Menggali Akar Permasalahan: Mengatasi Bentrokan dan Kerusuhan dalam Sepakbola Indonesia

Menggali Akar Permasalahan: Mengatasi Bentrokan dan Kerusuhan dalam Sepakbola Indonesia
SHARE

Oleh: Agoes Hendriyanto

Tulisan ini membahas fenomena meningkatnya bentrokan antar suporter dalam kompetisi sepakbola di Indonesia, dengan mencatat beberapa insiden terkini. Meskipun sepakbola Indonesia telah mencapai tingkat profesionalisme yang tinggi dengan dukungan sponsor dari kompetisi Liga 1 BRI dan Pegadaian, kekerasan antar suporter tetap merajalela.

Penulis mengutip dari beberapa tulisan 5 bulan terkahir, yakni bentrokan antar suporter terus, belakangan terus menghiasi sepakbola kita. Jika kita melihat kompetisi Liga 1 BRI bentrok antar suporter di sela pertandingan Liga 1 antara PSM dengan Dewa United hari sabtu (8/7) empat orang terluka. Pertandingan Persib vs Persis, terjadi bentrok disebabkan saling ejek di dalam stadion manahan Solo terjadi Selasa (8/8/2023). Terjadi bentrok antar suporter pertandingan Liga 1 Dewa United vs Persib Bandung yang terjadi pada Minggu malam (26/11/2023). Hal tersebut menunjukan setiap empat laga terjadi bentrokan antar supurter satu laga. Baik pertandingan di Liga-1 maupun Liga-2, terjadi tindakan-tindakan yang jauh dari sportivitas sepakbola, dan buntutnya harus dihukum karena melanggar kode disiplin.

Padahal kompetisi BRI dan Pegadaian adalah kompetisi yang sudah bertabur sponsor. Bukan hanya federasi (PSSI) lewat PT. LIB yang diberi kepercayaan untuk menggelar kompetisi, semua klub sudah juga dipercaya oleh sponsor. Artinya kompetisi sepakbola kita sudah memenuhi persyaratan dasar berbisnis dengan baik.

Untuk bisa mencapai tingkat seperti ini, para pendahulu tertatih-tatih. Berdarah-darah, tidak sedikit dari mereka jadi bangkrut demi sepakbola, demi kompetisi dapat berjalan lancar.

Baca Juga  Sejarah Tercipta; Indonesia Lolos Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia, Menang 2-0 dari Timnas Filipina.

Ada hal menyedihkan terkait daerah-daerah tertentu yang selama ini kultur masyarakatnya terbilang santun. Bahkan hampir seluruh tutur katanya sangat lembut. Namun akhir-akhir ini jika terkait dengan fanatisme timnya jika kalah akan tampil menjadi suporternya menjadi sangat beringas. Tidak cukup mengeluarkan kata-kata makian, melemparkan apa saja ke dalam stadion karena marah. Lalu, sempat ‘menculik’ salah seorang ofisial lawan dari ruang pertemuan pers, dibawa kebelakang untuk dipukuli.

Penulis mengingatkan pembaca tentang perjuangan para pendahulu dalam mengembangkan sepakbola di Indonesia, yang terkadang mengorbankan diri dan finansial mereka. Namun, ironisnya, kekerasan semakin merajalela di tengah kemajuan ini.

Poin berikutnya membahas perubahan kultur masyarakat di daerah-daerah tertentu yang dulu terkenal santun. Suporter yang sebelumnya memiliki tutur kata lembut, kini berubah menjadi beringas, bahkan menculik dan melakukan kekerasan terhadap ofisial lawan.

Penulis menyoroti perilaku kurang sportif pemain di lapangan, seringnya pelanggaran disiplin, dan kemungkinan adanya unsur kesengajaan. Kebebasan mengemukakan pendapat di media sosial juga diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama meningkatnya ketegangan dan konflik.

Melibatkan para ahli, termasuk psikolog olahraga, dianggap sebagai langkah penting untuk memahami akar permasalahan ini. Media sosial diakui memiliki peran besar dalam memicu kegaduhan, dengan postingan ajakan vandalisme yang cepat mendapatkan respons.

Pergeseran kultur suporter, yang disebut sebagai “karnavalesque” oleh Geoff Pearson, dianggap sebagai tren yang merugikan. Kebebasan tanpa batas di media sosial memungkinkan ekspresi brutal dari para penggemar, termasuk intimidasi dan kekerasan fisik.

