan jelas persoalan kebangsaan kita beserta faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya keterancaman rumah besar bernama Indonesia ini.
Tidak berhenti di sana, buku ini juga menyediakan tools dan strategi penting bagaimana menafsir falsafah dan dasar negara ini sesuai dengan kemajuan zaman, serta strategi untuk mengembalikan kepemilikan bangsa ini terhadap Pancasila dan nilai-nilainya.
Membaca buku ini membuat kita seperti mengikuti sebuah pelatihan kebangsaan dengan materi kognitif yang cukup, dilengkapi dengan pengetahuan skill yang membuat kita siap menjadi penjaga rumah besar Indonesia, menjadi juru bicara Pancasila. *
Judul: Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia
Tahun: Oktober, 2018
Tebal: 300 Halaman
Penulis: Denny JA dan Tim
Penerbit: Jakarta, Cerah Budaya Indonesia