Ngopi Filosofis di Warkop Perpustakaan: Hikmah dari Tembang Cicak-Cicak di Dinding
PRABANGKARANEWS, Pacitan – Suasana hangat dan bersahaja menyelimuti sudut Warkop Perpustakaan pada Kamis, 3 Juli 2025. Di tempat sederhana yang menyatu dengan ruang literasi itu, berlangsung pertemuan santai namun penuh makna antara masyarakat pemerhati budaya dengan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Pacitan, Amat Taufan.
Agoes Hendriyanto dosen, akademisi, praktisi, pemerhati budaya menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan membahas program-program teknis, pertemuan kali ini lebih bersifat refleksi batin mengenai filosofi hidup sebagai wong Pacitan sejati, dan tentang bagaimana menjalani hidup yang bermartabat namun rendah hati.
Pacitan dan Filosofi “Sak Dermo”
Dalam perbincangan tersebut, Amat Taufan menggarisbawahi nilai kearifan lokal yang sejak lama menjadi napas masyarakat Pacitan: bahwa manusia sejatinya hanyalah “sak dermo” menjalankan titah sebagai khalifah di muka bumi. Tak ada yang mutlak milik kita, termasuk rezeki, jabatan, maupun kekuasaan. Semua adalah titipan.
“Wong Pacitan iku kudune tetep nglakoni, tapi ora gumantung. Nglakoni ihktiar, tapi pasrahke asil marang Gusti Allah,” tutur Taufan, dengan nada halus dan penuh keyakinan.
Filosofi dalam Tembang Anak: Cicak-Cicak di Dinding
Yang menarik, dalam diskusi itu Taufan mengajak peserta merenungkan sebuah tembang anak-anak yang sangat populer: “Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, hap… nyamuk ditangkap!”
Menurutnya, tembang sederhana ini menyimpan filosofi mendalam. Seekor cicak, meski kecil dan tak bersayap, tetap tenang merayap. Ia tak gaduh, tak riuh, hanya menjalani takdirnya dengan sabar dan istiqamah. Tapi justru dari ketekunannya itu, datanglah rezeki: nyamuk bersayap yang hinggap di dinding.
“Cicak itu tidak rakus, tidak ambisius, hanya mengandalkan ridho Allah. Dia fokus merayap, tidak bersuara, tapi hasilnya nyata,” ujar Taufan, memberi makna mendalam pada lagu masa kecil.
Pacitan Bukan Tempat untuk Pamer
Lebih jauh, Taufan mengingatkan, berdasarkan pengalaman para pinisepuh Pacitan, wilayah ini bukanlah tanah untuk ajang pamer kekuasaan atau materi. Justru, nilai utama yang dijunjung tinggi adalah kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan.
“Pacitan tidak membutuhkan orang-orang yang hanya mengejar jabatan. Tapi mereka yang tulus mengabdi, tanpa pamrih, tanpa ambisi pribadi,” katanya.
Literasi, Budaya, dan Rasa Syukur
Pertemuan santai ini menjadi momen yang membaurkan antara literasi, budaya, dan spiritualitas. Bahwa membaca tak melulu dari buku, tapi juga dari tembang rakyat, pengalaman hidup, dan filosofi leluhur.
Di Warkop Perpustakaan yang kini bukan hanya tempat ngopi, tetapi juga ruang kontemplasi dan tukar gagasan, percakapan seperti ini penting untuk memperkuat identitas dan karakter wong Pacitan—yang bersahaja, berilmu, dan tidak silau oleh gemerlap dunia.
