Penggalian Fosil Komunisme: Untuk Kepentingan Politik?
PRABANGKARANEWS.COM || Jakarta – Acara webinar yang diselenggarakan oleh P3S dengan Tema Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik, Hari Selasa (29/09/2020) Jam 14.00-17.00 WIB yang diikuti 247 peserta baik dari dalam maupun luar negeri. Narasumber Jerry Massie (Direktur Political and Public Policy Studies, Letjen TNI (Purn.) Agus Widjoyo, Gubernur Lemhanas RI, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, Eduard Lemanto (Direktur LKIP), Dr.J.Kristiadi Peneliti Senior CSIS. Bertindak sebagai moderator Dr. Frederik Fios Dosen Bina Nusantara (Binus).
Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo Gubernur Lemhanas
Wabah pembangkitan bahaya Komunisme sulit tidak diakui untuk hadir setiap tahun menjelang tanggal 30 September/1 Oktober. Karena pemunculan yang berulang pada saat yang tetap itu sulit dipungkiri bahwa isu tersebut sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik.
Berbicara tentang PKI atau Komunisme sebagai perwujudan sebuah ideologi memang tidak mudah. Kita tidak dapat menduga apa yang hadir dalam pikiran orang. Kenyataan ini bukan merupakan fakta hari ini saja, namun sudah hadir bersama dengan perjalanan sejarah Indonesia, dalam bentuk kehadiran PKI dalam sejarah Indonesia.
Mencari bentuk Komunisme yang melekat pada diri perseorangan pada hari ini oleh karenanya merupakan sebuah spektrum, dimulai dari bentuk struktur Partai Komunis Indonesia yang kini sudah menjadi partai terlarang berdasarkan “TAP MPRS No. XXV/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme” dan “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara”, hingga berbagai bentuk asosiasi dengan kegiatan ideologi komunisme atau PKI di masa lalu yang menyisakan memori yang melekat pada perseorangan terkait.
Memori ini bisa memunculkan sikap dan penilaian yang dapat dikaitkan dengan ideologi komunisme atau PKI. Hal ini bisa menjadi motivasi dan alasan perekat bagi korban yang dinyatakan sebagai ex-anggota PKI seperti awal pemunculan dalam identitas yang dikaitkan dengan PKI seperti kumpulan reuni, penulisan memoir dan lain sebagainya. Perkembangan keadaan seperti ini diartikan oleh pihak yang anti PKI sebagai indikator pemunculan kembali PKI yang membahayakan keamanan negara.
Dengan munculnya era digital yang memunculkan berbagai berita yang cenderung lepas kendali melalui media sosial, berpengaruh kepada polemik yang menguras waktu, tenaga dan pikiran dari aset bangsa yang sebenarnya diperlalukan untuk meningkatkan efektivitas usaha pembangunan nasional. Terasa sekali bahwa apabila suatu postingan dalam media sosial yang bernada provokatif, direspons secara defensif oleh pihak yang berlawanan, maka proses balas membalas ini tidak akan ada habisnya berujung.
Kita perlu untuk berpikir untuk mencari makna dari fenomena ini. Masalahnya bukan berpendapat PKI masih ada atau tidak ada, bukan untuk mencari siapa yang bersalah, dan apakah ancaman PKI nyata atau tidak, karena pendapat apapun kita sampaikan dapat dipastikan ada jawabannya, karena tujuan dari saling tuduh ini bukan mencari kesepakatan, atau menguji kebenaran sejarah, tapi hanyalah media untuk mencapai tujuan dari kepentingan yang ada pada dirinya, dan menunjukkan kesalahan pada pihak yang berlawanan.
Permasalahan tentang PKI atau Komunisme tidak bisa didekati secara hitam-putih. Kalau kita mengatakan Komunisme di dunia sudah mati, masih ada 21st International Meeting of Communist and Workers’ Parties yang diselenggarakan di Turki tahun 2019 yang lalu, dan masih banyak negara yang memiliki Partai Komunis. Terdapat 58 Negara dengan keberadaan 74 Partai Komunis. Negara-negara itu antara lain adalah mulai dari Komunisme yang masih utuh, seperti Tiongkok, Korea Utara dan Vietnam, walaupun Tiongkok dan Vietnam sudah memadukan sentralisme politik dalam Komunisme dengan keterbukaan ekonomi.