Baca Juga  Erick Thohir; Piala Dunia FIFA U17 2023 Dilaksanakan di Empat Kota

Penulis mengajak PSSI, klub, dan suporter untuk duduk bersama dan membicarakan solusi. Kesadaran akan persaudaraan dianggap sebagai kunci untuk mengatasi konflik. Penekanan diberikan pada perlunya mengurangi pertikaian dan membentuk atmosfer positif di dunia sepakbola.

Tulisan juga menyoroti penyelenggaraan Piala Dunia U17 di Indonesia, di mana suksesnya sebagai tuan rumah dinilai positif oleh FIFA. Penulis menegaskan bahwa jika Indonesia dapat menyenangkan FIFA, mengapa tidak dapat melakukan hal yang sama terhadap sesama penggemar sepakbola di tanah air?

Dalam kesimpulan, penulis mengajak pembaca untuk bersama-sama berkontribusi menjadikan sepakbola Indonesia lebih baik. Perubahan, kesadaran, dan tekad kebersamaan dianggap sebagai kunci untuk menghadapi permasalahan ini. Kecerdasan penonton dan nilai sportivitas harus ditingkatkan, dengan memulai dari usia dini.

Judul: “Menyoroti Kerusuhan di Sepakbola Indonesia: Tantangan dan Panggilan untuk Perubahan”

Tulisan ini mengulas serangkaian kejadian bentrokan dan kerusuhan antar suporter dalam sepakbola Indonesia, menyoroti insiden terkini di kompetisi Liga 1 BRI dan Liga 2. Meskipun sepakbola Indonesia telah mencapai tingkat profesionalisme dan mendapatkan dukungan sponsor, fenomena kekerasan antar suporter tetap menjadi sorotan.

Penulis mengingatkan pembaca akan perjuangan para pendahulu yang terkadang harus mengorbankan segalanya untuk memajukan sepakbola di Indonesia. Namun, dengan ironi, kekerasan semakin merajalela meskipun kompetisi sepakbola sudah berkembang.

Penulis juga menyoroti perubahan kultur masyarakat di beberapa daerah yang sebelumnya terkenal dengan santunnya. Suporter yang dulunya memiliki tutur kata lembut, kini terlibat dalam tindakan beringas, bahkan menculik dan melakukan kekerasan terhadap ofisial lawan.

Baca Juga  Selasa, Timnas Indonesia U-23 Melakoni Uji Coba Melawan Tajikistan U-23

Selanjutnya, penulis membahas perilaku pemain di lapangan, pelanggaran disiplin yang sering terjadi, dan dugaan adanya unsur kesengajaan. Kebebasan berekspresi di media sosial juga diidentifikasi sebagai penyebab utama konflik yang meningkat.

Langkah selanjutnya yang diusulkan adalah melibatkan ahli, terutama psikolog olahraga, untuk memahami akar permasalahan. Media sosial diakui sebagai pemicu konflik, dengan postingan ajakan vandalisme yang cepat mendapat respons.

Pergeseran kultur suporter, atau yang disebut sebagai “karnavalesque” oleh Geoff Pearson, dianggap sebagai aspek negatif. Kebebasan tanpa batas di media sosial memungkinkan ekspresi brutal dari para penggemar, termasuk intimidasi dan kekerasan fisik.

Penulis mengajak PSSI, klub, dan suporter untuk bersama-sama mencari solusi. Kesadaran akan persaudaraan dianggap sebagai kunci untuk mengatasi konflik. Pentingnya mengurangi pertikaian dan membentuk atmosfer positif di dunia sepakbola menjadi poin penekanan.

Penulis juga mencatat kesuksesan penyelenggaraan Piala Dunia U17 di Indonesia, di mana kesuksesan sebagai tuan rumah mendapat apresiasi positif dari FIFA. Kesimpulannya, penulis mengajak pembaca untuk bersama-sama berkontribusi agar sepakbola Indonesia menjadi lebih baik, dengan menekankan pada perubahan, kesadaran, dan tekad kebersamaan. Kecerdasan penonton dan nilai sportivitas di lapangan perlu ditingkatkan, khususnya dengan memulainya sejak usia dini. (*)