Negara-negara lain meliputi Kuba, Turki, Yunani, Irak hingga Australia, Austria hingga Amerika Serikat. Negara-negara di atas dapat kita golongkan negara yang mewarisi Komunisme dari bentuk utuh masa lalu, dan negara demokratis yang memberi tempat bagi Komunisme sebagai akibat dari kaidah kemerdekaan berkumpul dan kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi.
Tapi bila mendapatkan Komunisme di Indonesia masih ada, maka sudah ada peraturan perundang-undangan yang melarang penyebarluasan faham dan ajaran Komunisme. Tugas kita untuk efektifkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta penegakannya.
Diperlukan pendekatan untuk mengkhiri polemik yang diperkirakan hanya ada pada generasi baby boomers dan kurang dipahami oleh generasi penerus bangsa. Keadaan ini bisa menyebabkan generasi baby boomers tidak dapat memberi sumbangan terbaik secara estafet untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang siap menghadapi tantangan masa depan, guna mencari gagasan dan pemikiran kenegarawanan untuk mengakhiri polemik yang menguras waktu, tenaga dan pikiran guna sampai dan mengajukan sebuah gagasan yang memberikan solusi dan membuka pintu untuk menyongsong masa depan bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya, serta membangun keadaban baru dengan mengambil pelajaran dari masa lalunya.
Oleh karenanya fokus hendaknya dialihkan dari pusat perhatian PKI dan Komunisme, guna dialihkan kepada langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mencegah kembali bangkitnya PKI dan Komunisme secara efektif. Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memelihara dan menjaga politik pada ruang dan salurannya, karena apabila keluar dari ruang dan saluran maka akan terjadi proses politisasi. Politisasi akan menyebabkan kontaminasi pada suatu bidang seperti sejarah, atau profesionalitas suatu lembaga. Kiranya arah baru yang konstruktif dan futuristik seperti inilah yang diperlukan sebagai perspektif bahwa dengan meninggalkan keterikatan kita dengan trauma masa lalu bangsa. Dengan harapan ini saya mengucapkan selamat dan sukses ber-webinar.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid
Film G30S-PKI sudah mengalami revisi bahkan oleh Jenderal Angkatan Darat sendiri. Menurutnya, versi orde baru yang dituangkan dalam film G30S/PKI itu ditinjau oleh Menteri Penerangan era Presiden Habibie jenderal Yunus Yosfiah, kemudian ditinjau ulang oleh Menteri Pendidikan era Habibie, setelahnya juga oleh Juwono Sudarsono.
Hal yang seperti ini saya kira berlangsung di era reformasi bukan karena ini ada PKI seperti yang digembar-gemborkan Pak Gatot dengan segala hormat dengan segala kerendahan hati saya, saya ingin mengatakan bahwa penjelasan itu tidak masuk akal.
Di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), ada pula usaha untuk melakukan semacam pembenahan terhadap kerusakan sendi kehidupan bangsa di masa lalu. Konsekuensinya, sempat pula dalam masa itu ada usulan mencabut TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang larangan Ajaran Marxisme komunisme dan leninisme.
Bahkan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan permintaan maaf atas tragedi 65, mengupayakan rekonsiliasi Akar Rumput hingga merehabilitasi nama baik Soekarno dan orang-orang yang pernah diperlakukan sewenang-wenang dengan tuduhan PKI.
Kemudian, di era Presiden Megawati muncul sebuah UU yang melarang orang-orang terlibat PKI ini tak dibolehkan terlibat dalam Pemilu tahun 2003. Namun, akhirnya UU itu dikoreksi oleh MK karena dianggap menyimpang dari UUD 1945.
Di luar dari itu, Usman menyinggung sejumlah pernyataan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menyebut salah satu indikasi adanya kebangkitan Komunis adalah adanya oligarki.
Jerry Massie (Direktur Political and Public Policy Studies)
Memang saat ini goreng-menggoreng isu sangat kental terjadi. Apalagi isu PKI. Terkait sejarah lahirnya paham komunisme saat Karl Marx melarikan diri dari Prussia yang kita kenal sekarang Jerman.
Pada tahun 1843 dan pada tahun 1848 di Prancis dia mendirikan revolusi komunisme bersama Weitling dan Proudhon. Jerry paham komunis lebih condong ke kaum buruh dan seruan mereka agar semya manusia yang tertindas bangkit.
Barangkali kalau tak di lihat dalam kacamata dogmatis maka berbahaya. Memang ajaran Marx ini populer tpi pada era 90-an dimana Jerman Timur awalnya komunis bergabung dengan Jerman Barat. Begitu pula Glasnot dan Perestroika di Uni Sovyet pada 1991 terpecah sampai ke Yugoslavia.
Di China pada 2017 jumlah keanggotaan paham ini hampir 89,45 juta sedangkan partai komunis di parlemen berjumlah 2.982.
Tetap sejarah kelam pembantaian PKI jangan dilupakan tak boleh dimana para pahlawan revolusi tewas dalam aksi ini. Tapi saat ini kita hidup di masa present bukan past (lampau), biarlah kita berpikir future (masa akan datang) bangsa ini.
Dan pada Maret 1966 Presiden Soeharto melarang komunis dan Tahun 1966 dibekukan yang ditanda tangani oleh Jenderal AH Nasution.
Sampai ini isu komunis dijadikan komoditas politik sama seperti isu HTI dan Khilafah. Kalau di Amerika Serikat isu yang terkenal sejak Presiden Abraham Lincoln yakni black and white issues (isu hitam dan putih). Atau ini lebih dikenal dengan isu rasial. Perlu dihindari hal ini dijadikan propaganda politik oleh sebagian kelompok.
Menganggap isu komunisme sebagai mekanisme dan instrumen politik yang dipakai oleh oknum tertentu utk menyerang ras dan agama tertentu. Oleh karena tidak layak isu ini digunakan di era sekarang ini.
Komunisme dipakai oleh oknum yang punya kepentingan politik dengan mengorbankan pihak tertentu.
Eduard Lemanto (Direktur LKIP)
Fosil Komunisme : Instrumen Penutup Politik Rasial
Fosil Komunisme ini digali kembali semata untuk kepentingan politik. Bisa kepentingan politik kelompok yang kontra pemerintah dengan berbagai alasan sempit lainnya.
Bisa pula kepentingan politik elektoral. Cara kerjanya? Komunisme “didaur” ulang sebagai entitas yang bisa dijadikan musuh bersama oleh kelompok tertentu. Kelompok tertentu itu paling mencolok adalah agama.
Karena itu, oleh kelompok (politis) yang berkepentingan itu, Komunisme dimaknai secara sempit, misalkan ideologi anti Tuhan atau anti agama. Upaya ini semacam ada penciptaan paranoid kolektif di hadapan komunisme.
Tujuannya agar “orang-orang beragama” bergerak membangun soliditas. Soliditas kaum agamis dipakai dan ditunggangi oleh “kelompok politis” itu, bisa untuk kepentingan elektoral pun bisa menjadi kekuatan dalam mengoposisi pemerintahan yang sedang berkuasa karena berbagai alasan, baik alasan ekonomi maupun kepentingan politik kelompok tersebut. Agama untung? Tidak.
Agama dan kaum beriman (congregations) hanya dipakai sebagai “political cattle: peternakan politik”. Demikian halnya warga negara lainnya bukan lagi citizens di mata kelompok politis itu tetapi sekedar “gerombolan massa” yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan mereka.
Sadar atau tidak, anatomi dari upaya-upaya di atas sesungguhnya membentuk politik rasial. Sebab, agama dijadikan instrumen politik.
Fosil komunisme itu dipakai sebagai lawan kuat agama. Ini adalah bentuk politik rasial. Masalahnya, agama dalam politik rasial adalah death zone; zona kematian. Sebab, konflik karena agama hanya akan menghancurkan negara hingga berkeping-keping, apalagi di dalam negara multi-SARA.
Banyak laboratorium di dunia yang telah berhasil membuktikan bahwa pemakaian politik rasial tidak akan membawa sebuah negara ke kedamaian, selain konflik berkepanjangan.